Pages

Thursday, January 17

RISIKO HUKUM YANG TERJADI DI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya. Kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari bank yang dikenal dengan Kredit Pembelian Rumah (KPR). Sedangkan kebutuhan yang bersifat produktif misalnya meningkatkan atau memperluas kegiatan bisnisnya, dagangannya, atau usaha lain apapun, contohnya membeli mesin-mesin pabrik, membangun pabrik dan lain-lain. Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang‑undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu. Adapun ratio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No comments:

Post a Comment

LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.

Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;