Pages

Monday, October 29

Mediasi dan Konsiliasi


Mediasi :
-    Konsumen mengajukan pengaduan kepada BPSK ;
-    BPSK memanggil konsumen dan pelaku usaha, untuk menetapkan cara penyelesaian sengketa konsumen yang dipilih dan disepakati para pihak ;
-    BPSK membentuk Majelis untuk menyelesaikan sengketa konsumen ;
-    Majelis bertindak aktif sebagai mediator, dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa ;
-    Hasil penyelesaian sengketa konsumen tetap berada ditangan para pihak ;
-    Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu ) hari, terhitung sejak pengaduan diterima BPSK.



Konsiliasi :
-    Konsumen mengajukan pengaduan kepada BPSK ;
-    BPSK memanggil konsumen dan pelaku usaha, untuk menetapkan cara penyelesaian sengketa konsumen yang dipilih dan disepakati para pihak ;
-    BPSK membentuk Majelis untuk menyelesaikan sengketa konsumen ;
-    Majelis bertindak pasif sebagai konsiliator ;
-    Hasil penyelesaian sengketa konsumen tetap berada ditangan para pihak ;
-    Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu ) hari, terhitung sejak pengaduan diterima BPSK.

Photobucket

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 28
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya
dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan
teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian
konsumen;
3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap
menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan
barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh
kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab;
5. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
6. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan
untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;
7. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat :
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 2
 

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk
menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar
dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya
pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 27
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen
dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf b
Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action.
Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Huruf d
Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya
terhadap konsumen.
Pasal 47
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan
terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Pasal 49
Ayat (3)
Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen.
Pasal 54
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen
tidak ada upaya banding dan kasasi.
Pasal 65
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3821
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 26
Pasal 30
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang
tugasnya.
Ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan
atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan
label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Pasal 34
Huruf e
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen
(wise consumerism).
Pasal 35
Ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama.
Pasal 36
Huruf d
Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.
Huruf e
Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 38
Huruf d
Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Pasal 40
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan
konsumen.
Ayat (2)
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian
damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai
oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 3
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4

Hak konsumen adalah :
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 4
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 25
Pasal 3
Huruf g
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama,
budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.
Pasal 7
Huruf c
Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
Huruf e
Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa
mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Pasal 8
Huruf g
Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best before yang biasa
digunakan dalam label produk makanan.
Ayat (2)
Barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ayat (4)
Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 11
Huruf d
Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi
permintaan konsumen.
Pasal 18
Ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebebasan berkontrak.
Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 27
Huruf b
Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana
diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah
berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Huruf e
Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 24
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang
perlindungan konsumen.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 2
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam
Undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Angka 3
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor dan lain-lain.
Angka 9
Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta
menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Angka 11
Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.
Pasal 2
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 5
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik
atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan
dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak
benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu
tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau
efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 6
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan
pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan :
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang
lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual
barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa
yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga
atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk
melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lain.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 23
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan
perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan
penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan
terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang
Dasar 1945.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan
akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi
kepentingan konsumen, seperti :
a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang
Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten;
p. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989
tentang Merek;
q. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur
dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor
12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 22
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
I. UMUM
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di
samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun
produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih
rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada
dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan
modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan
komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha,
tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 7
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan
hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif
jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 8
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 21
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65

Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999 pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENTERI NEGARA SEKENEG
REPUBLIK INDONESIA
Ttd ttd
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 20
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64

Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 9
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut.
Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut
tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak
dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui
badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau
jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa
yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai degan contoh, mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali
kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya
1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 10
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang
diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya
untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 19
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59

(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang
berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan
terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60

(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha
yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 18
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang
yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang
panitera.
(3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
(4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan
penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan
penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) Merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada
Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2)
dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 11
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan
di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau
menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap
barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis
mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri
teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31

Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 12
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai tugas:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di
bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan
sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional
dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh
lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri,
setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur :
1. pemerintah;
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 17
a. ketua merangkap anggota;
b. wakil ketua merangkap anggota;
c. anggota.
Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa
konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang
sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan
penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau
pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah
Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen
membentuk majelis.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 16
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang
berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49

(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur
pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas :
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 13
2. pelaku usaha;
3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
4. akademisi; dan
5. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
 

Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.
Pasal 39
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua
Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua
Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah
Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 14
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan
dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
 

BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
 

Pasal 44
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 15
 

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum 


Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan
tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa.
 

Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan
hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan
umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah..

Photobucket