Pages

Friday, October 19

Hukum Seputar Anak - Anak


Hukum Seputar Anak-Anak
PENGERTIAN
  1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  3. Perlindungan Khusus : Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari Kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
  4. Anak dalam situasi darurat terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
  5. Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
  6. Anak dari Kelompok minoritas dan terisolasai atau komunitas adat terpencil adalah Kelompok yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
  7. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual adalah anak yang bekerja untuk membantu orang tua (karena pengaruh budaya) atau anak yang dipaksa bekerja oleh orang tua, keluarga, dan orang lain. Anak-anak tersebut tidak dibayar, hasil keringat mereka dinikmati orang lain.
  8. Anak yang diperdagangkan adalah kegiatan mendorong anak untuk masuk kedalam industri seks komersial. Kegiatan tersebut tidak hanya perbuatan melacurkan anak, tetapi juga penggunaan citra anak-anak untuk pornografi.
  9. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) yaitu menyangkut keterlibatan anak-anak dalam penggunaan, peredaran, dan perdagangan napza.
  10. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan adalah anak-anak, terutama anak perempuan yang menjadi korban perdagangan baik di dalam maupun lintas batas.
  11. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental merupakan anak-anak yang terancam secar fisik dan non fisik karena tindakan kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
  12. Anak yang menyandang cacat merupakan anak yang mengalami kecacatan sejak lahir dan mengalami kecelakaan atau kelalain pihak lain.
  13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran merupakan anak-anak yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan dan hak-haknya (rohani, jasmani, maupun sosial). Penyebab utamanya orangtua kurang mampu secara ekonomi dan psikologis.

Dasar Hukum
  1. UU No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak
  2. UU No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
  3. UU No. 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
  4. PP No. 9 tahun 2008, tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  5. Perpres No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  6. Permen PP No. 1 tahun 2009, tentang Standar Pelayanan Minimum Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  7. Permen PP No. 7 tahun 2008, tentang Sekretariat Gugus Tugas Pusat PTPPO
  8. Permen PP No. 8 tahun 2008, tentang Sub Gugus Tugas Pusat PTPPO
  9. Permen KoKesra No. 25 tahun 2009, tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) PTPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009-2014.
  10. Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.
  11. Panduan Jejaring Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
  12. Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, No. 166A/KMA/SKB/XII/2009, No. 148A/JA/12/2009, No. B/45/XII/2009, No. M.HH-08 HM.03.02 tahun 2009, No. 10/PRS-2/KPTS/2009, No. 02/Men.PP dan PA/XII/2009, tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Photobucket

S A K S I



Sebelum menghadiri persidangan, penting untuk memahami fungsi sebuah persidangan. Anda mungkin merasa hal itu sudah jelas, yaitu untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Bukan kebenaran setiap unsur-unsur fakta yang terpenting, tetapi bagaimanakah kualitas bukti-bukti yang dihadirkan oleh kedua belah pihak yang bersengketa itu diajukan, untuk mendukung alibi kasus / perkara yang diajukan ke persidangan.
Walaupun dalam setiap sidang seorang saksi disumpah untuk mengatakan dan memberikan kesaksian “yang sebenarnya, tidak lain dari pada yang sebenarnya”, namun perlu disadari bahwa fungsi utama persidangan bukan untuk menemukan kebenaran. Bagi kebanyakan orang hal tadi akan terdengar aneh, walau demikian hal itu sebenarnya terus berlangsung dan terjadi. Persidangan sesungguhnya tidak mencari tahu seluruh kebenaran, apakah itu kebenaran ilmiah atau kebenaran fakta [Sir David Napley – Penasehat Ratu Inggris]. Dalam otobiografinya [John Mortimer, seorang pengacara dan pengarang Rumpole of Bailey] mengajukan argumentasi bahwa “tugas utama pengadilan bukan untuk menyelediki agar menemukan kebenaran, walaupun kebenaran kadang-kadang tergali secara tidak sengaja. Pengadilan adalah sebuah ujian bagi bukti-bukti, sebuah prosedur untuk menemukan apakah kasus yang diajukan bisa dibuktikan tanpa sedikitpun keraguan. Bagaimana ini terjadi, mengapa mencari kebenaran begitu menyulitkan? Karena dua aspek penting persidangan yaitu pertama : adanya ketentuan / peraturan tentang bukti-bukti yang bisa diterima dan diajukan ke persidangan, kedua : label atau cap yang melekat bagi tergugat atau terdakwa [lebih cenderung bagi terdakwa yang berada dalam dugaan kesalahan kuat sebagai pelaku tindak pidana].
Peraturan terhadap bukti-bukti dan saksi dibuat untuk melarang bukti-bukti yang mungkin tidak adil atau tidak aman dihadirkan dalam persidangan. Bukti-bukti bisa dilarang – padahal [bisa saja] bukti itu akan membawa dampak langsung pada kebenaran – jika diangap tidak adil bagi terdakwa. Contoh sederhana misalkan ada aturan kebiasaan yang berlaku terhadap “bukti rumor” dan peraturan yang berlaku untuk pengakuan. Bukti rumor adalah bukti yang tidak dilihat langsung oleh seorang saksi, misalnya ia mengatakan bahwa dia melihatnya membawa uang, ini adalah bukti rumor dan tidak dapat diterima, karena orang yang melihat langsung tidak diperiksa, maka bukti ini tidak bisa diajukan untuk diperiksa dan diterima di persidangan. Demikian pula dengan bukti yang didapat dari pengakuan, hakim dapat melarang bukti itu untuk digunakan, jika ia menganggap pengakuannya diperoleh dengan ancaman atau sogokan. Rambu-rambu ini penting diberlakukan, tetapi jelas pula bahwa peraturan ini bisa mempengaruhi evaluasi kebenaran. Mencari kebenaran juga bisa “dipengaruhi” melalui kegiatan yang lebih halus dan tidak kasat mata dalam sistem peradilan. Persidangan dibuat untuk memproses mereka yang bersalah, dan kebanyakan orang disidangkan divonis bersalah [ini label yang biasa diberlakukan terhadap terdakwa]. Dalam sebuah persidangan 80 s.d. 90% kasus akan berakhir dengan vonis seorang terdakwa dinyatakan bersalah, sedang yang divonis tidak bersalah sangat jarang terjadi di Pengadilan, maka ada pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”…. “jika ia tidak melakukan pelanggaran ini, ia mungkin melakukan pelnggaran yang lain”. Walaupun ada asumsi yang mengatakan bahwa “tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah”, dalam sistem yang terjadi sekarang bagi proses persidangan yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, yang berlaku adalah “anda bersalah, kecuali anda bisa membuktikan sebaliknya”.
Oleh sebab itu jika anda hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan kesaksian anda harus menyadari bahwa persidangan tidak menaruh perhatian pada kebenaran bersalah atau tidak bersalah, namun hanya memperhatikan kualitas kesaksian yang akan anda sampaikan. Hal penting lain yang perlu untuk disadari bahwa dalam sistem peradilan kita, anda mungkin akan ditanyakan bukti-bukti yang anda miliki namun bukan untuk menemukan kebenaran, melainkan hanya untuk menguatkan kualitas kesaksian anda. Karena itu jika anda hendak memberikan bukti yang berguna dan akurat, anda harus memiliki kecakapan agar dapat mengajukan bukti secara jelas, anda harus mempelajari bagaimana menghadapi pengacara [lawan] yang tentunya akan bertujuan untuk membuat anda bingung dan kualitas kesaksian anda akan menjadi buram [tak berkualitas / tak berguna].
Dalam hal menghadiri persidangan : situasi di ruang sidang sangat formal dan mempunyai peraturan yang sangat ketat. Untuk menjadi saksi yang efektif, penting bagi anda untuk memahami aturan main di pengadilan [hal ini dapat anda konsultasikan / tanyakan kepada pengacara yang anda percaya]. Langkah termudah untuk memahaminya adalah dengan mengamati persidangan secara langsung, yang dengan demikian rasa cemas untuk hadir di persidangan dapat diatasi.
Dalam hukum acara persidangan [perdata maupun pidana] di Indonesia, saksi atas suatu kejadian faktual atau saksi yang melihat, mendengar, mengalami langsung suatu fakta yang akan memberikan kesaksiannya di persidangan, tidak diizinkan untuk melihat jalannya persidangan ketika seorang saksi [lain] sedang diperiksa, sampai saksi yang diperiksa tersebut selesai memberi kesaksian. Mengapa? Karena jika saksi ini melihat dan mendengar jalannya persidangan, maka ia akan terbiasa dengan lingkungan ruang sidang yang kaku dan formil ini, lingkungan ini merupakan tempat kerja sehari-hari bagi anggota utama persidangan seperti hakim, jaksa, advokat, panitera dan [mungkin juga] terdakwa. Disini mereka semua merasa seperti di dalam rumah sendiri, sering kali hanya saksi yang merasa tidak nyaman.
Ketika anda memberi kesaksian, anda harus berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan aturan main persidangan. Salah satu aturan penting adalah tentang cara berpakaian. Toga berwarna gelap [hitam] adalah pakaian standar bagi para praktisi hukum di ruang sidang. Penelitian terhadap keterangan saksi-saksi menunjukkan bahwa mereka yang berpakaian gelap, pakaian konservatif, dianggap serius dan berpengetahuan. Bukti yang diberikan dianggap lebih berbobot dan diterima dengan lebih serius. Jika anda mengenakan hiasan yang berkilauan, arloji mewah, ada kemungkinan anda akan menyinggung atau mengalihkan perhatian dari disposisi yang konservatif, apabila ini terjadi bisa tercipta kemungkinan kesaksian anda akan tidak berkualitas atau dianggap tidak berbobot.
Ketika anda memberi kesaksian, anda akan diminta untuk bersumpah atau berjanji. Inilah saat dimana anda bisa mendengar suara anda sendiri di ruang sidang. Ruang sidang bisa merupakan tempat yang [agak] bising, jadi penting bagi anda untuk bersuara jelas dan lantang, agar semua yang berkepentingan bisa mendengar apa yang akan anda bicarakan / sampaikan. Tetapi yang paling penting, jika anda berbicara dengan yakin dan tegas, keterangan / kesaksian anda akan ditanggapi dengan lebih serius.


Kualitas Saksi


Dalam suatu persidangan pidana yang saya amati di suatu pengadilan negeri di Jakarta, sesuai prosedur hukum-acara saksi dalam setiap perkara perdata maupun pidana, akan ditanyakan identitas, agama dan sebagainya, selanjutnya saksi-saksi diminta untuk mengucapkan lafal sumpah atau berjanji dihadapan majelis hakim, untuk memberi kesaksian dan/atau keterangan "yang sebenar-nya tidak lain dari pada yang sebenarnya" [kutipan lafal yang harus diucapan oleh saksi sebelum memberikan kesaksian].
Persidangan yang saya amati disini rupanya suatu perkara yang menjadi sorotan publik, sehingga ruang-sidang dilengkapi dengan atribut elektronik berupa pengeras suara [microphone & speaker] agar para pengunjung, atau penegak hukum [Jaksa, Hakim, Advokat] bisa mendengar jelas apa yang ditanyakan & yang diucapkan oleh saksi ketika memberikan kesaksian dalam persidangan.
Dalam suatu perkara pidana, seperti biasa Jaksa Penuntut Umum mengajukan beberapa orang saksi, dimana Ketua majelis hakim karena jabatannya, dan bertujuan untuk memperoleh keterangan saksi se-obyektif mungkin, akan meminta dan/atau memerintahkan salah-satu saksi berada diluar sidang, dan selanjutnya persidangan akan memeriksa saksi-satu-persatu.
  • UU-81-1981 : HAPID Pasal 172 [1] : Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kahadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar katerangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.

Sebagaimana pengamatan kami selaku advokat, dalam praktek persidangan perdata maupun pidana di Pengadilan Negeri, setelah saksi diangkat sumpah, majelis hakim akan memerintahkan salah satu saksi untuk tinggal di ruang sidang [untuk diperiksa] dan saksi lain [saksi-2] diperintahkan untuk segera keluar ruang sidang dan selanjutnya :
  1. persidangan akan memeriksa saksi-1 hingga tuntas ; kemudian
  2. persidangan akan melanjutkan memeriksa saksi-2 hingga tuntas dan selesai.
Ketika point ke-1 selesai, ada saksi yang diperkenankan untuk boleh mengikuti jalannya persidangan dan duduk di bangku pengunjung, atau boleh juga saksi-1 keluar & tidak mengikuti pemeriksaan saksi-2. Tindakan menempatkan saksi-2 diluar ruang sidang bertujuan agar saksi-2 [atau saksi selanjutnya] :
  1. Tidak bisa mendengar berbagai pertanyaan yang diajukan dalam persidangan terhadap saksi-1, dan
  2. Saksi-2 tidak dapat bisa memberikan kesaksian atau mencontoh keterangan yang diberika oleh saksi-1.
  3. Apabila saksi-2 setelah dipisah dan tidak bisa mendengarkan keterangan saksi-1 tetap memberi keterangan yang sama dengan saksi-1 atas sebuah pertanyaan yang sama, hal ini mengartikan bahwa fakta yang diperoleh berdasarkan keterangan saksi-saksi adalah benar fakta hukum tak terbantah [benar-benar obyektif].
Sehubungan adanya perlengkapan elektronik pengeras suara yang dipergunakan dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini berdampak positif yaitu setiap orang dapat mendengar jelas materi pertanyaan dan jawaban yang diajukan oleh Hakim, Jaksa dan Advokat terhadap seorang saksi. Sedemikian jelasnya suara tersebut terdengar, sehingga dapat pula didengar oleh orang-orang diluar ruang sidang, dan tentunya suara tersebut dapat pula terdengar oleh saksi-2 yang saat diperintahkan menunggu di luar ruang sidang. Dengan terjadinya keadaan ini [saksi-2 bisa mendengar segala bentuk pertanyaan yang tercipta dan terjadi di ruang sidang], kami berpendapat bahwa tujuan menempatkan saksi-2 diluar ruang sidang sia-sia, karena saksi-2 mempunyai kesempatan mendengar jelas berbagai pertanyaan yang sedang diajukan kepada saksi-1, dan keadaan ini bisa memiliki dampak :
1. Saksi-2 bisa memprediksi pertanyaan yang mungkin muncul dan akan diajukan kepadanya ;
2. Saksi-2 akan berupaya mempersiapkan jawaban kesaksian, baik itu kesaksian yang menyerupai atau-pun bertentangan dengan saksi-1 ; atau
3. kemungkinan terburuk akan mempengaruhi bobot kebebasan dan kemandirian saksi-2, jika ia terpengaruh keterangan yang diberikan oleh saksi-1 atau karena ia bisa mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Hakim, Jaksa & Advokat ketika persidangan berlangsung.
  • Butir ke-1, ke-2 & ke-3, kami berpendapat bahwa saksi jenis ini sudah tidak merupakan saksi yang bebas & mandiri [sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UU-13-2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban : Saksi berhak untuk [c] memberi keterangan tanpa tekanan], kami tafsirkan disini bahwa saksi harus dalam kondisi bebas, termaksud tidak boleh terpengaruh oleh suara yang muncul dari ruang sidang melalui pengeras suara

Sekedar saran dari fakta sederhana ini dan dengan tetap memanfaatkan teknologi pengeras suara, sebaiknya Pengadilan Negeri mempersiapkan 1 ruang khusus yang kedap suara dan dibuat senyaman mungkin bagi para saksi untuk menunggu. Atau, Pengadilan bisa mempersiapkan cara-cara lain agar saksi yang menunggu diluar ruang sidang, semaksimal mungkin tidak bisa mendengar jalannya persidangan. Saran ini sederhana, namun baik untuk bisa dilaksanakan, karena kebebasan dan kemandirian saksi sangat penting, dimana saksi adalah salah-satu unsur agar bisa tercapainya putusan obyektif melalui prosedur persidangan di Pengadilan, terlebih lagi bagi suatu perkara yang menjadi sorotan masyarakat maupun pers.


Photobucket

NTERSEPSI MELAWAN HUKUM ttg (KPK)



NTERSEPSI MELAWAN HUKUM

Apakah upaya KPK menangkap tersangka tindak pidana korupsi, dengan cara melakukan penyadapan / intersepsi, sudah benar dan sesuai ketentuan perundangan di Indonesia? Sesungguhnya, sebelum lahirnya uu-ite, kita sudah memiliki beberapa perangkat ketentuan yang mengatur tindakan intersepsi / penyadapan ini, antara lain :
  1. uu-15-2003 : Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 27 Jo. pasal 31 [2] -> penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Untuk Jangka Waktu 1 tahun
  2. uu-22-1997 : Narkotika, Pasal 66 [2] Kepolisian Negara berwenang untuk menyadap melalui telpon atau alat komunikasi lain, untuk jangka waktu paling lama 30 hari
  3. uu-05-1997 : Psikotropika, pasal 55 + penjelasannya Jo. KUHAP : penyadapan pembicaraan melalui telpon dan/atau alat telekomunikasi elektronik lainnya, hanya dapat dilakukan atas Perintah Tertulis Kapolrdi atau Pejabat yang ditunjuk
  4. uu-31-1999 : Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 : pada pasal penjelasan harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri
  5. uu-20-2001 : Pemberantasan TindakPidana korupsi pasal 26.a
  6. uu-36-1999 : Telekomunikasi, pasal 42 [2]
  7. uu-25-2003 : Tindak Pidana PencucianUang
Puncaknya pengaturan intersepsi diatur dalam uu-11-2008 : Informasi & Transaksi Elektronik [lihat kutipan pasal dibawah]. Tindakan penyadapan ini sesungguhnya diperkenankan, namun ada syarat yang harus diperhatikan, yaitu harus disertai izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Apakah KPK telah memenuhi syarat ini? atau-kah sebaliknya KPK kebal hukum & tidak perlu izin untuk melakukan penyadapan?
Ataukah berdasarkan ketentuan diatas tadi + UU-ITE, bisa menjadi langkah awal bagi tersangka-korupsi melalui advokat ataupun secara pribadi mengajukan gugatan pra-peradilan kepada kpk? silahkan mencoba, karena kita harus bersyukur jika hakim di PN setempat sudah memahami UU-ITE ini

Dalam UU-ITE diatur secara tegas larangan "intersepsi melawan hukum" [psl. 31] yang disertai ancaman hukuman penjara 10 tahun + denda 800Juta. Kalaupun ada pengecualian, terhadap tindakan itersepsi UU-ITE mensyaratkan harus memperhatikan KUHAP dan secara spesifik mensyaratkan lagi harus ada izin dari KPN [psl. 43 (2)]. Jadi jangan bosan kalau tidak ada yang menggugat pra-peradilan terhadap KPK, maka intersepsi-melawan-hukum ini akan terus terjadi, oleh aparat penegak hukum khususnya terhadap kpk.
Ataukah anda berpendapat lain?

Jangan bosen yah, baca dulu beberapa kutipan pasalnya,
Pasal 31
  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
  3. Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 43
  1.  
  2. Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  3. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Ancaman Hukuman
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Photobucket

Peranan Asuransi Dalam Tanggungjawab Pengangkutan Udara Domestik

 

Peranan Asuransi Dalam Tanggungjawab Pengangkutan Udara Domestik Atas Terjadinya Kecelakaan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Kasus Posisi
Pada tanggal 16 Januari 2002 kemarin sebuah maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak sungai Bengawan, kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu prmaugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rozak bersama enam kru lainnya serta ke 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
Berbagai informasi menyebutkan bahwa kecelakaan tersebut terjadi setelah peawat kena amuk badai udara sehingga menyebabkan matinya mesin pesawat, hal ini diperkuat dengan ditemukannya kotak hitam pesawat dimana mesin mati saat berada diketinggian 23 ribu kaki ketika masuk kea wan yang bercuaca buruk dan hujan badai. Beberapa saksi mata yang ditemui disekitar tempat kejadian, mereka dibuat heran dengan adanya pesawat berbadan lebar yang berputar-putar 2 sampai 3 kali. Warga bertambah heran karena pesawat bermesin jet tersebut terbang cukup rendah dan keheranan itu berubah menjadi rasa kaget yang luar biasa saat terdengar bunyi keras sperti benda tertabrak dari arah sungai dimana ada dahan pohon patah di timur sungai, diduga badan pesawat menabrak pohon tersebut sebelum akhirnya terjun ke dalam sungai yang cukup deras dan akhirnya berhenti 10 meter sebelum batas sungai sebelah barat, pesawat Garuda Boeing 727-300 tersebut akhirnya karam dipnggir sungai sebelah barat dikedalaman sungai sekitar 40 cm.
Setelah diteliti oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) ditemukan bahwa penyebab kecelakaan pesawat tersebut memang pengaruh cuaca yang buruk. Hal ini sejalan dengan hasil penyelidikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubngan yang menyatakan bahwa pesawat garuda telah mentaati semua prosedur yang berlaku dalam transportasi udara.
B. Permasalahan Hukum
Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dimulai dengan analisa terhadap permasalahan yang ditulis dalam penyusunan tugas ini serta melakukan inventarisasi hukum positif, mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Asuransi ini, yaitu sebagai berikut :
  1. Bagaimana tanggungjawab perusahaan asuransi angkutan udara terhadap perusahaan penerbangan ?
  2. Bagaimana proses tuntutan ganti rugi yang dilakukan penumpang terhadapa perusahaan penerbangan ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Asuransi
Asuransi atau pertanggungan yang merpakan terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie. Definisi asuransi yang diberikan undang-undang dapat dilihat dalam pasal 246 KUHD yang berbunyi :
“Asuransi atau pertanggungan adalah suau perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima uang premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu”
Sedangkan definisi asuransi yang terdapat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yaitu :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung kerena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”
B. Macam-Macam Asuransi Pengangkutan Udara
Beberapa pihak yang terlibat didalam kegiatan industri penerbangan dapat menutupi asuransi sesuai dengan resiko yang dihadapinya masing-masing, diantaranya :
  1. Penutupan asuransi yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara.
Asuransi mengenai penutupan yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara ini berupa :
-     Asuransi rangka pesawat
-     Asuransi tanggungjawab pengangkut kepada enumpang dan bagasi penumpang
-     Asuransi tanggungjawab terhadap pihak ketigaasuransi awak pesawat
-     Asuransi pembajakan pesawat udara
  1. Asuransi tanggungjawab pengelola pelabuhan udara
  2. Asuransi tanggungjawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel reparasinya
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tanggungjawab Pihak Perasuransian yang ditunjuk Perusahaan Penerbangan terhadap Penumpang.
Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut  dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengfangkutan. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh pihak PT. Garuda  merupakan keterpadauan kegiatan transportasi yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Mengenai tanggungjawab perusahaan pengangkutan udara  terhadap kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang seperti dalam kasus posisi diatas, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100 menentukan dalam pasal 24 ayat (1), yaitu :
“Pengangkut bertanggungjawab untuk keruggian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat”.
Dari pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggungjawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu :
-       Adanya kecelakaan
-       Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara
-       Kecelakaan ini harus terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat.
Prinsip-prinsip tanggungjawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100, diantaranya yaitu :
1. Prinsip Persumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggungjawab hanya bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dari pihak pengangkut. Prinsip in dapat disimpulkan dari pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab, namun bertanggungjawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuanyang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) maupun Konvensi Warsawa.
Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Mengenai hal ini dalam Ordonansi Pengangkutan Udara diatur pada pasal 30 ayat (1), yang berbunyi “Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500) jika ganti kerugian ditetapkan sebagai bunga  maka jumlah uang pokok yang dibungakan tidak boleh melebihi juml;ah diatas”
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi  “Perusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
  1. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
  2. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut
  3. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis pada kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian (adjuster/assessor) untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung, apabila tidak ada kebohongan atau tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang diperjanjikannya.
B. Proses Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara diberikan melalui proses sebagai berikut :
  1. Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
    1. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.
    2. Mengajukan segala alat bukti :
-       Tiket atau bukti pembayaran tiket.
-       Surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tersebut dalam perawatan.
-       Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.
-       Akta kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu, disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli waris dan besarnya bagian-bagian.
-       Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang ditanggungnya.
  1. Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu.
  2. Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.
  3. Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT. Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.
  4. Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
  5. Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
  6. Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti rugi”).
  7. Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.
  8. Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda mengenai data atau identitasnya.
  9. Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.
  10. Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari semua uraian diatas tersebut maka penulis menyinpulkan beberapa hal yaitu :
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi  “Perusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
  • Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
  • Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
  • Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis pada kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.
B. Saran
Mengingat besarnya akibat dari kecelakaan pesawat terbang, maka perlu ditentukan besarnya gantirugi ditingkat internasional secara detail dan berlaku secara universal. Memang sulit membuat hal seperti ini, namun semua akibat harus dikorelasikan atau diperhitungkan dengan masa depan korban kecelakaan tersebut dan keluargany serta hal-hal yang secara rasional akan didapat atau diperoleh yang bersangkutan selama masa produktif oleh korban.
Negara seharusnya sebagai auditor bagi penyelenggara penerbangan di wilayah hukumnya, perlu ditentukan setiap besaran yang timbul akibat kecelakaan. Sama hal nya dengan memiliki asuransi bagi seorang individu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan bagi diri sendiri dan keluarga.
Negara patut menyampaikan kepada masyarakat dengan mengumumkannya pada media skala nasional atau di board pengumuman dimana pesawat tersebut berangkat. Hal ini perlu sebagai konsekuensi bagi penumpang yang tetap memilih angkutan udara dengan alasan waktu tempuh yang sangat singkat.

Photobucket