Pages

Thursday, January 17

Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan



Parate eksekusi pada lembaga jaminan fidusia diatur didalam dua

Pasal yaitu, Pasal 15 ayat (3) yang menyatakan: “Apabila debitor cidera

janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang

menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”; dan Pasal

Pasal 29 ayat (1) Huruf (b) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang

Fidusia, yang menyatakan:

“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi

terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat

dilakukan dengan cara: … b. penjualan benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari

hasil penjualan”.
Suatu harapan baru bagi pelaku ekonomi dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk
mengganti hipotik dan credietverband. Tentunya Undang-Undang
Hak Tanggungan ini diposisikan lebih baik daripada saat
berlakunya hipotik dan credietverband, dalam arti bahwa UUHT
mempunyai ciri kemudahan dan kepastian pada eksekusi atas
obyek hak tanggungan.20
Dalam hubungan utang piutang yang dijamin maupun tidak
dijamin dengan hak tanggungan, jika debitor cidera janji eksekusi
dilakukan melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata
yang berlaku. Penyelesaian utang piutang yang bersangkutan
melalui acara tersebut memerlukan waktu, karena pihak yang
dikalahkan ditingkat Pengadilan Negeri dapat mengajukan banding,
kasasi bahkan masih terbuka kesempatan untuk minta peninjauan
kembali.
Sehubungan dengan itu, bagi kreditor pemegang hak
tanggungan selain gugatan perdata, disediakan lembaga eksekusi
khusus. Ciri khusus dari hak tanggungan sebagai hak jaminan atas
tanah adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal itu
merupakan perwujudan ciri tersebut yang berupa kemudahan yang
pasti disediakan khusus oleh hukum bagi kreditor pemegang hak
tanggungan dalam hal debitor cidera janji.
Adapun yang disebut dengan eksekusi hak tanggungan
adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang hak
tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari
hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului
daripada kreditor-kreditor yang lain.
Masalah eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20
UUHT, yang menyebutkan bahwa:
1. Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual
obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 atau;
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang
hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor
lainnya.
2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan,
penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di
bawah tangan, jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam
2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau mesia massa setempat, serta tidak
ada pihak yang menyatakan keberatan.
4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.
5. Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan,
penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan
hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan.
Pada prinsipnya, setiap eksekusi harus dilaksanakan
dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek
hak tanggungan21.
Kemudian berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa,
apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak dalam
ketentuan Pasal 6 UUHT ini merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak
tanggungan atau hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih
dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan
pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa
apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak
untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum
tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan
dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan
itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil
penjualan, tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan.
Eksekusi hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 20
UUHT, yang telah diuraikan tersebut di atas, tetapi dalam Bab VIII
pada Ketentuan Peralihan khususnya yang berkaitan dengan
eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 26 UUHT, yang
menyatakan:
“Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya , dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada
mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap
eksekusi hak tanggungan”.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 26 UUHT, yang
dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik, yang ada
dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Pasal 224 HIR / Pasal 258 Rbg.
Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah
bahwa grosse acte hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti
adanya hipotik, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak
Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak
Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai
eksekusi hipotik atas tanah yang disebut diatas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 9,
ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa
selama masa peralihan tersebut ketentuan hukum acara di atas
berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan
sertifikat hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.
Pasal 26 dan Penjelasannya sebagaimana yang diuraikan di
atas, dapat dipahami bahwa Pembentuk UUHT berkehendak dalam
masa peralihan, sebelum terbentuk adanya peraturan yang
mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, maka eksekusi hipotik
yang ada berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, namun
dengan memperhatikan ketentuan dala Pasal 14 UUHT mengenai
eksekusi hipotik tetap berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan
selama belum ada peraturan baru. Pasal 14 mengenai
dipersamakan gosse acte hipotik dengan akta hak tanggungan
diberlakukan (Pasal 14 ayat (3)). Grosse acte hipotik yang
berfungsi sebagai tanda bukti adanya hipotik, dalam hak
tanggungan adalah sertifikat hak tanggungan. Peraturan mengenai
eksekusi hipotik adalah ketentuan dalam Pasal 224 HIR dan Pasal
258 Rbg.
Peraturan perundang-undangan yang belum ada adalah
peraturan yang secara khusus mengatur eksekusi hak tanggungan,
sebagai pengganti ketentuan mengenai eksekusi hipotik atas
tanah. Ketentuan Peralihan, ketentuan hukum acara di atas berlaku
terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat
hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaan.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan hukum apakah
prosedur eksekusi hipotik tersebut hanya untuk eksekusi atas dasar
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan
atau termasuk juga eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 UUHT.
Adanya suatu titel eksekutorial menimbulkan suatu
ketentuan eksekutorial, suatu daya paksa. Titel eksekutorial pada
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT,
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk
eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg.
Mengenai eksekusi tersebut, baik yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 6 UUHT maupun ketentuan mengenai parate
eksekusi, yang hanya dapat digunakan jika adanya dan jumlahnya
utang yang dijamin dapat mudah diketahui dan dihitung secara
pasti. Jika tidak, permohonan eksekusi melalui lembaga parate
eksekusi akan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dan untuk
penyelesaian utang-piutang yang bersangkutan pihak kreditor akan
dipersilahkan mengajukan gugatan perdata. Penolakan tersebut
dilakukan untuk melindungi pihak debitor dan pemberi hak
tanggungan, sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum hak
jaminan bukan hanya melindungi kepentingan kreditor, tetapi
memberikan perlindungan juga kepada debitor dan pemberi hak
tanggungan secara seimbang.
Dalam gugatan perdata bagi debitor tersedia kesempatan
yang lebih luas untuk membuktikan dalil-dalilnya, oleh karena itu
hal tersebut perlu diperhatikan oleh kreditor dalam perumusan
ketentuan perjanjian kredit dan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Pengaturan eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 Rbg
adalah eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (Sertifikat
Hak Tanggungan) dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua
grosse acte tersebut dimaksudkan, memang mempunyai hak
eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte tersebut mempunyai
kekuatan sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Maka eksekusinya tunduk dan patuh
sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan, yang harus
dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri23.
Ketentuan Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Hak
Tanggungan menyebutkan setiap janji untuk melaksanakan
eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.
Selanjutnya, kalau ada janji cara eksekusi yang menyimpang dari
ketentuan Pasal 20 Undang – undang Hak Tanggungan, biasanya
23 Herowati Poesoko, Op Cit, hal. 22
janji seperti itu dimasukkan dalam perjanjian kredit/surat hutang
atau mungkin dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan. Dalam hal demikian, maka “janji” tersebut batal
demi hukum, tetapi perjanjian kredit/ surat hutang dan APHT-nya
sendiri, tetap hidup sebab pada asasnya pembatalan tidak
mempunyai daya kerja lebih daripada sekedar untuk mencapai
tujuan seperti yang diharapkan oleh pembuat undang – undang,
yang dalam hal ini adalah tidak adanya janji yang bertentangan
dengan Pasal 20 Undang – undang Hak Tanggungan.24
Debitor yang wanprestasi atau kreditnya telah dinyatakan
macet, bank atau kreditor cenderung akan langsung menggunakan
dasar Pasal 6 UUHT untuk melaksanakan eksekusi dengan
meminta bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) sebagai pelaksana permintaan bank atau kreditor,
sehingga seolah – olah semua produk hasil perikatan bank selaku
kreditor dengan pihak debitor, sejak perikatan tersebut dibuat dan
ditandatangani sampai pada debitor dinyatakan wanprestasi oleh
kreditor/bank dianggap benar, dan debitor dalam hal ini dapat
dikatakan sudah tidak dalam posisi yang sejajar kedudukannya
dengan kreditor/bank. Sehingga dimungkinkan sebelum
kreditor/bank memberikan somasi dan menyatakan debitor telah
wanprestasi dan selanjutnya meminta bantuan Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), debitor mengajukan
gugatan ke Pengadilan menuntut hak-haknya apabila ada yang
dilanggar oleh kreditor/bank, dan dengan munculnya persoalan
baru tersebut sudah tentu akan menjadikan pembeli lelang
eksekusi hak tanggungan yang mendasarkan pada Pasal 6 UUHT
tersebut akan berpikir lagi dan cenderung tidak berani mangambil
resiko dengan membeli barang yang masih dalam persengketaan.
Oleh karena itu pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dengan
pertolongan hakim dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
dalam praktek dimana Ketua Pengadilan Negeri yang dapat
menjadi pihak yang berada di tengah diantara kepentingan kreditor
dan debitor pada waktu dilakukan somasi dengan memanggil
debitor untuk datang ke Pengadilan dimungkinkan juga untuk
memberikan masukan, saran dan pertimbangan-pertimbangan
hukum sehingga debitor dan kreditor masing-masing terwakili
kepentingannya, pada akhirnya dapat terjadi eksekusi secara
sukarela maupun dilakukan penjualan di bawah tangan.
Undang-Undang Hak Tanggungan juga mengatur ketentuan
mengenai kesempatan bagi debitor untuk menghindari pelelangan
obyek hak tanggungan yaitu sebagaimana dalam Pasal 20 ayat (5)
UUHT yang menyebutkan sampai saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan hak
tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan. Bahwa pemberi hak tanggungan diberikan
kesempatan seperti itu adalah logis dan patut, karena bagi kreditor
pada asasnya yang penting adalah mendapat pelunasan atas
tagihannya, apakah melalui pembayaran sukarela atau melalui
lelang baginya mestinya tidak menjadi soal. Apalagi pengambilan
pelunasan melalui lelang harus mengikuti prosedur tertentu, yang
selain memakan ongkos juga memakan waktu

No comments:

Post a Comment

LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.

Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;