Pages

Tuesday, October 9

TIPOLOGI DAN PRAKTEK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Tipologi (typology) by' adamconditions.blogspot.com
Tipologi (typology) adalah satu skema klasifikatori, yang merupakan hasil dari
proses men-tipe-kan (typication) yang mengacu pada ciri-ciri tipikal kualitas
individu atau orang, benda-benda, atau peristiwa, oleh karenanya tipologi
merupakan satu kategori niskal yang memiliki acuan empirikal [Theodorson &
Thedorson, 1970:445; Abercrombie et,al; 1988:255; Mitchell; 1999:232]. Mitchell
(1999) menyatakan bahwa tipologi sama dengan klasifikasi yang bisa bersifat
ad hoc, dan oleh karenanya tidak selalu bersifat exhaustive maupun mutually
exclusive, tetapi juga bisa sebaliknya bersifat exhaustive dan mutually exclusive
yang dikaitkan dengan satu hipotesa atau lebih dan teknik yang relevan, serta
peluang untuk dapat diuji.

Pelanggaran hak asasi manusia ditakrifkan secara berbeda oleh berbagai
penulis dan telah lama menjadi perdebatan. Didalam wacana tradisional,
pelanggaran hak asasi manusia terutama dilihat sebagai tanggung-jawab
negara, di dalam konteks kewajibannya terhadap warga negara. Berbagai ahli
yang mendukung pendapat ini, antara lain menyatakan bahwa:
‘..... pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara lewat agen-agennya
(Polisi, Angkatan Bersenjata dan setiap orang yang bertindak dengan
kewenangan dari negara) melawan individu (English & Stapleton, 1997:4).11
‘Satu kegagalan dari satu negara atau pihak lain yang secara legal berkewajiban
untuk patuh pada satu norma/kaidah hak asasi manusia internasional. Kegagalan
untuk menjalankan kewajiban adalah pelanggaran atas kewajiban itu.
‘Pelanggaran’ digunakan secara bergantian dengan istilah Breach (pelanggaran
hukum, aturan, kewajiban, kesepakatan)
 Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hak hukum, mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini,
dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku [pasal 1 butir 7].

Pelanggaran HAM yang benar

 

UU, No. 26/2000 tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang takrif
‘pelanggaran berat HAM31, meskipun pasal 7 menyatakan : pelanggaran hak
asasi manusia yang berat meliputi a. Kejahatan genosida, dan b. Kejahatan
terhadap kemanusiaan’. Sedangkan penjelasan pasal demi pasal hanya
menyebutkan pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan ‘Rome Statue of The
International Criminal Court. Pelanggaran berat HAM mengandung unsur
kesengajaaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang seharusnya
dicegah (act of ommission), unsur sistematis yang menimbulkan akibat meluas
dan rasa takut luar biasa, dan unsur serangan terhadap penduduk sipil.

1. Kejahatan genosida: sejauh ini belum ada contoh peristiwa praktek
pelanggaran genosida di Indonesia yang mengandung semua unsur yang
disebutkan di dalam Statuta Roma.

2. kejahatan terhadap kemanusiaan :Pengadilan HAM yang telah dan
sedang digelar Terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di
Timur Loro Sae, memperoleh kritik dan dikecam oleh para pegiat HAM
sebagai yang tidak memenuhi standar internasional. Pengadilan atas
‘kasus Trisakti dan Semanggi’ diganjal oleh keputusan Pansus DPR yang
menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran berat HAM dalam kasus itu,
meskipun hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan sebaliknya yaitu
telah telah terjadi pelanggaran berat HAM. Pengadilan ‘kasus Tanjung
Priok” sedang dalam proses, meski menuai protes oleh kerana dalam
berkas tuntutan jaksa tidak dicantumkan nama para petinggi militer yang
bisa diduga bertanggungjawab dalam peristiwa itu, berbagai peristiwa
yang dapat dicurigai sebagai memenuhi unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan, antara lain adalah:
pembunuhan sejumlah (orang yang dituduh)“preman” lewat: penembakan misterius (“Petrus”);
Peristiwa PKI pada tahun 1965/66


1) Pembunuhan terhadap ratusan ribu (?) orang yang dituduh sebagai
PKI pada tahun 1965/66; pembunuhan sejumlah (orang yang dituduh)
“preman” lewat: penembakan misterius (“Petrus”);

Tragedi Sampit
2) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa etnis Madura
dari Kalimantan Barat dalam peristiwa konflik horisontal di wilayah itu;
pengusiran penduduk asli etnis Aceh oleh milisi-sipil penduduk tidak
asli (Pujakesuma) yang didukung militer di Aceh Tengah.


3) Penyiksaan para aktivis, mahasiswa yang diculik oleh Kopassus
dalam kasus ‘Penculikan Aktivis’; penyiksaan atas aktivis mahasiswa
demokrasi (dalam kasus penculikan aktivis), penyiksaan atas
penduduk sipil di Aceh.
4) Perkosaan yang terjadi dalam peristiwa kasus “kerusuhan Mei 1998;
dan terjadi dalam peristiwa Aceh selama konflik dan konflik internal
bersenjata
5) Penghilangan orang secara paksa terhadap para aktifis mahasiswa
dan terhadap penduduk sipil di Aceh selama konflik.

3. Kejahatan perang ;Kejahatan perang termasuk dalam pelanggaran berat HAM karena merupakan
bagian dari satu rencana atau kebijakan besar, dan melanggar konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949,39 pasal 3 konvensi ini khususnya melindungi
penduduk sipil dan personel militer yang tidak lagi secara aktif mengambil
bagian dalam permusuhan selama terjadinya konflik bersenjata internal. Selain
itu, konvensi ini melarang pembunuhan, penyiksaan, perlakuan kejam,
penyanderaan, perlakuan mempermalukan dan mendegradasikan,
penghukuman dan pembunuhan ekstra-yudisial. Konvensi ini mendesak
perlindungan minimal atas proses pengadilan yang jujur dan satu kewajiban
yang memaksa untuk mengumpulkan dan merawat yang terluka dan sakit
Meskipun masih harus dilakukan penyelidikan yang lebih seksama, konflik
internal bersenjata di Aceh telah memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran
Konvensi Jenewa sebagaimana terlihat dari berbagai peristiwa yang antara lain
bisa dikategorikan sebagai berikut:
1. Pembunuhan diluar hukum: pembunuhan terhadap penduduk sipil bukankombatan
yang sama sekali tidak terkait dengan salah satu pihak yang
berkonflik senjata, baik yang dilakukan oleh GAM, TNI/POLRI, atau orang
tak dikenal.
2. Penyiksaan dan perlakuan kejam (tidak manusiawi); penduduk sipil
mengalami penyiksaan fisik dan perlakuan kejam selama masa Darurat
Militer oleh pihak yang berkonflik, atau oleh orang tak dikenal; sejumlah
mayat tidak diperlakukan dengan baik (kasus kuburan massal di Aceh
Tengah, kuburan yang tidak biasa/ wajar di Aceh Utara dan Biereuen).
3. Penangkapan serampangan: saksi memberikan kesaksian adanya
penangkapan serampangan tanpa surat penangkapan, dan seringkali
diserta dan/atau diteruskan dengan penyiksaan fisik oleh polisi/Brimob dan
TNI.
4. Pelecehan seksual (perlakuan mempermalukan): sejumlah saksi memberi
kesaksian atas pembukaan baju secara paksa oleh Brimob dan/atau TNI,
dan sejumlah saksi lainnya memberi kesaksian atas perkosaan
perempuan Aceh oleh Brimob dan/atau TNI.
5. Penyanderaan: TNI menuduh GAM menjadikan penduduk sipil sebagai
‘tameng’.
6. Penggunaan anak dalam kelompok bersenjata: TNI menuduh GAM
menggunakan anak-anak, sebagai controh; TNI menembak mati anakanak
dalam kasus extra judicial execution di tembak.
7. Perusakan prasarana dan sarana umum yang penting: pembakaran
gedung sekolah (lebih dari 500 hanya dalam waktu sebulan sejak
penetapan Darurat Militer), penggunaan gedung sekolah untuk pos militer,
penumbangan tiang kabel listrik, penjebolan jembatan dan gorong-gorong.

Photobucket

Hukum Nasional dan Internasional

Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Perbedaan pandangan ini lahir, tentunya sebagai akibat dari perbedaan dasar filsafat dalam menelaah kaidah hukum itu sendiri, serta latar sosial yang menjadi background munculnya teori-teori tersebut. Menurut teori monisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua aspek yang berasal dari satu sistem hukum umumnya. Pandangan ini dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih jauh Kelsen mengemukakan, bahwa tidak perlu ada pembedaan antara hukum nasional dengan hukum internasional, mengapa? Alasan pertama adalah, bahwa objek dari kedua hukum itu sama, yaitu tingkah laku individu; Kedua, bahwa kedua kaedah hukum tersebut memuat perintah untuk ditaati; dan Ketiga, bahwa kedua-duanya merupakan manifestasi dari satu konsepsi hukum saja atau keduanya merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum.
Pada dasarnya Kelsen ingin menegaskan tentang supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Dia melihat hukum internasional sebagai the best of available moderator of human affairs, dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara. Karenanya hukum internasional menjadi utama daripada hukum nasional. Artinya, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum internasional. Pandangan ini berusaha melakukan generalisasi terhadap latar konteks dan latar sosial, tanpa melakukan pembedaan terhadap keadaan geografis, budaya masyarakat, sejarah, dan perilaku sosial, dari masing-masing wilayah. Semuanya dianggap sama dengan apa yang terjadi dan berlangsung di Amerika Serikat.
Berbeda dengan Kelsen yang mengajarkan teori monisme, Triepel dan Anzilotti mengajarkan apa yang disebut dengan teori dualisme atau teori pluralistik. Menurut teori ini, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsik. Berangkat dari uraian sederhana Oppenhiem, yang menjelaskan perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional, berdasarkan tiga sandaran, yaitu perbedaan sumbernya, hubungan yang diaturnya, dan hakikatnya.
Kemudian Triepel menjelaskan secara lebih detail, bahwa letak perbedaan antara keduanya adalah pada subjek hukumnya, jika hukum nasional subjeknya ialah individu-individu, sedangkan hukum internasional subjeknya semata-mata dan tertutup pada negara. Kemudian mengenai sumbernya, jika hukum nasional bersumber pada kehendak negara itu sendiri, sedangkan hukum internasional bersumber pada kehendak bersama. Dalam hal ini, Anzilotti menggunakan pendekatan berbeda, walaupun memiliki muara yang sama. Menurut Anzilotti, perbedaan mendasar dari hukum nasional dan hukum internasional adalah terletak pada hakikat bahwa hukum nasional harus ditaati, sedangkan hukum internasional harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kesepakatan bersama.
Anzilotti pada dasarnya ingin membangkitkan kembali kenyataan esensial dari teori Grotius, tanpa adanya aroma hukum alam, ia mencoa menyelamatkan hukum internasional dengan pengakuan universal terhadap pacta sunt servanda. Secara mudahnya, teori dualisme ingin menjelaskan, bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara, yang mengatur hubungan antar warganegara, dan warganegara dengan pemerintah. Bilamana hukum nasional menetapkan hukum internasional berlaku seluruhnya atau sebagian, melalui sebuah pengakuan atau penerimaan, itu semata-mata karena pelaksanaan kewenangan hukum nasional.
Terhadap pandangan Triepel dan Anzilotti, Kelsen menyatakan bahwa terdapat kontradiksi dalam pemikiran pluralistic – dualisme, yakni ketika hukum nasional dan hukum internasional di tempatkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di satu sisi kaum pluralistik tidak menyangkal bahwa norma hukum nasional dan norma hukum internasional dapat berlaku secara bersamaan, sedangkan di sisi lain mereka menegaskan bahwa terdapat suatu hubungan kebebasan timbal balik diantara keduanya, yang berarti tidak ada hubungan sama sekali. Pada dasarnya, kedua pandangan ini berangkat dari kerangka filosofis yang sama, yakni positivisme, yang berkembang pascaberakhirnya Revolusi Perancis, keduanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Perihal Kontrak Sosial: Prinsip-Prinsip Hukum Politik.
Dalam praktiknya di lapangan pun tidak terjadi pertentangan yang mencolok antara kedua pandangan tersebut, lebih banyak terjadi akomodasi dan kompromi. Sekedar pemahaman untuk kita cermati bersama, bahwa kedua teori di atas, dibangun atas kerangka pikir spekulasi konstruksi intelektual. Namun demikan, eksistensi kedua teori tersebut tetap diakui dalam literatur-literatur hukum internasional.
Selanjutnya, sebagai pandangan kompromistis dari perdebatan teoritis antara penganut monisme dan dualisme, muncul teori ketiga, yang disebut dengan teori koordinasi. Teori ini menyatakan, bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu, tidak berada dalam situasi konflik atau tidak bertentangan antar keduanya, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan, sangat dimungkinkan terjadinya konflik implementatif, yang sering disebut dengan konflik kewajiban (conflict of obligation).
Makna dari konflik kewajiban ialah ketidakmampuan negara untuk melaksanakan suatu kewajiban internasional, ketika negara bersangkutan meratifikasi suatu ketetapan atau konvensi atau perjanjian internasional. Akan tetapi, ketidakmampuan negara tersebut, tidak kemudian berakibat pada tidak sahnya hukum internal/hukum nasional. Kendati demikian, tanggung jawab internasional negara itu masih tetap eksis, dan tidak ada argumen untuk menghindar dari kewajiban internasional tersebuat.

Photobucket

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT PASAL 28

1. Pendahuluan

Pada suatu sistem ketatanegaraan setiap negara mempunyai peraturan-peraturan yang berlaku pada negara tersebut. Di indonesia peraturan-praturan tersebut terdapat pada perundang-undangan atau peraturan yang mengendalikan atau mengatur suatu sistem negara agar terbentuk suatu negara yang patuh pada peraturan yang berlaku . Pembahasan Pada makalah ini adalah pada pasal 28 tentang pelanggaran ham di indonesia.


2. Masalah

Penyelesaian secara tuntas dan adil kasus pelanggaran HAM berat masa lampau oleh rejim Suharto yang sudah bertumpuk-tumpuk jumlahnya mengalami hambatan serius. Padahal tokoh-tokoh penting yang terlibat sebagai pelaku, korban dan saksi dalam tindak pelanggaran HAM berat, yang seharusnya bisa diajukan ke pengadilan makin lama makin habis, karena meninggal dunia dan/atau menjadi pikun satu demi satu. Tentu saja timbul keheran-heranan dari banyak kalangan :
Mengapa Suharto dan kawan-kawan sangat sukar diajukan ke pengadilan?


* Penghalang jalan ke pengadilan pelanggaran HAM berat masa lampau *


Sesungguhnya dari titik pandang politik masalah sukarnya Suharto dan kawan-kawan diajukan ke pengadilan HAM adalah jelas, yaitu karena status quo peta politik dewasa ini tidak memungkinnya hal itu terjadi. Sayang hal yang jelas tersebut dijadikan tidak jelas oleh kalangan-kalangan tertentu yang merasa terancam kepentingannya kalau masalah tersebut menjadi jelas. Bahwasanya turunnya Suharto dari panggung kekuasaan pada th.1998 tidak berarti jatuhnya orde baru tidaklah diragukan oleh publik. Peristiwa tersebut hanya suatu pergantian pimpinan kekuasaan belaka, sedang papan bawahnya masih utuh di semua lapangan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena pada waktu itu gelombang semangat reformasi begitu dahsyat, maka mereka pun menyesuaikan diri ikut hanyut dalam arus gelombang reformasi, bahkan berteriak reformasi paling keras. Gebrakan-gebrakan pemerintahan Habibie di bidang politik dan perundang-undangan tidak lain hanyalah "upaya" agar mendapat pengakuan sebagai pemerintahan reformis. Hal itu dijajakan di media massa sedemikian rupa, sehingga banyak kalangan terkecoh. Bopeng hitam orde baru dengan serta merta disulap menjadi tidak nampak. Tidak berhenti sampai itu saja, mereka menyebar dan menyelinap ke setiap organisasi politik dengan mudah. Akibatnya bisa kita lihat bagaimana kacau balaunya kehidupan parpol-parpol dewasa ini. Maka tidak mengherankan dalam situasi di mana peta politik didominasi kekuatan orba betapa sukar Suharto dan kawan-kawan diadili. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak tokoh-tokoh orba tersangkut dalam kasus pelanggaran HAM dan kasus kriminal KKN yang harus diadili. Itulah kesukaran pertama dari spektrum politik makro di Indonesia mengapa Suharto dkk sukar diajukan ke pengadilan.

Bahwasanya Suharto sukar diajukan ke pengadilan adalah juga hasil skenario rekayasa yuridis orde baru. Memang diantara tokoh-tokoh orde baru terdapat perbedaan-perbedaan tertentu dalam strategi dan taktik untuk tetap berkuasa, tapi tidak dalam masalah menghadapi pengadilan HAM. Usaha menyelamatkan Suharto dari tanggung jawab hukum adalah suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka bersama juga. Karena RI adalah negara hukum, maka aspek yuridislah yang merupakan pilihan tepat dan penting mereka dalam penggarapan untuk membuat rambu-rambu agar pengadilan terhadap Suharto dapat dicegah. Kekuatan Orde baru yang praktis masih utuh di semua lembaga tinggi negara – terutama MPR - dengan sangat lihay dan mulus memenangkan amandemen UUD 1945 dengan masuknya Pasal 28 (i) ayat 1, yang menetapkan penolakan asas RETROAKTIF. Bahkan pemberlakuan asas RETROAKTIF secara jelas dikwalifikasikan sebagai PELANGGARAN HAM

Dengan demikian kalau tuntutan tanggung jawab Suharto atas pelanggaran HAM berat masa lampau (misalnya yang berkaitan kasus tahun 1965-1966, kasus Tanjung Priok dll) diajukan ke pengadilan HAM, para advokat orde baru telah siap dan akan dengan mudah menangkis tuntutan tersebut atas dasar Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 (disyahkan 18 Agustus 2000).

Sangatlah aneh adalah munculnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, di mana Pasal 43 ayat 1 memberlakukan asas retroaktif , yang dengan demikian bertentangan dengan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945. II) Bukankah UUD mempunyai kekuatan hukum tertinggi atas semua peraturan-peraturan hukum lainnya (UU, Peraturan Pemerintah, Perpu, Keppres dll)?

Jadi dengan demikian sesungguhnya semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum terbentuknya (disyahkannya) amandemen UUD 1945 tentang Pasal 28 (i) ayat 1, secara hukum tidak bisa diajukan ke pengadilan. Bahkan UU Pengadilan HAM tersebut ab ovo (dari permulaan) batal secara hukum, tidak tergantung apakah HAM tersebut sifatnya ad hoc atau bukan. Jadi Suharto tidak hanya sukar diadili atas kejahatan HAM berat masa lalu, tapi bahkan tidak bisa diadili di Pengadilan HAM.

Tetapi mengapa sampai saat ini para peduli dan pembela HAM membiarkan atau membuta adanya masalah kontraversial di dalam perundang-undangan berkaitan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi masa lampau? Seakan-akan kasus tersebut absolut bisa diajukan ke pengadilan HAM, padahal jelas hitam di atas putih pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 mengganjalnya. Dengan demikian terkesan para korban dininabobokkan dengan nyanyian harapan penuntutan keadilan atas pelakunya, yang sesungguhnya secara yuridis sudah tidak mungkin.

Di sinilah suatu keanehan yang tidak aneh terjadi di Indonesia, di mana belum ada kepastian hukum, di mana hukum dijadikan sarana untuk menggaruk kekayaan (ingat ungkapan "UUD = ujung-ujungnya-duit"), di mana tindak tuna moral dan tuna keadilan secara politis dan yuridis ditunjang penguasa selama 32 tahun.

Misterius sekali timbulnya Amandemen UUD (Pasal 28 i ayat 1) yang kemudian disusul lahirnya UU Pengadilan HAM. Pada hal proses pembuatan dua dokumen penting yang kontraversial tersebut terjadi di suatu kompleks bangunan MPR-DPR yang jaraknya hanya satu langkah. Apalagi semua anggota DPR berdasarkan UUD 1945 adalah juga anggota MPR. Mengapa kedua lembaga negara tersebut melahirkan peraturan perundang-undangan yang isinya bertolak belakang? MPR – menciptakan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, yang melarang azas Retroaktif, sedang DPR – menciptakan UU Pengadilan HAM, yang memperbolehkan asas Retroaktif. Apakah situasi "kacau" tersebut suatu kebetulan? Ataukah memang suatu rekayasa tingkat tinggi? Ataukah suatu kelalaian dari yang mulia para anggota MPR-DPR? Demikianlah antara lain pertanyaan-pertanyaan semrawut tapi wajar yang timbul di kalangan masyarakat.

Yang juga mengherankan adalah tidak adanya kegiatan atau gerakan menentang RANCANGAN Amandemen yang menghasilkan Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut ketika itu. Sepertinya lembaga-lembaga pembela HAM, pakar-pakar hukum peduli keadilan semuanya kena obat bius, teler dan tidak melihat keanehan yang muncul di lapangan hukum di Indonesia. Padahal Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 secara riil bisa diterapkan untuk menghadang agar kasus pelanggaran HAM masa lalu (Pembunuhan dan penahanan massal 1965-1966, kasus Trisakti, kasus Tanjung Priok, Kasus Jl. Diponegoro, kasus Mei 1998 dll) tidak bisa diajukan ke pengadilan, sehingga para pelanggar HAM bebas dari tanggung jawab hukum dan bersamaan dengan itu impunity terus berdominasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Tentu saja rambu-rambu yuridis dari Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut harus diletakkan pada posisi demi keadilan, sepanjang menyangkut masalah pelanggaran HAM BERAT. Maka perlu usaha gebrakan untuk mengadakan amandemen terhadap pasal 28 (i) ayat 1 tersebut: cukup dengan penambahan kata-kata "kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur selanjutnya dalam UU". Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara UUD (Pasal 28 (i) ayat 1) dan UU Pengadilan HAM ad Hoc dalam masalah asas retroaktif. Kalau hal ini tidak diterima oleh MPR, maka akan jelaslah di mana MPR berdiri menghadapi masalah keadilan bagi korban HAM masa lampau dan untuk kepentingan siapa MPR sesungguhnya melakukan fungsinya.

Rambu-rambu yuridis lainnya adalah ketentuan dalam Hukum Acara (Perdata maupun Pidana) di mana dikatakan bahwa tergugat/terdakwa dalam keadaan sakit tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Ketentuan demikian memang manusiawi dan berlaku di banyak negara di dunia, apalagi sudah tercantum lama di dalam hukum acara kita. Masalahnya adalah terletak pada independensi dan obyektivitas dokter yang memberi visum tersebut. Inilah kuncinya. Tapi mengingat moral kebanyakan para birokrat sudah terperosok ke dalam kubangan budaya KKN, tentunya akan meragukan peranan positif "kunci" tersebut.

Sementara ini para pendukung ordebaru tidak tergesa-gesa memanfaatkan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, sebab dengan Surat Keterangan Dokter saja sudah cukup untuk mencegah diajukannnya Suharto ke meja hijau , di mana belum menyangkut materi kasus pelanggaran HAM. Kapan kasus pelanggaran HAM Suharto dan kawan-kawan bisa digelar benar-benar? Pasal 28 (i) ayat 1 akan diluncurkan kalau masalah substansi pelanggaran HAM sudah dibuka di pengadilan.

Tidak perlu heran kalau Menteri Pertahanan (Menhan) memberi peringatan kepada Tim Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang Tahun 1997-1998 Komnas HAM bahwa "UU HAM tidak bisa berlaku surut karena UU itu lahir setelah peristiwa terjadi.

Dalam peta politik yang penuh rekayasa dewasa ini pertanyaan pemimpi di siang bolong di atas tidak mungkin akan mendapat jawaban yang sesuai dengan keadilan, kecuali kalau penghalangnya diretool lebih dulu, yaitu Pasal 28 (i) ayat 1 diamandemen kembali lebih dulu sehingga asas retroaktif dapat diberlakukan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Di dalam media massa atau dalam diskusi/seminar sering diserukan agar Suharto diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Tentu saja seruan tersebut tidak tepat dan salah alamat. Sebab dari tiga mahkamah internasional di Den Haag tidak ada satu pun yang mempunyai kompetensi untuk mengadili kasus Suharto dan kawan-kawannya.

Mahkamah internasional yang pertama – "International Court of Justice", yang didirikan PBB setelah Perang Dunia II hanya mengadili perkara perselisihan antara negara dengan negara anggota PBB, antara organisasi-organisasi internasional atau antara suatu negara dengan organisasi internasional. Jelas mahkamah tersebut tidak bisa menangani kasus Suharto, sebab Suharto bukan negara dan bukan organisasi internasional.

Mahkamah internasional yang kedua -- "International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia", yang mengadili perkara-perkara kejahatan perang yang dilakukan oleh orang-orang bekas Yugoslavia. Jelas kasus Suharto tidak menjadi kompetensi mahkamah tersebut, sebab Suharto bukanlah orang Yugoslavia.

Mahkamah internasional yang ketiga -- "International Criminal Court (berdasakan Rome Statute) juga tidak bisa mengadili kasus Suharto. Sebab pasal 24 Rome Statute of the International Criminal Court" menyatakan tidak berlakunya Asas Retroaktif. IV ) Kasus Suharto adalah kasus yang terjadi lama sebelum ICC berdiri. Jadi ICC tidak punya kompetensi mengadili kasus Suharto, di samping Indonesia sendiri belum meratifikasi Rome Statute.

Jadi dengan demikian, penanganan kasus Suharto dkk sebagai pelanggar HAM berat masa lampau tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri menghadapi kesukaran yang serius.

Tidak sedikit orang beranggapan bahwa berdasarkan hukum internasional Mahkamah Internasional dapat mengadili kejahatan-kejahatan HAM berat. Perlu untuk diketahui saja, bahwa Mahkamah Internasional ada yang bisa mengadili kejahatan HAM masa lalu atas asas retroaktif ( Pengadilan Neurenberg, Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda), tapi ada juga yang tidak bisa mengadili kejahatan-kejahatan HAM masa lalu atas dasar asas Non-retroaktif (International Criminal Court di Den Haag). Sedang hukum internasional sendiri tidak mesti berlaku di semua negara dan tidak harus mempunyai kekuatan hukum lebih tinggi dari konstitusi negara bersangkutan. Mengenai tema ini perlu pembahasan tersendiri.

* Jalan lain penyelamatan pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau *

Memang masalah penuntasan pelanggaran HAM berat tidak hanya terletak pada kemauan politik pemerintah atau presiden semata seperti dikatakan sementara kalangan, tetapi juga lembaga-lembaga negara lainnya (DPR, MPR, Yudikatif) yang masih dikangkangi oleh kekuatan ordebaru. Di dalam kabinet Gus Dur dan Mega pun kekuatan-kekuatan ordebaru tidak kecil peranannya. Hal itu bisa dimaklumi, sebab tanpa mengakomodasi unsur –unsur dari partai lainnya (meskipun terindikasi orba) tidak mungkin eksis kabinet Gus Dur dan Megawati. Bahkan Gus Dur, ketika menjabat presiden berusaha untuk membela para korban pelanggaran HAM berat, sampai-sampai mengusulkan pencabutan TAP XXV MPR. Megawati meskipun tidak berkoar-koar, tetapi melalui fraksi PDIP (satu-satunya) di DPR berusaha keras membela orang-orang mantan PKI di dalam perdebatan mengenai UU Pemilu yang diskriminatif. Tapi semuanya mengalami kegagalan, sebab peta politik di MPR/DPR memang tidak memungkinkan.

Jelaslah, bahwa meskipun Suharto sudah istirahat di dalam kotak politik, toh peranannya terus dilanjutkan oleh para pemainnya yang masih aktif, baik pemain utama maupun figuran,. Mereka bahkan telah berhasil melakukan konsolidasi dan mimikri ke semua lembaga negara dan kepartaian, termasuk LSM dan lembaga HAM. Inilah kehebatan dan kelihaian Orde Baru, yang secara substantif masih yang dulu-dulu juga, yang masih memikul dosa pelanggaran HAM.


KESIMPULAN


Dari uraian di atas jelas bagaimana beragamnya usaha-usaha kekuatan orba untuk menyelamatkan Suharto dkk dari jeratan tanggung jawab hukum. Tapi "kesuksesan" mereka di satu pihak, di pihak lain menimbulkan reaksi di tingkat nasional dan internasional, yang menuding Indonesia sebagai negara yang tidak menghiraukan keadilan, sebagai negara yang masih mempertahankan impunity bagi rejim otoriter orba, sebagai negara yang penuh dengan pelanggaran HAM. Maka dalam rangka menunjukkan "kepeduliannya" terhadap keadilan dan HAM, mereka para pendukung orba tidak menyia-nyiakan kesempatan melakukan jurus gerak zigzag di jalur rekonsiliasi sebagaimana tertuang dalam UU KKR, yang dijajakan sebagai barang reklame di pasar HAM nasional dan internasional.

Sementara kasus Soeharto dan pelanggar HAM berat lainnya ditendang jauh keluar dari lapangan keadilan, maka secara "dipaksakan" melalui Dewan Perwakilan Rakyat

keluarlah UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai gantinya. Dengan mencermati apa yang tertuang di dalam UU KKR, tampak bahwa UU tersebut tidak merupakan panacea bagi penderitaan korban pelanggaran HAM masa lampau. Sebab dalam UU KKR terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat merugikan para korban HAM. Misalnya, berdasarkan Pasal 27 UU KKR kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan kepada korban apabila permohonan amnesti pelaku dikabulkan . V) Jadi ketentuan pasal tersebut sangat tidak adil. Seharusnya dengan adanya pengakuan dari pelaku tentang telah dilakukannya tindak pelanggaran HAM, korban harus dengan sendirinya sudah berhak menerima kompensasi dan rehabilitasi.

Dan lagi kalau pelaku dalam sidang komisi KKR mengakui kesalahannya tapi tidak mau minta maaf dan kemudian permohonan amnestinya ditolak, maka dia bisa diajukan ke Pengadilan HAM (Pasal 29 ayat 3 UU KKR). VI) Kembali lagi persoalannya ialah apakah pengadilan HAM tersebut tidak akan terganjal oleh Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, dengan demikian pelaku pelanggaran/kejahatan HAM akan selamat dari tanggung jawabnya? Dapat disimpulkan bahwa perspektif akibat Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR dapat menjurus kepada peniadaan kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sedang pelakunya tidak dapat diproses dalam Pengadilan HAM atas dasar asas non-retroaktif dari Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945.

Komisi harus mengungkapkan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM secara obyektif,. tidak tergantung ada-tidaknya pengakuan, permintaan maaf oleh pelaku dan pemberian amnesty kepada pelaku. Bersamaan dengan diungkapkannya kebenaran tersebut di atas, Komisi harus menegakkan keadilan dengan memberikan keputusan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban. Inilah esensi penting yang seharusnya terkandung dalam UU KKR.


PENUTUP


Meskipun jalan menuju kebenaran dan keadilan masih diliputi kegelapan, dengan secercah sinar harapan semoga 3 perjuangan berikut bisa menembus kegelapan:

Pertama: Pasal 28 (i) UUD 1945 harus di amandir kembali dengan menambahkan kata-kata: "kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur dalam UU".

Kedua: Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review karena bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi di dalam UUD 1945.

Ketiga: Mencabut semua perundang-undangan diskriminatif terhadap korban pelanggaran HAM dan membersihkan praktek penyelewengan pelaksanaannya.

I ) Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun .

Photobucket