Pages

Saturday, November 24

EMAIL DALAM SIDANG PERDATA


Dengan adanya internet, seolah ada semacam pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam bentuk e-mail melalui transaksi. Jika dilihat dari esensi dari transaksi yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Apa yang diperjanjikan atau apa yang secara nyata tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Untuk pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik dalam bentuk e-mail sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal yang baru.
Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Karena memang saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu bukti elektronik dalam bentuk e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan yang dapat dipersamakan dengan surat otentik. Sebagai contoh tudingan monopoli ditujukan kepada Microsoft. Sebagian alat bukti yang disampaikan oleh pemerintah Amerika terhadap Microsoft adalah e-mail yang dikirimkan oleh pegawai di perusahaan Microsoft yang dikirimkan ke masing-masing pihak.
Secara teknis, bila terdapat satu standart keamanan untuk memberikan jaminan keotentikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut.
Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan atau penuntutan. Kemudian, penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (Request for Comment).
Selain itu, untuk lebih memudahkan, perlu diperhatikan juga keberadaan tanda tangan elektronik (Electronic Signature) dalam e-mail tersebut. tanpa adanya tanda tangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa.
Dalam memutus suatu perkara, tentu saja hakim harus mendasarkan ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian. Apalagi hampir di semua negara, termasuk Indonesia mengakui alat bukti surat sebagai salah satu bukti untuk yang bisa diajukan ke pengadilan.
Masalah otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan data elektronik dalam bentuk e-mail. Jika data atau dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan megikutinya.
Persoalannya, kita membicarakan tentang validitas dokumen elektronik sementara kita juga membicarakan metode otentikasi. Proses otentikasi adalah persoalan treknologi, sedang pengakuan dokumen elektronik dalam bentuk e-mail menyangkut pengakuan secara formal di dalam peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada tidak ada kemauan untuk mengakui dokumen elektronik dalam bentuk e-mail. Jika logika berpikir hanya melandaskan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan pun tidak akan pernah ada pengakuan terhadap dokumen elektronik dalam bentuk e-mail tersebut. Sekali lagi, dalam penguasaan teknologi, Indonesia tidaklah kalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Praktek bisnis di Indonesia sudah sejak lama menggunakan komputer. Dan hingga kini, tidak ada keberatan dari para pihak yang melangsungkan transaksi (pertukaran informasi).

Photobucket

SOSIALISASI PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT PERBANKAN


1. Bahwa semua konsumen termasuk debitur Bank tetap mendapat perlindungan dari Undang-undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen terutama pasal 4 huruf d UUPK yaitu hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya dan pasal 4 huruf e yaitu hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.
2. Adapun ancaman lelang di KPKNL oleh Perbankan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang petunjuk pelaksanaan lelang tanggal 23 April 2010 terutama pasal 27 dapat di batalkan apabila ada Gugatan di Pengadilan Negeri.3. Agar ancaman pelaksanaan lelang dapat dibatalkan sekaligus konsumen dapat memaksa Perbankan berdasarkan Undang-undang maka Lembaga Perlindungan konsumen akan membantu para konsumen untuk melakukan Gugatan sebagaimana di maksud pada poin 2 tersebut diatas.
4. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 Dalam praktiknya, pemegang Hak Tanggungan (Perbankan) yang akan melaksanakan pelelangan selalu meminta fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap Grosse Akta Hipotik harus atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.Yurisprudensi MA tersebut masih berlaku karena menurut ketentuan pasal 26 UUHT dinyatakan bahwa peraturan mengenai eksekusi Hipotek tetap berlaku dan menurut penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa grosse Akta Hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hipotek, dalam Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga kalau ada Perbankan yang melelang sendiri melalui KPKNL dapat di gugat berdasrkan yurisprudensi tersebut di atas.
5. Contoh Kasus: Dalam perkara No. 286/PDT/988/PT-MDN di Pengadilan Tinggi ( Nama.. ) menggugat Bank X dengan alasan bahwa Bank X telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu secara sepihak memutuskan perjanjian kredit sebelum jangka waktunya dan melelang barang agunan walaupun kredit belum jatuh tempo. Dalam perkara No. 286/PDT/988/PT-MDN di Pengadilan Tinggi, hakim berpendapat bahwa klausula perjanjian kredit yang memberikan kewenangan kepada Bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit sebelum waktunya telah menempatkan bank di posisi yang lebih kuat daripada nasabah debitur, bertentangan dengan itikad baik di dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan menyinggung rasa keadilan.
6. Semestinya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan melainkan penafsiran harga dilakukan oleh suatu appraisal company (perusahaan jasa penilai) yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Disamping itu juga undang-undang telah menentukan cara untuk menjual barang-barang agunan berdasarkan bentuk pengikatan jaminannya. Terhadap hal tersebut, nasabah debitur dapat saja menggugat pihak kreditur.

Photobucket

Friday, November 16

PERINTAH TEMBAK DI TEMPAT

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dasar wewenang pelaksanaan tembak di tempat terhadap tersangka tertuang dalam Surat Keputusan KAPOLRI No. Skep/1205/IX/2000, tentang revisi himpunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyidikan tindak pidana. Selain berdasarkan Surat Keputusan KAPOLRI pelaksanaan tembak di tempat juga berdasarkan Prosedur tetap yang dimiliki oleh Kepolisian sebagai dasar pelaksanaan upaya tembak di tempat terhadap tersangka. Prosedur aparat Kepolisian dalam melakukan upaya tembak di tempat tertuang juga dalam Surat Keputusan KAPOLRI No. Skep/1205/IX/2000,dalam sub bab penindakan yang terurai dalam tiga tahapan dalam proses penangkapan, tahapan persiapan dan pelaksanaan penangkapan. Dalam tahapan pelaksanaan penangkapan seorang petugas dapat melakukan upaya tembak di tempat terhadap tersangka, Apabila dalam proses penangkapan seorang tersangka melakukan perlawanan yang dapat membahayakan jiwa dari petugas itu sendiri dan masyarakat sekitar. Selain adanya perlawanan seorang tersangka dapat melakukan upaya tembak di tempat apabila tersangka berusaha melarikan diri. Bagi petugas yang melakukan pelanggaran dalam hal ini melanggar kode etik dan melanggar Surat Perintah Penangkapan , maka oknum anggota tersebut dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan berat ringan pelanggaran yang dilakukan.Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pemahaman dari masyarakat mengenai pelaksanaan tembak di tempat yang dilakukan oleh pihak Kepolisian sebagai salah satu upaya dalam penangkapan terhadap tersangka disahkan oleh Undang-Undang, Akan tetapi harus memenuhi prosedur yang berlaku. Sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan tembak di tempat terhadap tersangka oleh aparat Kepolisian.

Photobucket

Thursday, November 15

SAKSI DALAM PERSIDANGAN

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat.Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat. Tujuan dari adanya hukum adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah memperhatikan kepentingan masyarakat dan selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebagai negara hukum, negara Indonesia memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum hukum ini mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum acara pidana mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara – perkara yang terjadi (hukum pidana formal). Hukum Acara Pidana merupakan suatu sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh negara, dalam hal ini oleh kekuasaan kehakiman, untuk melaksanakan Hukum Pidana (materiil). Dengan demikian suatu Hukum Acara Pidana dapat dikatakan baik apabila Hukum Pidana dapat terealisasi dengan baik (Djoko Prakoso, 1988: 1). Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 2 KUHAP yang berbunyi: “Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. Jadi apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang maka dalam menyelesaikan perkara tersebut baik dari proses penyidikan sampai pada proses persidangan di pengadilan para penegak hukum haruslah berpedoman pada aturan-aturan dalam KUHAP. Apa yang diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, namun sekaligus juga melindungi hak asasi tiap-tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum (Moch. Faisal Salam, 2001: 1). Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak terhadap perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut harus dengan dibuktikan alat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan didepan sidang pengadilan (Darwan Prinst, 1998: 1320). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Dan bila memang terbukti bersalah maka hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. . Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkam nilai pembuktian. Menilai sampai mana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2000: 273). Menur­ut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah : Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.

Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini. Karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Ada syarat-syarat yang harus di penuhi agar alat bukti keterangan saksi dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan (M. Yahya harahap, 2000: 265-268), yaitu:

1. Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan diatas sumpah, hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.

2. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.

3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP.

5. Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP.

Dengan demikian berarti apabila alat bukti keterangan saksi tidak memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas, maka keterangan saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti dengan demikian tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Dari syarat sahnya keterangan saksi agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian, salah satunya disebutkan bahwa antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain harus mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu.

Photobucket

Wednesday, November 14

PERTANAHAN PP NOMOR. 24 TAHUN 1997



JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT DAN PENDAFTARANNYA MENURUT PP NOMOR. 24 TAHUN 1997

Mengingat Indonesia adalah Negara hukum segala kegiatan pembangunan harus berdasarkan hukum. Hukum diperlukan agar pembangunan dapat berjalan dengan tertib dan terhindar dari perbenturan kepentingan, khususnya perbenturan kepentingan soal tanah sehingga hukum akan melindungi hak seseorang yang memiliki tanah tersebut.

Dewasa ini kasus-kasus tanah makin meningkat, mengingat kebutuhan pemerintah dan masyarakat dalam bidang tanah yang semakin bertambah banyak. Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan dapat dikatakan setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya, tetapi sudah meninggalpun masih tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah adalah merupakan kebutuhan vital manusia.

Persoalan tanah yang dihadapi karena meningkatnya jumlah penduduk tidak seimbang dengan luas tanah, sehingga tanah menjadi obyek yang diperebutkan dan sering muncul persengketaan. Semua itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup terus meningkat. Padahal tanah merupakan benda mati, tetap pada keadaan semula atau tidak bisa berkembang. Mengingat kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam bidang tanah terus meningkat, menyebabkan kedudukan tanah menjadi sangat penting terutama mengenai kepemilikan, penguasaan, dan penggarapan tanah. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan sistem pertanahan yang

dapat meningkatkan kemakmuran rakyat.

Pasal 6 UUPA tahun 1960 berbunyi “ Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial “. Dalam penjelasan umum fungsi sosial hak atas tanah berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan bahwa tanah itu akan dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian pada masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifatnya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan negara.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kepentingan perorangan terdesak oleh kepentingan umum. UUPA juga memperhatikan pula kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat. Kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat harus seimbang hingga akhirnya tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Persoalan pertanahan apabila tidak dapat diselesaikan dengan segera akan menjadi sumber masalah yang besar. Oleh karena itu permasalahan tanah hendaklah diselesaikan dengan seksama, cepat dan bijaksana sehingga dapat terwujud sumber daya dan faktor produksi untuk pemerataan pembangunan secara menyeluruh sesuai yang dicita-citakan oleh Bangsa dan negara kita.

Salah satu upaya mengatasi adanya permasalahan di bidang pertanahan adalah dengan jalan memberikan kepastian hukum terhadap bidang-bidang hukum tanah, baik yang dimiliki atau dikuasai oleh perorangan maupun badan hukum. Sehingga orang atau badan hukum yang memiliki tanah tidak bisa diganggu gugat oleh orang atau badan hukum kecuali Undang-Undang menentukan lain.

Perangkat peraturan pertanahan telah diterbitkan, sebagai suatu bukti Pemerintah telah memberi kepastian hukum tentang kepemilikan tanah. Hal ini sesuai dengan tujuan diundangkannya UUPA, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu tanah harus didaftarkan di Kantor Pertanahan yang ada di Kabupaten / Kotamadia agar Pemerintah memberikan kepastian hukum

Tujuan pendaftaran tanah, ialah :

1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan dan untuk pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai tanda bukti.

2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang yang sudah didaftar.
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Pelaksanaan PP nomor. 24 tahun 1997 belum berpengaruh terhadap semua lapisan masyarakat terutama masyarakat desa, yang belum mengerti arti pentingnya menyertipikatkan dan mendaftarkan tanah mereka. Hal itu terbukti sampai sekarang masyarakat tersebut masih banyak yang belum menyertipikatkan tanahnya, sehingga hukum belum bisa menjamin apakah dia yang berhak akan tanahnya tersebut. Biasanya para pemilik tanah yang ada di desa tersebut hanya memiliki petuk pajak, girik dan Leter C. Padahal orang yang memiliki petuk pajak, girik dan Leter C tersebut pada umumnya adalah pemilik tanah.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari dimungkinkan terjadinya peralihan hak atas tanah kepada orang lain misalnya melalui transaksi jual beli. Dalam jual beli sebidang tanah yang belum disertipikatkan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak akan membuat akta tanahnya apabila tanah yang bersangkutan tidak disaksikan Kepala Desa dan Pamong Desa. Oleh karena itu dalam jual beli tanah yang belum bersertipikat, PPAT mengikutsertakan Kepala Desa dalam pembuatan akta tanah seperti yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b PP nomor. 24 tahun 1997.

Peran Kepala Desa dalam jual beli tanah khususnya yang belum bersertipikat, bertanggung jawab bahwa penjual benar-benar berwenang menjual tanah yang dijual dan sekaligus bertindak sebagai saksi dengan seorang anggota perangkat pemerintah Desa yang bersangkutan.Kepala Desa dan Perangkat Desa/Kelurahan dianggap paling tahu tentang pemilikan tanah yang ada di wilayah desanya dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tanah serta dipandang menguasai medan dari obyek tanah tersebut. Maka Kepala Desa atau Pamong Desa harus hadir dalam transaksi jual beli dan bertindak sebagai saksi serta menanggung kebenaran bahwa penjual tanah tersebut adalah orang yang berwenang atau mempunyai hak atas tanah tersebut dan bisa menjual tanah kepada pihak lain.

Praktik jual beli tanah yang belum bersertipikat ini biasanya dilakukan dibawah tangan bila terjadi sengketa tentang tanah tersebut pembeli akan selalu dirugikan atau sering dikalahkan bila ada gugatan di Pengadilan karena dia tidak memiliki tanda bukti jual beli yang otentik.

Photobucket

Sunday, November 11

UU RI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat
dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi semakin berkembang luas di
tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat
(2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I . . .
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan
atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi
yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi
melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi
elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang
cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3 . . .
- 3 -
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni
dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan
masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral
dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan
perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap . . .
- 4 -
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas
seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung
maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang
diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek
atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11 . . .
- 5 -
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di
tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh
pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi
pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan . . .
- 6 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik
dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
b. melakukan . . .
- 7 -
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan
edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan
pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan
yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap
bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat
perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB V . . .
- 8 -
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat
bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk
cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik,
maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran
komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan
internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan
data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang
diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau
membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau
berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 26 . . .
- 9 -
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim
turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di
tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil
perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan
membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang
menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang yang dimusnahkan.
BAB VII . . .
- 10 -
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34 . . .
- 11 -
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau
sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3
(sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38 . . .
- 12 -
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan
dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
(7) Dalam . . .
- 13 -
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan
3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap
pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-
Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen,
kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling
lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau
menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil
terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan
kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di
tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan
pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah
mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam
pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan
oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media
pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk
mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan
yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum
memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga
perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan . . .
- 2 -
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan
generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1)
pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3)
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi,
termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan,
yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga
diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman
tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi,
Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara,
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan,
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi
diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian
luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya
diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk
dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya
dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan
homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain
persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan
(penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau
pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah
suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh,
tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang
melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang
berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” (down load) adalah mengambil fail
dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.
Pasal 6 . . .
- 4 -
Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundangundangan"
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film,
lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga
pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan,
laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya
dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan
lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman
atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk
atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan
seksual, masturbasi, atau onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 5 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi,
membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk
menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam
ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian
bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan
sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus"
misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak
atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan
pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh
pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait
dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 6 -
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah
agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri,
tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan
hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 . . .
- 7 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 8 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928
- 9 -

Photobucket

PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian liukum dan
persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat,
berserikat dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan
ketentuan mcngcnai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi
landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;
c. bahwa paliam dan ajaran Komunisme/Marxisme/Lenimisme dalam praktek
kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan
yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa
Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan
kelangsungan hidup bangsa Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b dan c perlu membentuk
Undang-undang tentang Perubahan Kitab Undang-undang tujukan Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No.V/MPR/1973 tentang Peninjauati Produk-produk Yang Berupa Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo
Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyalakan Berlakunya Undangundang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa
pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan
berikutnya Ketentuan Perundang-undangan Pidana.Kejahatan Terhadap
Penerbangan dan kejahatan Terhadap sarana/prasarana penerbangan;
Dengan persetujuan
DEWAN PERNVAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANGUNDANG
HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN
TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
Pasal 1
Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I
Buku 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d,
Pasal 107 e, dan Pasal 107 f yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107 a
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan,
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 b
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisnie/Marxisme-Leninismce yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 d
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 107 e
Dipidana dcngan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk
dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan
kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107 f
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama
20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat
dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau
diundangka
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan
pengadaan atau distribusi bahan pokok yang mcnguasai hajat hidup orang
hanyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, mcmerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROE DR H MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 74
PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP
KEAMANAN NEGARA
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Pembangunan nasional di bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan serta memberikan rasa aman dan tenntram.
Dalam usaha mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari ancaman dan
bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan
dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan
dan dari tindak pidana lainnya yang membahayakan keamanan negara, perlu
mengadakan perubahan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan
menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan
negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Pasal 107 a
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau
ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang
diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih
dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Pasal 107 b
Cukup jelas
Pasal 107 c
Cukup jelas
Pasal 107 d
Cukup jelas
Pasal 107 e
Cukup jelas
Pasal 107 f
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam pasal ini adalah instalasi
Tertentu (penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan
Wakil Presiden untuk kegiatan kcnegaraan, kediaman resmi Presiden dan
Wakil Presiden, gedung-gedung Lembaga Tinggi Negara dan gedung,yang
Digunakan untuk tamu-tamu Negara yang setingkat dengan Presiden.
Yang dimaksud dengan "instalsi militer" adalah instalasi vital militer.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3850

Photobucket

KAITAN PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN


Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya. Kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari bank yang dikenal dengan Kredit Pembelian Rumah (KPR). Sedangkan kebutuhan yang bersifat produktif misalnya meningkatkan atau memperluas kegiatan bisnisnya, dagangannya, atau usaha lain apapun, contohnya membeli mesin-mesin pabrik, membangun pabrik dan lain-lain. Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang‑undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu. Adapun ratio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Photobucket

Monday, November 5

GUGAT MELALUI LPK NASIONAL INDONESIA

LPKNI KOTA PASURUAN
 AYO MENGGUGAT ... !!! Melalui >>> LPK Nasional Indonesia..

1. Gugatan di Ajukan ke Wilayah Pengadilan Negeri Domisili hukum tergugat sesuai Ruang Lingkup LPK Nasional Indonesia.

2. Jika Tergugat lebih dari satu orang, maka Gugatan diaj

ukan ke Wilayah Pengadilan Negeri salah-satu dari domisili Tergugat.

3. Jika tergugat menetap diluar negeri, maka gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dalam hal ini melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terwujudnya Perlindungan konsumen menuju terciptanya konsumen yang bermartabat dan pelaku usaha yang bertanggung jawab. dan ... Percayakan kepada kami
" Segala Upaya untuk menciptakan Kepastian Hukum "

www.perlindungankonsumen.or.id

Photobucket

Saturday, November 3

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA (Trafficking in Persons)



Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dalam KUHP dapat dijumpai sejumlah pasal yang menunjukkan bahwa sejak
dahulu atau sejak KUHP diberlakukan, perdagangan manusia dianggap sebagai perbuatan
yang tidak manusiawi yang layak mendapat sanksi pidana, yaitu:
A.1.1. Pasal 297 KUHP.
Pasal 297 KUHP secara tegas melarang dan mengancam dengan pidana perbuatan
memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki. Ketentuan tersebut secara lengkap
berbunyi: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.78
Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai
kata “perdagangan”.


yang dimaksudkan dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah
melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan
guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya mencari perempuanperempuan
muda untuk dikirimkan ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan
dipergunakan untuk pelacuran…

A.1.2. Pasal 301 KUHP
Pasal 301 berbunyi:
“Barangsiapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada
dibawah kekuasaannya yang sah dan umur nya kurang dari dua belas tahun, padahal
diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk melakukan pengemisan atau untuk
pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”82
Pasal ini melarang dan mengancam pidana paling lama 4 tahun penjara terhadap
seseorang yang menyerahkan seorang anak berumur di bawah 12 tahun yang dibawah
kuasanya yang sah, sedang diketahuinya anak itu akan dipakai untuk atau akan dibawa 
waktu mengemis atau dipakai untuk pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang

merusakkan kesehatan.
Pasal ini khusus bagi perbuatan yang korbannya adalah anak-anak di bawah 12
tahun, dengan pelakunya adalah orang yang mempunyai kuasa yang sah atas anak tersebut,
misalnya orang tua, wali. Bila dihubungkan dengan Pasal 297 KUHP, maka pasal ini
subyeknya terbatas pada orang yang punya kuasa yang sah terhadap anak tersebut. Batasan
usia korban lebih jelas yaitu di bawah 12 tahun dan tujuan pemindahan penguasaan si anak
lebih luas, tidak semata-mata untuk prostitusi.

A.1.3. Pasal 324 KUHP.
Pasal 324 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya orang
lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau
dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan
tersebut di atas, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.”83
Kata perniagaan atau perdagangan dalam pasal ini tidak harus ditafsirkan membeli
dan kemudian menjualnya kembali. Perbuatan membeli saja atau menjual saja sudah masuk
dalam lingkup ketentuan pasal ini. Dalam pasal ini ada unsur keterlibatan pelaku tidak
secara langsung. Kata turut serta dalam pasal ini harus diartikan sebagai terjadinya
penyertaan yang diatur dalam Pasal 55, 56 dan 57 KUHP, yang bentuknya dapat berupa
menyuruh, menggerakkan, turut melakukan ataupun membantu melakukan yang dapat
diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku.84
Pertanggungjawaban pidana yang terdapat dalam Pasal 324 baru sebatas terhadap
orang, dan belum mencantumkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai
pelaku perdagangan/perniagaan budak. Sistem perumusan pidananya pun baru berupa
sistem pidana tunggal, dan belum mencantumkan adanya gati rugi yang dapat diterima oleh
korban kejahatan.

A.1.4. Pasal 325 KUHP.
Pasal 325 KUHP mengatur pidana terhadap nahkoda kapal yang mengangkut budak
untuk diperjual belikan. Pasal tersebut secara lengkap berbunyi: “Barang siapa sebagai
nakhoda bekerja atau bertugas di kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan
untuk tujuan perniagaan budak, atau dipakai kapal itu untuk perniagaan budak, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”85
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah menjalankan pekerjaan sebagai
nakhoda padahal mengetahui kapal digunakan untuk menjalankan perniagaan budak; atau
memakai kapal untuk perniagaan budak.

A.1.5. Pasal 326 KUHP.
Jika Pasal 325 mengatur pidana tentang nakhoda kapal yang kapalnya dipergunakan
untuk tujuan perniagaan budak, maka Pasal 326 KUHP mengatur pidana tentang awak
kapal yang bekerja di sebuah kapal yang dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak.
Adapun bunyi Pasal 326 adalah sebagai berikut :
“Barang siapa bekerja sebagai awak kapal di sebuah kapal, sedang diketahuinya
bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan atau keperluan perniagaan budak, atau
dengan sukarela tetap bertugas setelah mendengar kapal itu dipergunakan untuk
tujuan atau keperluan perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.”86
Pasal yang berlaku khusus bagi anak buah kapal ini melarang perbuatan masuk
bekerja sebagai anak buah kapal padahal mengetahui kapal digunakan untuk perniagaan
budak atau dengan kemauan sendiri tetap menjadi anak buah kapal walaupun mengetahui
kapal digunakan untuk perniagaan budak.
Perbuatan awak kapal yang bekerja di sebuah kapal yang dipergunakan untuk
perniagaan budak, adalah perbuatan yang diancam pidana dimana awak kapal adalah murni
sebagai pelaku. Namun keterlibatan awak kapal dalam tindak pidana perdagangan manusia
atau perniagaan budak, apabila dikaitkan dengan konsep penyertaan, dapat digolongkan
sebagai orang yang membantu atau memudahkan terjadinya perdagangan manusia atau
perniagaan budak tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 324. Seperti halnya dengan
nahkoda, ancaman pidana bagi awak kapal yang dapat digolongkan sebagai pembantu
tindak pidana atau turut serta tidak mengikuti Pasal 57 KUHP yang mengurangi sepertiga
dari pidana pokok, namun ditetapkan secara khusus.

A.1.6. Pasal 327 KUHP.
Selain pasal-pasal tersebut diatas, dalam KUHP juga mengatur ancaman pidana
terhadap keterlibatan seseorang dalam tindak pidana perdagangan budak dengan cara turut
campur dalam (1) menyewakan, (2) memuati atau (3) menanggung asuransi kapal yang
diketahuinya dipakai untuk perniagaan budak belian. Pasal 327 KUHP secara lengkap
berbunyi :
“Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain, secara langsung atau tidak
langsung bekerja sama untuk menyewakan, mengangkutkan atau mengasuransikan
sebuah kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan
perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Menurut pasal ini bila yang disewakan, dimuati, diasuransikan adalah kapal maka
yang harus diberlakukan adalah Pasal 327, namun apabila alat transportasinya bukan kapal,
maka yang berlaku adalah Pasal 324.
Dalam Pasal 327 terdapat unsur penyertaan yaitu antara penyewa atau pengangkut               
dengan pemilik, apabila mengetahui bahwa kapal dipergunakan untuk perniagaan budak.
Namun dalam pasal tersebut, penyewa atau pengangkut dan pemilik mendapat ancaman
pidana yang lebih rendah daripada nakhoda dan awak kapal yang bekerja di kapal yang
dipergunakan sebagai sarana perniagaan budak.

A.1.7. Pasal 328 KUHP.
Penculikan adalah salah satu dari tindak pidana lain yang berhubungan dengan
perdagangan manusia. Penculikan diatur dalam Pasal 328 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat
tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara
melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk
menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.”88
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini membawa pergi seorang dari tempat
kediamannya atau tempat tinggalnya sementara. Pada waktu membawa pergi, pelaku harus
mempunyai maksud untuk membawa korban dengan melawan hak di bawah kekuasaannya
sendiri atau kekuasaan orang lain atau menjadikannya terlantar.

A.1.8. Pasal 329 KUHP.
Pasal 329 berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk
bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”89
Pasal 329 KUHP dimaksudkan untuk mengatasi masalah penipuan dalam mencari
pekerjaan. Bila dihubungkan dengan masalah perdagangan manusia, maka unsur yang
penting dan harus dibuktikan adalah penipuannya itu karena pada awalnya pasti telah ada
persetujuan dari korban untuk dibawa bekerja ke suatu tempat.

A.1.9. Pasal 330 KUHP.
Pasal 330 KUHP adalah salah satu tindak pidana lain yang berhubungan dengan
kejahatan perdagangan manusia. Pasal ini hampir sama dengan pasal penculikan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 328 KUHP, namun yang membedakan adalah orang
yang sengaja ditarik masih belum dewasa dan tidak ada unsur maksud membawa orang itu
dengan melawan hak di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain atau agar orang itu
terlantar. Adapun bunyi Pasal 330 KUHP secara lengkap adalah sebagai berikut:
“(1) Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari
kekuasaan yang menurut Undang-Undang ditentukan atas dirinya, atau dari
pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.90
Pasal 330 ayat (1) KUHP mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana
penjara paling lama 7 tahun, sedangkan Pasal 330 ayat (2) KUHP merupakan delik
pemberatan, yaitu apabila dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau apabila korban belum berumur dua belas tahun, maka pelaku diancam
dengan pidana penjara yang lebih berat, yaitu 9 tahun.

A.1.10. Pasal 331 KUHP.
Pasal 331 KUHP melarang perbuatan orang menyembunyikan yang belum dewasa
dari kekuasaan yang menurut Undang-Undang ditentukan atas dirinya. atau dari
pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari
pengusutan pejabat kehakiman atau kepolisian. Perbuatan ini diancam dengan penjara
paling lama empat tahun, atau jika anak itu berumur di bawah dua belas tahun, dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 331 KUHP secara lengkap berbunyi:
Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur yang
ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut Undang-Undang
ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau
dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, atau jika anak itu
umurnya dibawah dua belas tahun, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.91
Pasal 331 KUHP mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara paling
lama 4 tahun, dan memiliki delik pemberatan, yaitu apabila orang yang disembunyikan
umurnya dibawah 12 tahun, maka pelaku diancam dengan pidana penjara yang lebih berat,
yaitu 7 tahun.

A.1.11. Pasal 332 KUHP.
Pasal 332 KUHP berbunyi :
“Diancam dengan pidana penjara;
1. paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum
cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan
persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita
itu, baik di dalam maupun di luar pernikahan;
2. paling lama sembilan tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan
tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk
memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik didalam maupun diluar
pernikahan.”92
Dalam Pasal ini terdapat ancaman pidana terhadap orang yang membawa pergi
seorang wanita yang belum cukup umur meskipun dengan kemauannya sendiri. Apabila
tindakan membawa pergi perempuan bertujuan untuk mengeksploitasi perempuan tersebut,
maka dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia/perempuan. Pasal ini juga
memberikan pemberatan ancaman pidana terhadap pelaku yang melarikan wanita dengan
menggunakan tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan.
Pasal 332 KUHP merupakan delik aduan absolut, yaitu harus ada pengaduan
terlebih dahulu untuk menuntut perbuatan pelaku. Menurut Pasal 332 ayat (3), jika wanita
yang dibawa pergi belum cukup umur, pengaduan dilakukan oleh wanita itu sendiri atau
orang lain yang harus memberi ijin bila wanita itu menikah (orang tua / wali), namun jika
wanita yang dibawa pergi sudah cukup umur, maka pengaduan dilakukan oleh wanita itu
sendiri atau suaminya.
Pasal 332 KUHP memiliki delik pemberatan, yaitu paling lama 9 tahun terhadap
pelaku yang melarikan wanita dengan menggunakan tipu muslihat, kekerasan, atau
ancaman kekerasan.

A.1.12. Pasal 333 KUHP.
Pasal 333 KUHP berbunyi :
“(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan
seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini berlaku juga bagi orang yang dengan
sengaja memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.”93
Ada 3 perbuatan yang dapat dipidana oleh Pasal 333 KUHP, yaitu merampas
kemerdekaan seseorang, meneruskan penahanan atau memberikan tempat untuk menahan,
dengan melawan hak.
Perbuatan secara melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang atau
meneruskan penahanan, merupakan perbuatan yang dapat digolongkan kedalam kejahatan
perdagangan manusia, bila bertujuan untuk eksploitasi, sedangkan perbuatan memberikan
tempat untuk menahan, dapat dikategorikan membantu perdagangan manusia, karena
memberikan sarana untuk terjadinya kejahatan perdagangan manusia.
Dalam Pasal 333 KUHP ini terdapat pemberatan pidana karena akibat dari
perbuatan merampas kemerdekaan tersebut, yaitu paling lama 9 tahun jika korban
mengalami luka berat dan paling lama 12 tahun, jika mengakibatkan korban mati.
Unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 297, 330, 331 dan 332, yang menyebutkan
“belum cukup umur” dapat menimbulkan permasalahan tersendiri karena dalam KUHP
tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa
atau belum cukup umur. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di bawah umur,
ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di bawah umur (Pasal
283, 292, 293, 295, 297, 300, 330, 331, 332), tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus
menyebutkan usia 12 tahun (Pasal 287, 301, 330, 331), 15 tahun (Pasal 287, 290), 17 tahun
(Pasal 283). Dengan demikian tidak ada patokan yang jelas untuk unsur ini. Apabila
berpegang pada usia dewasa menurut BW, maka belum berusia 21 tahun atau belum
menikah lah yang menjadi batas untuk menentukan bahwa orang tersebut belum dewasa.
Akan tetapi bila mengikuti UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), maka batas usia belum
dewasa adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang dapat digolongkan sebagai “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.94 Moeljatno
menuliskan dalam catatan penerjemah pada KUHP, bahwa
“menurut Staatsblad 1931 no.54, jika dalam perundang-undangan dipakai istilah
“minderjarig” (belum cukup umur) terhadap golongan bumiputera, maka yang
dimaksud ialah mereka yang umurnya belum cukup dua puluh satu tahun dan belum
kawin sebelumnya. Jika sebelum umur dua puluh satu tahun, perkawinannya
diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi “belum cukup umur”.95
Pasal-pasal diatas (Pasal 297, 301, 324, 325, 326, 327, 329, 330, 331 dan 332
KUHP) mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara. Sistem ini mewajibkan
hakim untuk menentukan atau menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku, namun belum
ada mengenai ganti rugi yang dapat diperoleh korban perdagangan manusia akibat
perbuatan pelaku. Dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentuk
perlindungan secara tidak langsung karena belum mencantumkan perlindungan secara
langsung atau konkret misalnya adanya ganti rugi.
Selain memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan manusia secara
tidak langsung (abstrak), KUHP juga memberikan perlindungan secara langsung (konkret).
Perlindungan secara langsung tersebut diatur dalam Pasal 14a dan Pasal 14c yang pada
intinya menyatakan bahwa apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau
94 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1.
95 Moeljatno, Op.cit, hal. 40
pidana kurungan, maka hakim dapat memerintahkan agar pidana tidak usah dijalani,
dengan menetapkan syarat umum (terpidana tidak akan melakukan tindak pidana), maupun
syarat khusus yaitu terpidana dalam waktu tertentu, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Pasal 14a secara lengkap berbunyi
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana
kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim
dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika
dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si
terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan
dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa
percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam
perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkaraperkara
yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan
pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan
yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam
menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai
perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu
ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan
pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya
syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syaratsyarat
khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi alasan perintah itu.96
Pasal 14 c menyatakan bahwa
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda,
selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak
pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu
tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala
atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana
kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506,
dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku
terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari
masa percobaan.

KUHP, Pasal 14a.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama
atau kemerdekaan berpolitik terpidana97
Menurut pasal tersebut, korban tindak pidana perdagangan manusia dapat
memperoleh ganti kerugian atau kompensasi dari pelaku tindak pidana perdagangan
manusia, namun ganti kerugian itu hanya bisa didapatkan oleh korban apabila hakim
menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana kurungan, dan ganti kerugian
yang diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, diberikan sebagai syarat agar
pelaku tersebut tidak menjalani pidana penjaranya. Jadi pelaku dapat bebas dari pidana atas
perbuatannya dengan memberikan ganti kerugian kepada korban kejahatan. Hal ini tentu
saja kembali menimbulkan rasa ketidak adilan pada korban.

A.2. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang memberikan definisi yang lebih khusus lagi dibandingkan KUHP dan
memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
orang sebagai wujud perlindungan terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal
tersebut antara lain:

A.2.1. Pasal 2.
Pasal ini mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku
perdagangan manusia baik secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari
97 Ibid., Pasal 14c.
orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi.
Secara lengkapnya Pasal 2 berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).98
Pasal 2 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang.
b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi
bayaran atau manfaat.
c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain.
d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut.
e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b,
kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan
tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang ini.
98 Pasal 2, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Dalam pasal ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang
tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.99
Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah
“tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.”100

A.2.2. Pasal 3.
Pasal 3 Undang-Undang No.21 Tahun 2007, memberikan pengaturan pidana
terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk
dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia maupun di Negara lain. Orang
yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan
maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah)
dan maksimal Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3
adalah:
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).101
Pasal 3 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. Memasukkan orang.
b. Ke wilayah negara Republik Indonesia.
c. Dengan maksud untuk dieksploitasi.
d. Di wilayah negara Republik Indonesia
e. Atau dieksploitasi di negara lain.
Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan
manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan
manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku
menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan
sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke Negara lain sebagai tempat
tujuan.

A.2.3. Pasal 4.
Berbeda dengan Pasal 3, Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada
setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah:
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. membawa warga negara Indonesia.
b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
c. dengan maksud untuk dieksploitasi.
d. di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan
manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber perdagangan
manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

A.2.4. Pasal 5.
Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan pengangkatan
anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk
dieksploitasi. Bunyi Pasal 5 secara lengkap adalah:
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).103
Pasal 5 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. melakukan pengangkatan anak.
b. dengan menjanjikan sesuatu.
c. atau memberikan sesuatu.
d. dengan maksud untuk dieksploitasi.
Pasal 5.
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi
anak tersebut.

A.2.5. Pasal 6.
Pasal 6 Undang-Undang No.21 Tahun 2007, memberikan larangan untuk
melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi Pasal 6 secara lengkap, yaitu:
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).104
Pasal 6 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. melakukan pengiriman anak.
b. ke dalam atau ke luar negeri.
c. dengan cara apa pun.
d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar
daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
Definisi anak menurut Pasal 1 Undang-Undang ini adalah: Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
104 Undang-Undang No.21 Tahun 2007, Pasal 6.
A.2.6. Pasal 9.
Pasal 9 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 mengatur tentang sanksi pidana yang
dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain
supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun tindak pidana itu tidak terjadi.
Pasal 9 secara lengkap berbunyi:
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).105
Pasal 9 Undang-Undang No. 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. berusaha.
b. menggerakkan orang lain.
c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang.
d. tindak pidana itu tidak terjadi.
Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak
pidana perdagangan manusia. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tidak
menjelaskan yang dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut.

A.2.7. Pasal 10, 11, dan 12.
Pasal 10, 11 dan 12 menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu atau
melakukan percobaan, merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
105 Ibid., Pasal 9.
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana
perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari
hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku
tindak pidana perdagangan manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi:
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (Pasal 10)
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.( Pasal 11)
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban
tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6.(Pasal 12)106
Delik pembantuan, percobaan, permufakatan jahat serta menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan manusia atau mengambil keuntungan
dari hasil tindak pidana perdagangan manusia, diatur dengan Pasal tersendiri dalam
Undang-Undang No.21 Tahun 2007 ini.
Pasal-Pasal tersebut mengatur bahwa pelaku yang memenuhi delik pembantuan,
percobaan, permufakatan jahat serta menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan manusia atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan manusia, dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana
perdagangan manusia.
 Undang-Undang No.21 Tahun 2007, Pasal 10, 11, dan 12.
Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 53 KUHP tentang percobaan, dimana apabila
seseorang telah melakukan permulaan perbuatan namun tidak selesai bukan karena
kehendak dari pelaku, maka hukumannya dikurangi sepertiga. Begitu pula dengan
pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 56 dan 57 KUHP, dimana ancaman
pidana bagi pelaku pembantuan dikurangi sepertiga dari pidana pokoknya.

A.2.8. Pasal 17.
Pasal 17 memberikan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia
yang masih anak-anak. Jika tindak pidana seperti Pasal 2, 3, dan 4 dilakukan terhadap anak,
maka ancamannya ditambah sepertiga. Secara lengkap bunyi Pasal 17 adalah sebagai
berikut: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). 107
Pasal ini hanya memberi pemberatan pidana jika korban perdagangan manusia
adalah anak-anak. Menurut Undang-Undang ini anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.108

A.2.9. Pasal 19.
Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak pidana memberi
keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen Negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 19.
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen
negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain,
untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).109
Pasal 19 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu.
b. Atau memalsukan.
c. Dokumen negara atau dokumen lain.
d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi
tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte
kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi tetapi tidak terbatas
pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia,
asuransi, dan dokumen yang terkait.110
Tindak pidana ini adalah tindak pidana lain yang berhubungan dengan
tindak pidana perdagangan manusia yang sering terjadi. Selama ini proses
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana ini baru menggunakan KUHP
(lihat tabel 1).

A.2.10. Pasal 20.
Pasal 20 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan
109 Ibid., Pasal 19.
110 Ibid., Penjelasan Pasal 19.
tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu
atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu
atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang
pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).111
Pasal 20 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. memberikan kesaksian palsu.
b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu.
c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu
atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang
pengadilan perdagangan manusia.
Kata “setiap orang” dalam Pasal 20, dapat berarti “orang perseorangan” maupun
“korporasi”, sehingga dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana atau subyek tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan
Pasal 20 Undang-Undang ini adalah orang perseorangan maupun korporasi.

A.2.11. Pasal 21.
Pasal 21 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan
111 Undang-Undang No.21 Tahun 2007, Ibid., Pasal 20.
tindak pidana perdagangan orang yang berupa penyerangan fisik terhadap saksi atau
petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau
petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).112
Pasal 21 Undang-Undang No.21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
a. melakukan penyerangan fisik.
b. terhadap saksi atau petugas.
c. di persidangan.
d. dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 21 tidak hanya memberi perlindungan kepada korban perdagangan manusia
yang menjadi saksi di persidangan tindak pidana perdagangan manusia, namun juga
memberi perlindungan hukum kepada petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana
perdagangan manusia.

Photobucket