Pages

Sunday, November 11

UU RI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat
dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi semakin berkembang luas di
tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat
(2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I . . .
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan
atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi
yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi
melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi
elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang
cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3 . . .
- 3 -
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni
dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan
masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral
dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan
perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap . . .
- 4 -
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas
seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung
maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang
diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek
atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11 . . .
- 5 -
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di
tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh
pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi
pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan . . .
- 6 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik
dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
b. melakukan . . .
- 7 -
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan
edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan
pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan
yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap
bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat
perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB V . . .
- 8 -
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat
bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk
cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik,
maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran
komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan
internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan
data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang
diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau
membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau
berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 26 . . .
- 9 -
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim
turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di
tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil
perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan
membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang
menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang yang dimusnahkan.
BAB VII . . .
- 10 -
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34 . . .
- 11 -
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau
sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3
(sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38 . . .
- 12 -
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan
dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
(7) Dalam . . .
- 13 -
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan
3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap
pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-
Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen,
kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling
lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau
menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil
terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan
kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di
tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan
pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah
mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam
pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan
oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media
pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk
mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan
yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum
memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga
perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan . . .
- 2 -
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan
generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1)
pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3)
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi,
termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan,
yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga
diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman
tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi,
Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara,
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan,
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi
diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian
luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya
diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk
dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya
dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan
homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain
persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan
(penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau
pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah
suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh,
tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang
melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang
berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” (down load) adalah mengambil fail
dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.
Pasal 6 . . .
- 4 -
Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundangundangan"
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film,
lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga
pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan,
laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya
dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan
lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman
atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk
atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan
seksual, masturbasi, atau onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 5 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi,
membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk
menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam
ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian
bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan
sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus"
misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak
atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan
pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh
pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait
dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 6 -
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah
agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri,
tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan
hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 . . .
- 7 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 8 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928
- 9 -

Photobucket

PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian liukum dan
persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat,
berserikat dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan
ketentuan mcngcnai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi
landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;
c. bahwa paliam dan ajaran Komunisme/Marxisme/Lenimisme dalam praktek
kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan
yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa
Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan
kelangsungan hidup bangsa Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b dan c perlu membentuk
Undang-undang tentang Perubahan Kitab Undang-undang tujukan Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No.V/MPR/1973 tentang Peninjauati Produk-produk Yang Berupa Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo
Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyalakan Berlakunya Undangundang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa
pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan
berikutnya Ketentuan Perundang-undangan Pidana.Kejahatan Terhadap
Penerbangan dan kejahatan Terhadap sarana/prasarana penerbangan;
Dengan persetujuan
DEWAN PERNVAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANGUNDANG
HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN
TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
Pasal 1
Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I
Buku 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d,
Pasal 107 e, dan Pasal 107 f yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107 a
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan,
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 b
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisnie/Marxisme-Leninismce yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 d
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 107 e
Dipidana dcngan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk
dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan
kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107 f
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama
20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat
dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau
diundangka
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan
pengadaan atau distribusi bahan pokok yang mcnguasai hajat hidup orang
hanyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, mcmerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROE DR H MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 74
PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA YANG
BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP
KEAMANAN NEGARA
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Pembangunan nasional di bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan serta memberikan rasa aman dan tenntram.
Dalam usaha mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari ancaman dan
bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan
dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan
dan dari tindak pidana lainnya yang membahayakan keamanan negara, perlu
mengadakan perubahan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan
menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan
negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Pasal 107 a
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau
ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang
diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih
dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Pasal 107 b
Cukup jelas
Pasal 107 c
Cukup jelas
Pasal 107 d
Cukup jelas
Pasal 107 e
Cukup jelas
Pasal 107 f
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam pasal ini adalah instalasi
Tertentu (penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan
Wakil Presiden untuk kegiatan kcnegaraan, kediaman resmi Presiden dan
Wakil Presiden, gedung-gedung Lembaga Tinggi Negara dan gedung,yang
Digunakan untuk tamu-tamu Negara yang setingkat dengan Presiden.
Yang dimaksud dengan "instalsi militer" adalah instalasi vital militer.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3850

Photobucket

KAITAN PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN


Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya. Kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari bank yang dikenal dengan Kredit Pembelian Rumah (KPR). Sedangkan kebutuhan yang bersifat produktif misalnya meningkatkan atau memperluas kegiatan bisnisnya, dagangannya, atau usaha lain apapun, contohnya membeli mesin-mesin pabrik, membangun pabrik dan lain-lain. Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang‑undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu. Adapun ratio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Photobucket