Pages

Thursday, January 17

Skema Penahanan

Skema Penahanan

Istilah penahanan sering dikacaukan dengan pengertian penangkapan. Penangkapan = arrest [Inggris] sedang Penahanan = detention [Inggris]. Perbedaan disini terdapat karena penangkapan memiliki jangka waktu tidak lama, misalkan dalam hal tertangkap tangan, maka penangkapan yang dilakukan oleh setiap orang hanya berlangsung antara ditangkapnya si-tersangka sampai ke kantor Polisi terdekat, barulah selanjutnya Polisi yang berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka.
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan HAK ASASI MANUSIA yang harus dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak, yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat si-tersangka [“C’est l’ eternel conflit entre la liberte et l’autorite”, sebagaimana dikatakan oleh Larnaude dalam rede-nya tahun 1901]6. Hukum Acara Pidana disini memiliki keistimewa-
an karena memiliki ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan azas-azas hak manusia yang universal, khususnya hak terhadap kebebasan seseorang, oleh karenanya penahanan seharusnya dilakukan jika PERLU SEKALI, karena kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi pejabat berwenang yang melaksanakan penahanan.

Photobucket

Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan



Parate eksekusi pada lembaga jaminan fidusia diatur didalam dua

Pasal yaitu, Pasal 15 ayat (3) yang menyatakan: “Apabila debitor cidera

janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang

menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”; dan Pasal

Pasal 29 ayat (1) Huruf (b) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang

Fidusia, yang menyatakan:

“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi

terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat

dilakukan dengan cara: … b. penjualan benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari

hasil penjualan”.
Suatu harapan baru bagi pelaku ekonomi dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk
mengganti hipotik dan credietverband. Tentunya Undang-Undang
Hak Tanggungan ini diposisikan lebih baik daripada saat
berlakunya hipotik dan credietverband, dalam arti bahwa UUHT
mempunyai ciri kemudahan dan kepastian pada eksekusi atas
obyek hak tanggungan.20
Dalam hubungan utang piutang yang dijamin maupun tidak
dijamin dengan hak tanggungan, jika debitor cidera janji eksekusi
dilakukan melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata
yang berlaku. Penyelesaian utang piutang yang bersangkutan
melalui acara tersebut memerlukan waktu, karena pihak yang
dikalahkan ditingkat Pengadilan Negeri dapat mengajukan banding,
kasasi bahkan masih terbuka kesempatan untuk minta peninjauan
kembali.
Sehubungan dengan itu, bagi kreditor pemegang hak
tanggungan selain gugatan perdata, disediakan lembaga eksekusi
khusus. Ciri khusus dari hak tanggungan sebagai hak jaminan atas
tanah adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal itu
merupakan perwujudan ciri tersebut yang berupa kemudahan yang
pasti disediakan khusus oleh hukum bagi kreditor pemegang hak
tanggungan dalam hal debitor cidera janji.
Adapun yang disebut dengan eksekusi hak tanggungan
adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang hak
tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari
hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului
daripada kreditor-kreditor yang lain.
Masalah eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20
UUHT, yang menyebutkan bahwa:
1. Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual
obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 atau;
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang
hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor
lainnya.
2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan,
penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di
bawah tangan, jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam
2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau mesia massa setempat, serta tidak
ada pihak yang menyatakan keberatan.
4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.
5. Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan,
penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan
hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan.
Pada prinsipnya, setiap eksekusi harus dilaksanakan
dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek
hak tanggungan21.
Kemudian berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa,
apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak dalam
ketentuan Pasal 6 UUHT ini merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak
tanggungan atau hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih
dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan
pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa
apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak
untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum
tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan
dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan
itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil
penjualan, tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan.
Eksekusi hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 20
UUHT, yang telah diuraikan tersebut di atas, tetapi dalam Bab VIII
pada Ketentuan Peralihan khususnya yang berkaitan dengan
eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 26 UUHT, yang
menyatakan:
“Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya , dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada
mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap
eksekusi hak tanggungan”.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 26 UUHT, yang
dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik, yang ada
dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Pasal 224 HIR / Pasal 258 Rbg.
Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah
bahwa grosse acte hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti
adanya hipotik, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak
Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak
Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai
eksekusi hipotik atas tanah yang disebut diatas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 9,
ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa
selama masa peralihan tersebut ketentuan hukum acara di atas
berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan
sertifikat hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.
Pasal 26 dan Penjelasannya sebagaimana yang diuraikan di
atas, dapat dipahami bahwa Pembentuk UUHT berkehendak dalam
masa peralihan, sebelum terbentuk adanya peraturan yang
mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, maka eksekusi hipotik
yang ada berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, namun
dengan memperhatikan ketentuan dala Pasal 14 UUHT mengenai
eksekusi hipotik tetap berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan
selama belum ada peraturan baru. Pasal 14 mengenai
dipersamakan gosse acte hipotik dengan akta hak tanggungan
diberlakukan (Pasal 14 ayat (3)). Grosse acte hipotik yang
berfungsi sebagai tanda bukti adanya hipotik, dalam hak
tanggungan adalah sertifikat hak tanggungan. Peraturan mengenai
eksekusi hipotik adalah ketentuan dalam Pasal 224 HIR dan Pasal
258 Rbg.
Peraturan perundang-undangan yang belum ada adalah
peraturan yang secara khusus mengatur eksekusi hak tanggungan,
sebagai pengganti ketentuan mengenai eksekusi hipotik atas
tanah. Ketentuan Peralihan, ketentuan hukum acara di atas berlaku
terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat
hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaan.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan hukum apakah
prosedur eksekusi hipotik tersebut hanya untuk eksekusi atas dasar
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan
atau termasuk juga eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 UUHT.
Adanya suatu titel eksekutorial menimbulkan suatu
ketentuan eksekutorial, suatu daya paksa. Titel eksekutorial pada
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT,
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk
eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg.
Mengenai eksekusi tersebut, baik yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 6 UUHT maupun ketentuan mengenai parate
eksekusi, yang hanya dapat digunakan jika adanya dan jumlahnya
utang yang dijamin dapat mudah diketahui dan dihitung secara
pasti. Jika tidak, permohonan eksekusi melalui lembaga parate
eksekusi akan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dan untuk
penyelesaian utang-piutang yang bersangkutan pihak kreditor akan
dipersilahkan mengajukan gugatan perdata. Penolakan tersebut
dilakukan untuk melindungi pihak debitor dan pemberi hak
tanggungan, sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum hak
jaminan bukan hanya melindungi kepentingan kreditor, tetapi
memberikan perlindungan juga kepada debitor dan pemberi hak
tanggungan secara seimbang.
Dalam gugatan perdata bagi debitor tersedia kesempatan
yang lebih luas untuk membuktikan dalil-dalilnya, oleh karena itu
hal tersebut perlu diperhatikan oleh kreditor dalam perumusan
ketentuan perjanjian kredit dan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Pengaturan eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 Rbg
adalah eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (Sertifikat
Hak Tanggungan) dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua
grosse acte tersebut dimaksudkan, memang mempunyai hak
eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte tersebut mempunyai
kekuatan sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Maka eksekusinya tunduk dan patuh
sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan, yang harus
dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri23.
Ketentuan Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Hak
Tanggungan menyebutkan setiap janji untuk melaksanakan
eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.
Selanjutnya, kalau ada janji cara eksekusi yang menyimpang dari
ketentuan Pasal 20 Undang – undang Hak Tanggungan, biasanya
23 Herowati Poesoko, Op Cit, hal. 22
janji seperti itu dimasukkan dalam perjanjian kredit/surat hutang
atau mungkin dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan. Dalam hal demikian, maka “janji” tersebut batal
demi hukum, tetapi perjanjian kredit/ surat hutang dan APHT-nya
sendiri, tetap hidup sebab pada asasnya pembatalan tidak
mempunyai daya kerja lebih daripada sekedar untuk mencapai
tujuan seperti yang diharapkan oleh pembuat undang – undang,
yang dalam hal ini adalah tidak adanya janji yang bertentangan
dengan Pasal 20 Undang – undang Hak Tanggungan.24
Debitor yang wanprestasi atau kreditnya telah dinyatakan
macet, bank atau kreditor cenderung akan langsung menggunakan
dasar Pasal 6 UUHT untuk melaksanakan eksekusi dengan
meminta bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) sebagai pelaksana permintaan bank atau kreditor,
sehingga seolah – olah semua produk hasil perikatan bank selaku
kreditor dengan pihak debitor, sejak perikatan tersebut dibuat dan
ditandatangani sampai pada debitor dinyatakan wanprestasi oleh
kreditor/bank dianggap benar, dan debitor dalam hal ini dapat
dikatakan sudah tidak dalam posisi yang sejajar kedudukannya
dengan kreditor/bank. Sehingga dimungkinkan sebelum
kreditor/bank memberikan somasi dan menyatakan debitor telah
wanprestasi dan selanjutnya meminta bantuan Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), debitor mengajukan
gugatan ke Pengadilan menuntut hak-haknya apabila ada yang
dilanggar oleh kreditor/bank, dan dengan munculnya persoalan
baru tersebut sudah tentu akan menjadikan pembeli lelang
eksekusi hak tanggungan yang mendasarkan pada Pasal 6 UUHT
tersebut akan berpikir lagi dan cenderung tidak berani mangambil
resiko dengan membeli barang yang masih dalam persengketaan.
Oleh karena itu pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dengan
pertolongan hakim dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
dalam praktek dimana Ketua Pengadilan Negeri yang dapat
menjadi pihak yang berada di tengah diantara kepentingan kreditor
dan debitor pada waktu dilakukan somasi dengan memanggil
debitor untuk datang ke Pengadilan dimungkinkan juga untuk
memberikan masukan, saran dan pertimbangan-pertimbangan
hukum sehingga debitor dan kreditor masing-masing terwakili
kepentingannya, pada akhirnya dapat terjadi eksekusi secara
sukarela maupun dilakukan penjualan di bawah tangan.
Undang-Undang Hak Tanggungan juga mengatur ketentuan
mengenai kesempatan bagi debitor untuk menghindari pelelangan
obyek hak tanggungan yaitu sebagaimana dalam Pasal 20 ayat (5)
UUHT yang menyebutkan sampai saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan hak
tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan. Bahwa pemberi hak tanggungan diberikan
kesempatan seperti itu adalah logis dan patut, karena bagi kreditor
pada asasnya yang penting adalah mendapat pelunasan atas
tagihannya, apakah melalui pembayaran sukarela atau melalui
lelang baginya mestinya tidak menjadi soal. Apalagi pengambilan
pelunasan melalui lelang harus mengikuti prosedur tertentu, yang
selain memakan ongkos juga memakan waktu

Photobucket

PENGERTIAN DAN PERJANJIAN KREDIT

Pengertian Kredit

Di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Tentang

Perbankan, pada Pasal 1 butir 11 ditegaskan bahwa kredit

adalah penyediaan. uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Intisari dari kredit adalah unsur kepercayaan. Unsur

lainnya adalah mempunyai pertimbangan tolong menolong.

Selain itu dilihat dari pihak kreditor, unsur penting dalam

kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil

keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi;

sedangkan dipandang dari segi debitor adalah adanya bantuan

dari kreditor untuk menutupi kebutuhan yang bcrupa prestasi.

Hanya saja antara prestasi dengan kontraprestasi ada suatu

masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan resiko

yang berupa ketidaktentuan, sehingga oleh karenanya

diperlukan suatu jaminan dalam pemberi tersebut

Kredit yang diberikan oleh finance didasarkan atas

kepercayaan sehingga dengan pemberian kredit merupakan

pemberian kepercayaan nasabah. Oleh karena pemberian

kredit oleh finance merupakan usaha finance untuk

mendapatkan keuntungan. Finance tidak boleh meneruskan

kredit yang diambil oleh konsumen, jika ia betul-betul yakin

debitor akan mengembalikan pinjaman yang diterima dengan

jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan kedua

belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya

faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehatihatian

dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur

keuntungan (profitability) dari suatu kredit33.

maka pada waktu mengajukan permintaan kredit pada

hakekatnya harus berdasarkan pada suatu perencanaan”34

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mempertimbangkan

apakah suatu permohonan kredit dapat dikabulkan atau tidak,

dikenal dengan adanya beberapa formulasi pertama yang
a. Personality
Adalah menyangkut kepribadian peminjam (calon nasabah),
seperti riwayat hidup, hobby, keadaan keluarga dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan kepribadian calon nasabah.
b. Purpose
Menyangkut tentang maksud dan tujuan pemakaian kredit
c. Payment
Adalah kemampuan calon nasabah untuk mengembalikan
kredit.
d. Prospek
Adalah harapan masa depan dari usaha calon debitor.
Dengan kata lain hal-hal yang perlu dipertimbangkan
atau diperhatikan atas permohonan kredit adalah yang
menyangkut :
1) Pribadi peminjam
2) Harta bendanya
3) Usahanya
4) Kemampuan dan kesanggupan membayar kembali
pinjamannya dan hal-hal lainnya yang turut
mempengaruhi.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pokok
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, dimana dalam
memberikan kredit mempunyai keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai
dengan yang dijanjikan. "The five c's of credit analysis"
terdiri dari :
a. Caracter (kepribadian, watak)
Adalah kepribadian dari calon debitor, ini perlu sekali
diperhatikan untuk mengetahui apakah ia dapat
memenuhi kewajibannya dengan baik. Hal-hal yang
dapat diperhatikan adalah sifat debitor yang meliputi
perilaku sehari-hari, cara hidup. keadaan keluarga,
pergaulan dan sebagainya.
b. Capacity (kemampuan, kesanggupan)
Adalah kemampuan si pemohon untuk mengelola suatu
perusahaan yang mana modalnya dari pihak bank.
c. Capital (modal, kekayaan)
Adalah modal usaha dari calon debitor yang telah
tersedia atau telah ada sebelum mendapatkan fasilitas
kredit.
d. Collateral (jaminan, agunan)
Adalah agunan atau jaminan yang diberikan oleh calon
debitor. Jaminan ini bersifat sebagai tambahan, karena
jaminan utama kredit adalah pribadi calon nasabah dan
usahanya. Di samping itu jaminan tambahan ini juga
merupakan benteng terakhir bagi keselamatan kredit.
Dengan adanya jaminan, kreditor mendapat kepastian
bahwa kredit yang diberikan dapat diterima kembali pada
saat yang ditentukan. Mengenai benda jaminannya dapat
berupa benda-benda bergerak dan tidak bergerak yang
secara yuridis dapat diikat sebagai jaminan.
e. Condition of economy
Adalah kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan di mana
harus disesuaikan dalam masyarakat. Disamping itu juga
keadaan perdagangan serta persaingan dan lingkungan
calon nasabah juga perlu diperhatikan.
Dalam pemberian kredit harus memperhatikan juga unsurunsur
kredit antara lain36 :
1. Kepercayan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa
prestasi yang akan diberikan baik dalam bentuk uang,
barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali
dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
2. Tenggang waktu, yaitu satu masa yang memisahkan
antara pemberi prestasi dengan kontra prestasi yang
akan diterima pada masa yang akan datang.
3. Degree of risk yaitu tingkat resiko yang dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan
antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang
akan diterima di kemudian hari
4. Prestasi adalah pemberian sesuatu yang dapat berupa
uang
Dalam ketentuan Undang-undang Pokok Perbankan
Nomor 10 Tahun 1998, kredit dapat dibedakan atas beberapa

dasar penggolongan. yaitu :
a. Kredit menurut sifat penggunaannya.
1) Kredit konsumtif
Kredit ini dipergunakan oleh nasabah atau debitor
untuk keperluan konsumsi atau keperluan untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
2) Kredit produktif
Kredit ini ditujukan untuk keperluan produksi dalam arti
yang luas, sehingga kredit ini akan semakin
meningkatkan nilai uang atau barang-barang atau jasa.
Tujuan dan Fungsi Kredit itu sendiri adalah :
1. Tujuan kredit
Bagi bank atau pemberi kredit adalah untuk mendapatkan
keuntungan pemberian kredit berupa bunga kredit.
2. Bagi kepentingan umum dan masyarakat adalah agar
dapat dicapai peningkatan produktifitas dan daya guna
suatu barang atau modal untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang disertai kelancaran peredaran sosial
ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Bagi nasabah atau penerima kredit ada profitability
dan responsibility, yaitu memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya atas usaha yang dibiayai dengan
faslitas kredit bank dan untuk dapat memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian37.
b. Fungsi Kredit
1). Meningkatkan daya guna modal. Dalam hal ini adalah usaha
sehingga penerimaan modal dapat meningkatkan usahanya.
2). Meningkatkan daya guna suatu barang, sedang orang yang
menerima kredit bisa meningkatkan usahanya dengan cara
memproduksi barang dari barang mentah menjadi barang jadi.
3). Menimbulkan semangat untuk berusaha dari masyarakat
dengan diberikannya kredit maka nasabah atau pengusaha
seperti tumbuh lagi kemampuan untuk bekerja keras guna
mencapai suatu keuntungan.
4).Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan
nasional.Bila perusahaan itu semakin meningkat maka
pendapatan dari perusahaan juga akan meningkat sehingga
mempengaruhi pajak yang akan diberikan kepada negara.
Dengan pajak yang semakin meningkat maka pendapatan
nasional akan meningkat pula.
5).Meningkatkan hubungan internasional. Bank-bank besar di
luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat
memberikan bantuan dalam bentuk kredit. Bank secara
langsung maupun tidak langsung kepada perusahaanperusahaan
di dalam negeri.
b. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian Kredit adalah suatu perjanjian pendahulan
(voorovereenkomst). Perjanjian pendahuluan ini merupakan
hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman
mengenai hubungan hubungan hukum antara keduanya.
Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrehendo)
obligator.38
Perjanjian kredit adalah perjanjian antara kreditor dan
debitor. Dalam hal ini debitor sebagai penyedia dana tertentu
untuk keperluan debitor dan debitor memberikan jaminan
tertentu dan membayar bunga yang ditentukan jangka waktu
pengembaliannya.
Dalam hukum perdata, perjanjian kredit adalah
termasuk dalam perjanjian tidak bernama, karena tidak dikenal
dalam KUHPerdata.
Perjanjian yang mirip dengan perjanjian kredit dalam
hukum perdata yaitu perjanjian pinjam meminjam Pasal 1754
KUHPerdata berbunyi :
”pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
benda benda yang menghabis karena pemakaian, dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula”.
Oleh karena itu perjanjian kredit tidak dapat disamakan
dengan perjanjian pinjam meminjam, walaupun memiliki
kemiripan pasal yang membolehkan perjanjian kredit mengambil
bunga dari suatu perjanjian tersebut adalah Pasal 1765
KUHPerdata berbunyi :
”Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman
uang antara lain benda yang menghabis karena pemakaian”.
Perjanjian kredit pada suatu lembaga pembiayaan ada 3
(tiga) pihak yang saling berhubungan dan terkait di dalamnya,
yaitu :39
1. Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Konsumen
Hubungan ini terjadi karena perusahaan pembiayaan dan
konsumen sebelumnya telah melakukan kontrak, yaitu kontrak
pembiayaan konsumen, atas dasar perjanjian kontrak yang
mereka tanda tangani tersebut maka para pihak terkait akan
hak dan kewajiban secara yuridis.
2. Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier
(pemasok) Hubungan antara perusahaan pembiayaan dan
supplier (pemasok) ini tidak ada hubungan kontraktual dan
hubungan hukum yang khusus, kecuali hanya perusahaan
pembiayaan konsumen sebagai pihak yang disyaratkan.
Maksud persyaratan tersebut adalah pembayaran atas barang
barang yang dibeli konsumen dari supplier (pemasok).
3. Hubungan antara Konsumen dan Supplier (Pemasok)
Hubungan ini terjadi ketika konsumen yang ingin memiliki
suatu barang maka ia akan menghubungi perusahaan
pembiayaan guna memperoleh pembiayaan berupa dana
(kredit) dan menghubungi Supplier (pemasok) sebagai
penyedia barang.
Dengan demikian dalam perjanjian kredit pada perusahaan
pembiayaan ada 2 (dua) hubungan kontraktual, yaitu :40
1. Perjanjian pembiayaan konsumen antara perusahaan
pembiayaan konsumen dan konsumen
2. Perjanjian jual beli antara Supplier (pemasok) dan konsumen.

disebut dengan "the four credit analysis", yang terdiri dari:

Photobucket

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/9/PBI/2008

PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/9/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang
berkesinambungan diperlukan perbankan yang kuat;
b. bahwa dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka
panjang, dipandang perlu untuk mempercepat proses konsolidasi
perbankan di bidang permodalan bank yang mengarahkan bahwa
kegiatan usaha (operasional) bank harus diimbangi atau
disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki
sehingga operasional bank dapat berjalan sesuai dengan besar
modal dan karakteristiknya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan
mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam rangka konsolidasi dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli
2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/16/PBI/2007 tanggal 3 Desember 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 145, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4786);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
3. Kantor Cabang Bank adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya.
4. Direksi:
a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah.
5.Komisaris …
- 4 -
5. Komisaris:
a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah.
6. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR sebesar 25% (dua
puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara;
b. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR kurang dari 25% (dua
puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
BAB II
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
Pasal 2
(1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia.
(2) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sukarela atau mandatory.
(3) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terdapat permohonan
dari …
- 5 -
dari pemegang saham Bank Umum dengan modal inti di bawah
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau pemegang saham Bank
Umum yang masih wajib membatasi kegiatan usaha.
(4) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara mandatory
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan kepada:
a. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 tidak memenuhi modal
inti minimum Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
b. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 masih wajib membatasi
kegiatan usaha dan tidak mengajukan permohonan perubahan izin usaha
menjadi BPR secara sukarela; atau
c. Bank Umum yang telah mengajukan permohonan perubahan izin usaha
menjadi BPR secara sukarela namun sampai dengan tanggal 31 Desember
2010 belum menyelesaikan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
BAB III
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
SECARA SUKARELA
Bagian Kesatu
Rencana dan Tahapan
Perubahan Izin Usaha Bank Umum Menjadi Izin Usaha BPR Secara Sukarela
Pasal 3
Rencana perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank
Umum.
Pasal 4 …
- 6 -
Pasal 4
Pemberian persetujuan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR
secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dilakukan dalam 2
(dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan
kegiatan usaha; dan
b. persetujuan perubahan izin usaha, yaitu persetujuan untuk melakukan kegiatan
usaha sebagai BPR setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
selesai dilaksanakan.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 5
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a, diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank
Indonesia, dan harus disertai dengan:
a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memutuskan perubahan
izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR;
b. rencana penyelesaian dan/atau pengalihan hak dan kewajiban Bank Umum
terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR, pengumuman
perubahan kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR, serta rencana
sosialisasi perubahan kepada nasabah;
c. laporan keuangan terakhir;
d. alasan perubahan izin usaha menjadi BPR dan rencana kerja setelah menjadi
BPR;
e. rancangan akta perubahan anggaran dasar;
f. Daftar …
- 7 -
f. daftar anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan dokumen paling
kurang:
1. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai BPR atau BPR Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS);
2. surat pernyataan dari anggota Direksi mengenai kesediaan untuk tidak
merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS;
3. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk
tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS;
4. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk
mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR kepada Bank Indonesia.
g. Khusus bagi Bank Umum yang berubah menjadi BPRS wajib menambah surat
pernyataan dari calon anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan rangkap jabatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS;
h. Rencana struktur organisasi dan susunan personalia;
i. Rencana sistem dan prosedur kerja; dan
j. Daftar pemegang saham:
1. dalam hal perorangan harus dilampiri dengan dokumen paling kurang surat
penyataan dari Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaannya
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam menjalankan usahanya.
2. dalam hal badan hukum harus dilampiri dengan dokumen paling kurang:
a) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan kesediaan
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam …
- 8 -
dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam hal badan hukum tersebut
merupakan Pemegang Saham Pengendali BPR;
b) surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali terakhir (ultimate
shareholder) yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan
permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan
usahanya; dan
c) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara benar dan
lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai dengan pemilik
terakhir, dalam hal badan hukum tersebut merupakan Pemegang Saham
Pengendali BPR.
Pasal 6
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diberikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali, Direksi, dan Komisaris, dalam hal terdapat
perubahan; dan
c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan izin usaha
Bank Umum menjadi izin usaha BPR, dalam hal terdapat perubahan lokasi
usaha Kantor Pusat atau perubahan prinsip usaha dari Bank Umum
Konvensional menjadi BPRS.
(3) Pihak-pihak …
- 9 -
(3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip harus
melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana
penyesuaian kegiatan usahanya menjadi BPR.
Pasal 7
(1) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), harus menyesuaikan kegiatan usahanya
menjadi BPR.
(2) Penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
a. perangkat hukum;
b. jenis kegiatan usaha;
c. infrastruktur;
d. pelaporan dan pemenuhan ketentuan pengawasan;
e. jaringan kantor; dan
f. kesiapan operasional.
(3) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha dengan
mengatasnamakan diri sebagai BPR sebelum mendapat persetujuan perubahan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.
Pasal 8
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip.
Bagian Ketiga
Persetujuan Perubahan Izin Usaha
Pasal 9
(1) Pengajuan …
- 10 -
(1) Pengajuan permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank
Indonesia sebelum jangka waktu persetujuan prinsip berakhir.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum
mengajukan permohonan perubahan izin usaha kepada Bank Indonesia maka
persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(3) Permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
a. laporan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang;
c. daftar susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, struktur organisasi
dan susunan personalia, serta sistem dan prosedur kerja, dalam hal terjadi
perubahan; dan
d. bukti kesiapan operasional yang paling kurang mencakup:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti penguasan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian
sewa menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan
dari pihak yang menyewakan;
3. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR.
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan paling lambat 25 (dua puluh lima)
hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam …
- 11 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. pemeriksaan terhadap bank yang bersangkutan untuk memastikan ketaatan
terhadap ketentuan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi
BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 11
(1) Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha wajib
melaksanakan kegiatan usaha BPR paling lambat 1 (satu) hari setelah tanggal
izin kegiatan usaha diberlakukan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan kegiatan usaha BPR.
Pasal 12
Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha menjadi BPR
harus mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau
disingkat “BPR” atau mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata BPR
atau disingkat “BPRS”, sesuai dengan anggaran dasar BPR pada penulisan namanya.
Pasal 13
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 9
disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia c.q.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia dengan alamat Jl.
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta. 10350.
BAB IV…
- 12 -
BAB IV
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
SECARA MANDATORY
Pasal 14
(1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur
Bank Indonesia yang akan diberitahukan kepada Bank Umum.
(2) Bagi Bank Umum yang telah terdaftar di pasar modal, salinan surat keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Badan Pengawas
Pasar Modal.
(3) Bank Umum yang ditetapkan menjadi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:
a. menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna
memutuskan pelaksanaan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR;
b. melaksanakan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) ; dan
c. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang
dilakukan oleh BPR, kecuali dalam rangka penyelesaian.
Pasal 15
(1) Jangka waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(3) huruf a wajib dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat
Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank
Umum menjadi izin usaha BPR.
(2) Jangka waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b wajib dilakukan paling lambat 12 (dua belas)
bulan …
- 13 -
bulan sejak tanggal perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR
dari Gubernur Bank Indonesia.
(3) Jangka waktu penghentian transaksi produk dan jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c wajib dilakukan sejak tanggal Surat Keputusan
Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi
izin usaha BPR.
BAB V
SANKSI
Pasal 16
Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan kegiatan usaha sebagai BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1), dan Bank yang melampaui
batas waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) serta Bank yang melanggar pasal 15
ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) per hari sampai
dengan Bank memenuhi ketentuan ini; dan atau
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR dalam rangka konsolidasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18 …
- 14 -
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 35
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/9/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI
UMUM
Dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkesinambungan, Bank Indonesia telah melakukan upaya-upaya
percepatan konsolidasi perbankan dan memberikan insentif bagi bank-bank yang
melakukan Merger atau Konsolidasi.
Dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal dipandang perlu
untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan di bidang permodalan bank
yang mengarahkan bahwa kegiatan usaha bank harus disesuaikan dengan
kemampuan permodalan yang dimiliki sehingga operasional bank dapat berjalan
sesuai dengan karateristiknya. Salah satu upaya yang ditempuh oleh Bank
Indonesia untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengharuskan Bank
Umum yang tidak dapat memenuhi modal inti sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah) pada tanggal 31 Desember 2010 dan Bank yang terkena
kewajiban pembatasan kegiatan usaha untuk menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Disamping itu, bagi Bank Umum yang belum memenuhi ketentuan modal
inti dan Bank yang terkena kewajiban pembatasan kegiatan usaha juga diberikan
opsi untuk menjadi BPR secara sukarela yang diajukan sebelum tanggal 31
Desember 2010.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah sebagaimana dimaksud
pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku yang mengatur mengenai
rencana bisnis Bank Umum.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Persiapan perubahan kegiatan usaha dikatakan telah selesai apabila
Bank telah melakukan penyesuaian kegiatan usaha menjadi BPR,
antara lain:
1. memiliki akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang;
2. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang
dilakukan oleh BPR, menyelesaikan kewajiban kepada
kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR,
menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum
diselesaikan;
3. menyelesaikan perubahan sistem dan prosedur kerja, teknologi
informasi, struktur organisasi dan susunan personalia;
4. menyelesaikan persiapan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU
dan laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku bagi BPR;
5. menyelesaikan …
- 3 -
5. menyelesaikan penutupan jaringan kantor yang berada di luar
provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai BPR;
6. menyelesaikan persiapan beberapa dokumen seperti daftar aktiva
tetap, bukti penguasaan kantor, contoh formulir/warkat yang akan
digunakan untuk operasional BPR.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Laporan keuangan bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan
perubahan izin usaha dari Bank Umum menjadi BPR.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Rancangan akta perubahan anggaran dasar hanya memuat hal-hal yang
mengalami perubahan, misalnya:
1. nama yang menegaskan adanya perubahan dari Bank Umum
menjadi BPR dan tempat kedudukan, contoh PT Bank “A” menjadi
PT BPR “A”.
2. penegasan adanya perubahan kegiatan usaha dari kegiatan usaha
Bank Umum menjadi kegiatan usaha BPR bahwa Bank akan
mengubah kegiatan dan izin usahanya menjadi BPR.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2 …
- 4 -
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Komisaris secara
sungguh-sungguh memenuhi fungsinya dalam mengawasi BPR.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Rencana struktur organisasi dan susunan personalia antara lain
meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan
vertikal, serta jabatan paling rendah sampai dengan tingkatan Pejabat
Eksekutif.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Angka 1
Dalam hal tidak terdapat Pemegang Saham Pengendali maka
surat pernyataan ditandatangani oleh pemegang saham yang
mewakili pemegang saham lain sehingga jumlah kepemilikan
saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus).
Angka 2
Huruf a)
Dalam hal tidak terdapat badan hukum yang merupakan
Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan
ditandatangani oleh para pengurus yang mewakili badan
hukum tersebut sehingga jumlah kepemilikan saham paling
sedikit …
- 5 -
sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus). Surat
pernyataan dari badan hukum Pemerintah Daerah dibuat
oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Huruf b)
Surat pernyataan dibuat oleh pihak-pihak yang menurut
penilaian Bank Indonesia mengendalikan secara langsung
maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha.
Huruf c)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan
izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR antara lain
tingkat persaingan yang sehat dan tingkat kejenuhan.
Yang dimaksud dengan perubahan lokasi usaha Kantor Pusat
adalah pemindahan alamat Kantor Pusat yang bersifat lintas
propinsi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup …
- 6 -
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek perangkat hukum
mencakup antara lain dengan memastikan akta perubahan
anggaran dasar badan hukum telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
Huruf b
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek jenis kegiatan usaha
mencakup antara lain dengan transaksi produk dan jasa Bank
Umum yang dilarang dilakukan oleh BPR (seperti transaksi giro,
transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas),
promes, surat utang, dan lain-lain), menyelesaikan kewajiban
kepada kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah
BPR serta menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum
diselesaikan.
Huruf c
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek infrastruktur mencakup
antara lain dengan mempersiapkan perubahan sistem dan
prosedur kerja, teknologi informasi, struktur organisasi dan
susunan personalia.
Huruf d
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek pelaporan dan
pemenuhan ketentuan pengawasan mencakup antara lain dengan
mempersiapkan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU dan
laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku bagi BPR seperti mempersiapkan konversi
penghitungan kolektibilitas, Penyisihan Penghapusan Aktiva
(PPA) …
- 7 -
(PPA), Non Performing Loan menjadi Kualitas Aktiva Produktif,
Tingkat Kesehatan, Giro Wajib Minimum menjadi cash ratio,
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Capital Adequacy
Ratio), dan sebagainya.
Huruf e
dengan melakukan penutupan jaringan kantor yang berada di luar
provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai BPR.
Huruf f
dengan mempersiapkan beberapa dokumen seperti diantaranya
daftar aktiva tetap, bukti penguasaan kantor, contoh
formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
- 8 -
Huruf d
Angka 1
Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah
aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai
atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam
kegiatan operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual.
Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga
perolehan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia tersebut,
status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat beroperasi
sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan usaha sebagai
Bank Umum seperti transaksi kliring, devisa, operasional kantor
cabang di luar provinsi, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi
dimaksud.
Ayat (2)…
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
ditujukan antara lain untuk memutuskan perubahan izin usaha
Bank Umum menjadi izin usaha BPR.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Antara lain menghentikan transaksi giro, transaksi Pasar Uang
Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas), promes, surat utang,
dan lain-lain.
Pasal 15
Ayat (1)
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ditujukan untuk
memutuskan pula perubahan anggaran dasar dan ditindaklanjuti
dengan pengajuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia untuk dimintakan pengesahan.
Ayat (2)
Kewajiban lain yang harus diselesaikan terkait dengan transaksi
terdahulu sebagai Bank Umum antara lain meliputi:
1. penyelesaian kewajiban giro, sertifikat deposito, kliring, devisa;
2. penyesuaian pelaporan & pemenuhan ketentuan;
3. penutupan jaringan kantor yang berada di luar provinsi tempat
kedudukan kantor pusat BPR;
4. penyampaikan neraca akhir Bank Umum posisi Desember 2010;
5. perubahan Neraca akhir Bank Umum menjadi neraca awal BPR.
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Terhitung sejak tanggal Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia
tersebut, status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat
beroperasi sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan
usaha sebagai Bank Umum, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi
dimaksud.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4823
DPNP/DPbS/DPBPR

Photobucket

RISIKO HUKUM YANG TERJADI DI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya. Kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari bank yang dikenal dengan Kredit Pembelian Rumah (KPR). Sedangkan kebutuhan yang bersifat produktif misalnya meningkatkan atau memperluas kegiatan bisnisnya, dagangannya, atau usaha lain apapun, contohnya membeli mesin-mesin pabrik, membangun pabrik dan lain-lain. Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang‑undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu. Adapun ratio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Photobucket