Pages

Thursday, November 1

CLASS ACTIONS

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.
Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri.
Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal standing).
Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing) antara lain: dalam gugatan perwakilan (class actions). 1) seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian, 2) tuntutannya dapat
berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif. Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing). 1) organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik. 2) tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan gambaran tentang gugatan class actions dan legal standing khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana prosedur pengajuan gugatan class actions dan legal standing di Peradilan Tata Usaha Negara.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Gugatan Organisasi (Legal Standing)
1. Pengertian gugatan perwakilan (class actions)
Rumusan gugatan perwakilan (class actions) yang diberikan oleh para ahli hukum Indonesia pada prinsipnya memberikan pengertian dan rumusan yang hampir bersesuaian satu sama lain.
Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan perwakilan) adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang atau orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.
Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila:
  1. penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa,
  1. seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan,
  2. terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan
  3. wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian, class actions adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) sebagai suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien dan seseorang yang akan turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan keterlibatan pengadilan dalam gugatan class actions sangat besar setiap perwakilan untuk maju ke pengadilan harus mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan: a. class actions merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan. b. mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama. c.penggugatnya sangat banyak, dan d. perwakilan layak/patut
2. Pengertian gugatan organisasi (legal standing)
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).
Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”.1
Pendapat yang memberikan hak gugat kepada suatu organisasi/lembaga swadaya masyarakat (legal standing) berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Christoper Stone, yang memberikan hak hukum kepada objek-objek alam (natural object) seperti hutan, laut, sungai, gunung sebagai objek alam yang layak memiliki hak hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya dikarenakan sifatnya yang inanimatif (tidak dapat berbicara) tidak diberi suatu hak hukum.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi lingkungan yang memiliki data dan alasan untuk menduga bahwa suatu proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan, kelompok tersebut dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka ditunjuk sebagai wali (guardian) dari objek alam tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan terhadap objek alam terhadap indikasi pelanggaran atas hak hukum.
B.Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Hak Gugatan Organisasi (Legal Standing) di Pengadilan Tata Usaha Negara
1. Gugatan perwakilan (class actions) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah:
  • Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
  • Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya.
Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 macam:
Pertama surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir ke 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat final, konkrit, individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Kedua, surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara lajimnya disebut “keputusan fiktif negatif”.
Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang dapat menjadi penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.
Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan yang merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak bersifat derefatif.
Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan perwakilan (class actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat individual atau telah lebih condong kepentingan publik atau masyarakat orang banyak, apalagi misi kepentingan dalam kepastian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) misi kepentingannya bukan kepentingan pribadi secara langsung, melainkan kepentingan objek alam atau kepentingan masyarakat yang menurut visi anggaran dasar atau rumah tangganya mengatur untuk itu.
Timbul suatu pertanyaan, bagaimana apabila ada pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara yang sifat kepentingannya tidak bersifat individual tetapi secara faktual menimbulkan kerugian bagi publik atau masyarakat atau seseorang/organisasi yang secara tidak langsung menderita kerugian akibat tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara, apakah dimungkinkan sengketa ini dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara seperti layaknya prosedur gugatan perwakilan (class actions) apalagi gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi kemasyarakatan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu akan dibahas mengenai tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara.
Administrasi negara mempunyai kewenangan, warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi negara memperoleh pula kewajiban.
Administrasi negara di dalam melaksanakan tugas sebagai publik servis, memiliki keleluasan untuk menentukan kebijakan-kebijakan, namun demikian sikap tindaknya tersebut harus dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Dalam posisi demikian peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat dominan dan penting, sebab inti hakikat HAN adalah: 1) memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya. 2) melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi administrasi itu sendiri.
Kepustakaan hukum mengenai konsep tanggung gugat negara, mengandung makna negara dapat digugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintah. Konsep tanggung gugat negara ini mengandung pengertian tersedianya sarana hukum bagi warga negara untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah juga merupakan sarana penegakan hukum lingkungan administratif.
Pemerintah/eksekuti dalam menjalankan fungsinya merupakan pihak yang melayani dan warga masyarakat merupakan pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state). Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cerminan dari perbuatan pemerintah yang tidak saja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (wetmatigheid dan rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan, sehingga dibutuhkan kecermatan dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam membuat keputusan (beschikking) oleh karena bukanlah ada semboyan lebih baik secara dini
menghindarkan sengketa dari pada nanti digugat di pengadilan untuk mempertahankan diri.
Gugatan hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan dalam proses penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan. Gugatan tata usaha negara di samping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata usaha negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat.
Prosedur adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh organ negara/tata usaha negara/instansi maupun oleh warga masyarakat sebelum keputusan/ketetapan dikeluarkan. Prosedur diperlukan untuk melahirkan suatu keputusan yang baik, tanpa mengikuti prosedur tertentu dalam melahirkan keputusan sulit dibayangkan akibat hukum yang menjadi tujuan dari suatu keputusan.
Penegakan hukum merupakan suatu kewajiban, pelanggar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis harus diberi sanksi termasuk sikap tindak administrasi negara dalam menjalankan tugasnya yang salah dalam memberikan administrasi perizinan.
Jadi pelanggar atas hukum administrasi negara baik itu administrasi negara itu sendiri maupun masyarakat pengguna administrasi itu sendiri harus diberikan sanksi adminsitratif.
Sanksi administratif misalnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 meliputi: paksaan pemerintah,embayaran sejumlah uang tertentu, dan pencabutan izin usaha dan atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUPLH dapat berupa:
a. Tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b. Tindakan untuk mengakhiri pelanggaran
c. Tindakan menanggulangi akibat yang timbul
d. Tindakan penyelamatan
e. Tindakan pemulihan.
Tindakan pemberian izin, pencabutan izin, pengawasan dan pemberian sanksi seperti di atas adalah merupakan tindakan administratif, sehingga apabila timbul sengketa maka sengketa tersebut adalah merupakan sengketa hukum administrasi negara yang menjadi yuridiksi Badan Peradilan Administrasi/PTUN.
Hal ini dapat dilihat dalam perkara yang diajukan oleh Puliono di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang bertindak untuk atas nama 167 orang penduduk Sawit Seberang, yang mengajukan gugatan terhadap Kanwil BPN Kota Medan dan PTPN IV (Perkara No.01/G/2000/PTUN.Mdn). Menurut penggugat tanah seluas 1050 ha yang terletak di Kabupaten Langkat setempat dikenal dengan Sawit Seberang adalah tanah milik penggugat yang diambil secara paksa pada jaman orde baru, oleh karena itu penggugat memohon kepada Kanwil BPN agar mengukur dan mengeluarkan tanah seluas 1050 ha dari HGU PTPN IV yang telah berakhir haknya.
Perkara ini sebenarnya merupakan perkara yang dapat diajukan secara gugatan perwakilan (class actions) akan tetapi sayang pemeriksaannya tidak dilakukan menurut prosedur pemeriksaan alasan gugatan perwakilan (class actions).
Perkara yang hampir sama, yang diajukan oleh Khairul Anwar, dkk., v., BPN Kabupaten Deli Serdang, dkk., di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tahun 2000 No.18/G/2000/PTUN.Mdn., juga diperiksa seperti proses pemeriksaan gugatan biasa di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, belum menerapkan suatu asas-asas hukum yang terdapat dalam gugatan perwakilan (class actions).
2. Hak gugatan organisasi (legal standing/ius standi) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Setelah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara perkembangannya sangat menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam kasus yang terkenal sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk., sebagai Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap pembatalan Surat Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).
Dikatakan sangat menggembirakan karena secara tidak disadari telah memperluas arti kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab dalam perkara tersebut pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari penggugat dinyatakan tidak berkualitas sebagai penggugat yang akhirnya dikeluarkan sebagai penggugat.
Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami oleh organisasi itu.
Adapun dasar pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini adalah:
1. Bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atas menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
2. Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan.
3. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.
Putusan pengadilan terdahulu diikuti lagi dalam perkembangan hukum berikutnya yang menerima organisasi sebagai pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, misalnya dalam perkara 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, antara Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for Environment Law (ICEL), dkk., v. Menteri Pertanian RI, dkk., yang mempermasalahkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Tergugat No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tgl. 7 Pebruari 2001 tentang Pelepasan secara terbatas 35B (BOLLGARD) sebagaimana diusulkan PT. Monagro Kimia. Menurut penggugat pemberian surat izin tersebut harus memakai AMDAL.
Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan (class actions), sebaiknya diatur dalam suatu peraturan hukum acara sebagai payung beracara menurut prosedur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugatan organisasi (legal standing).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Gugatan perwakilan (class actions) adalah gugatan dari sekelompok masyarakat dalam jumlah besar yang mempunyai kesamaan kepentingan (interest) yang dirugikan atas suatu persoalan hukum, yang diwakili oleh seorang atau sekelompok untuk bertindak atas diri mereka dan mewakili kepentingan dari kelompok masyarakat lainnya (class members).
  2. Prosedur pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dalam pengadilan tata usaha negara pada prinsipnya sama seperti pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) di pengadilan perdata asalkan objek yang dipermasalahkannya tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaedah hukum administrasi negara/tata usaha negara. Yang terpenting dalam pengajuan gugatan perwakilan ini ada suatu permohonan untuk pemeriksaan gugatan atas dasar asas-asas yang terdapat dalam class actions, misalnya adanya uji kelayakan menjadi perwakilan kelas (prelminary certification test) yang dilakukan dengan cara notification, dan pemberian kesempatan untuk masuk (opt in) atau keluar dari suatu gugatan (opt out).
  3. Apabila suatu gugatan memenuhi persyaratan untuk diperiksa secara class actions maka pengadilan akan mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan. Sebaliknya apabila gugatan yang dimohonkan tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa menurut prosedur class actions maka gugatan tersebut ditolak pemeriksaannya dengan proses pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dan selanjutnya gugatan tersebut akan diperiksa secara gugatan perkara biasa saja.

Photobucket

HUKUM AGRARIA


PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA
Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas  yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian
Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Devinisi hukum agraria
  • Mr. Boedi Harsono
Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
  • Drs. E. Utrecht SH
Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.
  • Bachsan Mustafa SH
Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan
Azas-azas hukum agraria
  • Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
  • Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)
  • Asas hukum adat yang disaneer
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
  • Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)
  • Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI  baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah
  • Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
  • Asas gotong royong
Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
  • Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
  • Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
Hak-hak atas tanah
Hak milik
−        Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA
−        Mempunyai sufat turun temurun
−        Terkuat dan terpenuh
−        Mempunyai fungsi social
−        Dapat beralih atau dialihkan
−  Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk
−  Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum
−  Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu
Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan.
−        Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun
−        Hak yang harus didaftarkan
−        Dapat beralih karena pewarisan
−        Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2, PP 40/96
Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96).
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)
Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96)
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus , berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta  dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
  • Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan.
  • Persil adalah nomor pokok wajib pajak.
  • Korsil adalah klasifikasi atas tanah.
  • Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya.
Dasar hukum pendaftaran tanah :
UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38.
PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan dig anti dengan PP No 24/1997
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi :
  • Kepastian hokum atas obyek atas atas tanahnya yitu letak, batas dan luas.
  • Kepastian hokum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum)
  • Kepastian hokum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB)
Tujuan pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997)
  • Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
  • Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar.
  • Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
  • Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
  • Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
  • Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun.
  • Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
  • Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
  • Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.
  • Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
  • Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
  • Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
  • Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Photobucket

HUKUM PERPAJAKAN

HUKUM PERPAJAKAN
Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak adalah soal negara berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah Republik Indonesia. Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber inspirasi baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat popularitas.
Sehubungan dengan perubahan struktur masyarakat maka hukum perpajakan Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan jiwa baru atau jiwa reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka hukum perpajakan Indonesia bukan saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu mendapat perhatian khusus dari para pemimpin rakyat dan politisi.
Arti hukum perpajakan
Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.
Tugas hukum perpajakan
Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat.
Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.
Devinisi hukum perpajakan
Menurut Prof . Dr. Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak sesuai peraturan-peraturannya dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk serta kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian diatas tersebut adalah :
  • Memasukkan pajak dianggapnya suatu keharusan dalam arti yang luas, disamping itu devinisi ini dititik beratkan pada fungsi budgetair sedangkan pajak masaih mempunyai fungsi lain yaitu fungsi mengatur.
  • Yang dimaksud dengan tidak mendapat pretasi kembali dari negara adalah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran itu sendiri, prestasi seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak kepolisian dan TNI.
Sudah barang tentu diperoleh dari para pembayar pajak itu, akan tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu sendiri, buktinya orang yang tidak membayarpun dapat mengenyam kenikmatannya.
Menurut Prof DR. Suparman Sumahamijaya
Didalam desertasinya “Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong” yang dibuat di UNPAD pada tahun 1964 menyebutkan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menuntut biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dikesimpulkan yang dari pengertian diatas tersebut adalah :
-        Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta peraturan pelaksanannya
-        Dalam pembayaran pajak, tidak ada ketentuan untuk mendapatkan prestasi individu atau perorangan oleh pemerintah
-        Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah
-        Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang bila dari peasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum (public interest)
-        Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur bagaiman pajak itu dibayar.
Prof.Dr.Rohmat Soemitro, S.H, didalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan” isinya sebagai berikut :
Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdsarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapatkan kontra prestasi atau jasa timbal yang langsung,dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Penjelasan tentang defenisi tersebut diatas adalah sbb:
-        Dapat dipaksakan artinya bila hutang itu tidak dibayar maka dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan,melalui surat paksa dan surat sita serta dilakukan penyanderaan. Yang dimaksud dengan kontraprestasi berarti tidak mendapatkan prestasi dari pemerintah.
-        Pajak adalah pweralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya (kelebihannya) digunakan kepentingan public/persediaan untuk kepentingan public
Prof. DR. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum,yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Dalam hal ini smets mengakui bahawa defenisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja,dan kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada defenisinya.
Sistem perpajakan yang lama tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional, maka peran pajak sangat penting bagi subjek pajak karena penerimaan pajak dalam negeri sangat dibutuhkan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nsaional. Oleh karena itu pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor  28 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang tata cara pemungutan pajak, dan juga Undnag-undang Nomor 17 tahun 2000 sebagai pengganti dari Undag-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang PPh.
Karakteristik dan prinsip dari pemungutan pajak adalah sbb:
  1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan maupun peran serta warga negara dan angoota masyarakat (wajib pajak) untuk membiayai keperluan pemerintah dan pembangunan nasional.
  2. Anggoata masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mebayar dan melapor sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakn dengan lebih mudah,tertib dan terkendali.
  3. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan berada pada anggota masyarakat wajib pajak itu sendiri. Pemerintah dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak,berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan itu.
Kesimpulan:
Disimpulan, bahwa dalam sistem pemungutan pajak ini, fiskus memberi kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hakdan kewajiban perpajakan bagi masyarakat wajib pajak lebih diperhatikan, sehingga dapat merangsang peningakatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.
Pengertian-pengertian:
  1. Wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-unjdangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
  2. Badan adalah perseroan terbatas,BUMN atau BUMD dalam bentuk apapun, persekutuan,perseroan atau perkukmpulan lainnya seperti: firma,kongsi,perkumpulan kopersasi,yayasan atau lembaga dan bentuk usaha yang lain yang tetap.
  3. Surat paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan UU No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak negara dengan surat paksa
  4. Masa pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwimatau tahun kalender.
Wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim selama 12 bulan hal ini harus dilaporkan kepada Dirjen pajak setempat. Ketentuan tersebut dapat dilaksanakan apabila telah disetujui oleh Dirjen pajak.
  1. Tahun pajak sama dengan tahun takwim atau sama dengan tahun kalender dimulai 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, hal ini berarti pembukuan dimulai 1 anuari 2008 dan berakhir 31 Desemberd 2008 (disebut juga tahun pajak 2008).
  1. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim
-        1 uli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009
Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2008 dan berakhir pada 30 Juni 2009 karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2008 maka disebut tahun pajak 2008
-        1 April 2008 sampai dengan 30 Maret 2008
Pembukuan dimulai 1 April 2008 dan berakhir pada 30 Maret 2009 disebut juga tahun pajak 2008 karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2009
Hukum pajak termasuk hukum public
Hukum pajak adalah sebagian dari hukum public dan meruakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungangan antara penguasa dan warganya, artinya ketentuan yang memuat cara-cara, mengatur pemerintah.
Yang termasuk kedalam hukum publik :
-        Hukum Tatat Negara
-        Hukum Pidana
-        Hukum Administratif
Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
Hunungan hukum pajak dengan hukum perdata
Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti:
-        Pendapatan
-        Kekayaan
-        Perjanjian atau penyerahan
-        Pemindahan hak karena warisan
Penerimaan Negara
  1. BEA dan CUKAI
Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)
BEA
  1. Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan.
  2. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export tambahan”.
CUKAI
Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.
Contoh : rokok, minuman keras, dsb.
  1. RETRIBUSI
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar.
Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb.

Photobucket

PER PEMERINTAH NO 63/2009


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk mewujudkan fungsi manajemen
kepegawaian yang terintegrasi dan mendorong peranan
Pegawai Negeri Sipil sebagai salah satu unsur perekat
dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta mendekatkan pelayanan bidang
kepegawaian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3890);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana . . .
- 2 -
sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4263);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN
2003 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN,
PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL.
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4263), sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1 . . .
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri
Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada
Kementerian Negara, Kejaksaan Agung,
Kesekretariatan Lembaga Presiden, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah
Nonkementerian, Kesekretariatan Lembaga Negara,
Badan Koordinasi Keamanan Laut, Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan, Kesekretariatan
Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat Struktural
eselon I dan bukan merupakan bagian dari
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian,
Instansi Vertikal di daerah provinsi/kabupaten/kota,
Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk
menyelenggarakan tugas negara lainnya.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri
Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota atau
dipekerjakan di luar instansi induknya.
3. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri,
Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pimpinan Lembaga Pemerintah
Nonkementerian, Kepala Pelaksana Harian Badan
Koordinasi Keamanan Laut, Kepala Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan serta Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Negara dan Lembaga
lainnya yang dipimpin oleh Pejabat Struktural
eselon I dan bukan merupakan bagian dari
Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian.
4. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi
adalah Gubernur.
5. Pejabat . . .
- 4 -
5. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota.
6. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang
mempunyai kewenangan mengangkat,
memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri
Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan adalah
Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di luar
instansi induknya yang gajinya dibebankan pada
instansi yang menerima perbantuan.
8. Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan adalah
Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di luar
instansi induknya yang gajinya dibebankan pada
instansi induknya.
9. Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang
menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan
hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka
memimpin suatu satuan organisasi negara.
10. Jabatan fungsional tertentu adalah suatu kedudukan
yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil
dalam suatu satuan organisasi yang dalam
pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian
dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat
mandiri dan untuk kenaikan jabatan dan pangkatnya
disyaratkan dengan angka kredit.
11. Jabatan fungsional umum adalah suatu kedudukan
yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil
dalam suatu satuan organisasi yang dalam
pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keterampilan
tertentu dan untuk kenaikan pangkatnya tidak
disyaratkan dengan angka kredit.
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 164
.. Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

Photobucket