Pages

Tuesday, October 9

TIPOLOGI DAN PRAKTEK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Tipologi (typology) by' adamconditions.blogspot.com
Tipologi (typology) adalah satu skema klasifikatori, yang merupakan hasil dari
proses men-tipe-kan (typication) yang mengacu pada ciri-ciri tipikal kualitas
individu atau orang, benda-benda, atau peristiwa, oleh karenanya tipologi
merupakan satu kategori niskal yang memiliki acuan empirikal [Theodorson &
Thedorson, 1970:445; Abercrombie et,al; 1988:255; Mitchell; 1999:232]. Mitchell
(1999) menyatakan bahwa tipologi sama dengan klasifikasi yang bisa bersifat
ad hoc, dan oleh karenanya tidak selalu bersifat exhaustive maupun mutually
exclusive, tetapi juga bisa sebaliknya bersifat exhaustive dan mutually exclusive
yang dikaitkan dengan satu hipotesa atau lebih dan teknik yang relevan, serta
peluang untuk dapat diuji.

Pelanggaran hak asasi manusia ditakrifkan secara berbeda oleh berbagai
penulis dan telah lama menjadi perdebatan. Didalam wacana tradisional,
pelanggaran hak asasi manusia terutama dilihat sebagai tanggung-jawab
negara, di dalam konteks kewajibannya terhadap warga negara. Berbagai ahli
yang mendukung pendapat ini, antara lain menyatakan bahwa:
‘..... pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara lewat agen-agennya
(Polisi, Angkatan Bersenjata dan setiap orang yang bertindak dengan
kewenangan dari negara) melawan individu (English & Stapleton, 1997:4).11
‘Satu kegagalan dari satu negara atau pihak lain yang secara legal berkewajiban
untuk patuh pada satu norma/kaidah hak asasi manusia internasional. Kegagalan
untuk menjalankan kewajiban adalah pelanggaran atas kewajiban itu.
‘Pelanggaran’ digunakan secara bergantian dengan istilah Breach (pelanggaran
hukum, aturan, kewajiban, kesepakatan)
 Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hak hukum, mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini,
dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku [pasal 1 butir 7].

Pelanggaran HAM yang benar

 

UU, No. 26/2000 tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang takrif
‘pelanggaran berat HAM31, meskipun pasal 7 menyatakan : pelanggaran hak
asasi manusia yang berat meliputi a. Kejahatan genosida, dan b. Kejahatan
terhadap kemanusiaan’. Sedangkan penjelasan pasal demi pasal hanya
menyebutkan pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan ‘Rome Statue of The
International Criminal Court. Pelanggaran berat HAM mengandung unsur
kesengajaaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang seharusnya
dicegah (act of ommission), unsur sistematis yang menimbulkan akibat meluas
dan rasa takut luar biasa, dan unsur serangan terhadap penduduk sipil.

1. Kejahatan genosida: sejauh ini belum ada contoh peristiwa praktek
pelanggaran genosida di Indonesia yang mengandung semua unsur yang
disebutkan di dalam Statuta Roma.

2. kejahatan terhadap kemanusiaan :Pengadilan HAM yang telah dan
sedang digelar Terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di
Timur Loro Sae, memperoleh kritik dan dikecam oleh para pegiat HAM
sebagai yang tidak memenuhi standar internasional. Pengadilan atas
‘kasus Trisakti dan Semanggi’ diganjal oleh keputusan Pansus DPR yang
menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran berat HAM dalam kasus itu,
meskipun hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan sebaliknya yaitu
telah telah terjadi pelanggaran berat HAM. Pengadilan ‘kasus Tanjung
Priok” sedang dalam proses, meski menuai protes oleh kerana dalam
berkas tuntutan jaksa tidak dicantumkan nama para petinggi militer yang
bisa diduga bertanggungjawab dalam peristiwa itu, berbagai peristiwa
yang dapat dicurigai sebagai memenuhi unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan, antara lain adalah:
pembunuhan sejumlah (orang yang dituduh)“preman” lewat: penembakan misterius (“Petrus”);
Peristiwa PKI pada tahun 1965/66


1) Pembunuhan terhadap ratusan ribu (?) orang yang dituduh sebagai
PKI pada tahun 1965/66; pembunuhan sejumlah (orang yang dituduh)
“preman” lewat: penembakan misterius (“Petrus”);

Tragedi Sampit
2) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa etnis Madura
dari Kalimantan Barat dalam peristiwa konflik horisontal di wilayah itu;
pengusiran penduduk asli etnis Aceh oleh milisi-sipil penduduk tidak
asli (Pujakesuma) yang didukung militer di Aceh Tengah.


3) Penyiksaan para aktivis, mahasiswa yang diculik oleh Kopassus
dalam kasus ‘Penculikan Aktivis’; penyiksaan atas aktivis mahasiswa
demokrasi (dalam kasus penculikan aktivis), penyiksaan atas
penduduk sipil di Aceh.
4) Perkosaan yang terjadi dalam peristiwa kasus “kerusuhan Mei 1998;
dan terjadi dalam peristiwa Aceh selama konflik dan konflik internal
bersenjata
5) Penghilangan orang secara paksa terhadap para aktifis mahasiswa
dan terhadap penduduk sipil di Aceh selama konflik.

3. Kejahatan perang ;Kejahatan perang termasuk dalam pelanggaran berat HAM karena merupakan
bagian dari satu rencana atau kebijakan besar, dan melanggar konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949,39 pasal 3 konvensi ini khususnya melindungi
penduduk sipil dan personel militer yang tidak lagi secara aktif mengambil
bagian dalam permusuhan selama terjadinya konflik bersenjata internal. Selain
itu, konvensi ini melarang pembunuhan, penyiksaan, perlakuan kejam,
penyanderaan, perlakuan mempermalukan dan mendegradasikan,
penghukuman dan pembunuhan ekstra-yudisial. Konvensi ini mendesak
perlindungan minimal atas proses pengadilan yang jujur dan satu kewajiban
yang memaksa untuk mengumpulkan dan merawat yang terluka dan sakit
Meskipun masih harus dilakukan penyelidikan yang lebih seksama, konflik
internal bersenjata di Aceh telah memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran
Konvensi Jenewa sebagaimana terlihat dari berbagai peristiwa yang antara lain
bisa dikategorikan sebagai berikut:
1. Pembunuhan diluar hukum: pembunuhan terhadap penduduk sipil bukankombatan
yang sama sekali tidak terkait dengan salah satu pihak yang
berkonflik senjata, baik yang dilakukan oleh GAM, TNI/POLRI, atau orang
tak dikenal.
2. Penyiksaan dan perlakuan kejam (tidak manusiawi); penduduk sipil
mengalami penyiksaan fisik dan perlakuan kejam selama masa Darurat
Militer oleh pihak yang berkonflik, atau oleh orang tak dikenal; sejumlah
mayat tidak diperlakukan dengan baik (kasus kuburan massal di Aceh
Tengah, kuburan yang tidak biasa/ wajar di Aceh Utara dan Biereuen).
3. Penangkapan serampangan: saksi memberikan kesaksian adanya
penangkapan serampangan tanpa surat penangkapan, dan seringkali
diserta dan/atau diteruskan dengan penyiksaan fisik oleh polisi/Brimob dan
TNI.
4. Pelecehan seksual (perlakuan mempermalukan): sejumlah saksi memberi
kesaksian atas pembukaan baju secara paksa oleh Brimob dan/atau TNI,
dan sejumlah saksi lainnya memberi kesaksian atas perkosaan
perempuan Aceh oleh Brimob dan/atau TNI.
5. Penyanderaan: TNI menuduh GAM menjadikan penduduk sipil sebagai
‘tameng’.
6. Penggunaan anak dalam kelompok bersenjata: TNI menuduh GAM
menggunakan anak-anak, sebagai controh; TNI menembak mati anakanak
dalam kasus extra judicial execution di tembak.
7. Perusakan prasarana dan sarana umum yang penting: pembakaran
gedung sekolah (lebih dari 500 hanya dalam waktu sebulan sejak
penetapan Darurat Militer), penggunaan gedung sekolah untuk pos militer,
penumbangan tiang kabel listrik, penjebolan jembatan dan gorong-gorong.

No comments:

Post a Comment

LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.

Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;