Pages

Wednesday, September 4

SANGSI PELANGGAR BAGI DEVELOPER YANG TIDAK MENYEDIAKAN FASILITAS UMUM PERUMAHAN



Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus memenuhi persyaratan (Pasal 47 ayat [3] UU 1/2011):
a.    kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
b.    keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan lingkungan hunian; dan
c.    ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Pihak pengembang (developer) dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan (Pasal 134 UU 1/2011).


Apabila pihak pengembang sudah menjanjikan namun tidak dibangun atau kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum tidak sesuai, maka dapat dikenai sanksi administratif yang dapat berupa sebagaimana disebutkan Pasal 150 ayat (2) UU 1/2011. Selain itu, pihak pengembang yang bersangkutan juga dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 151 UU 1/2011, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.
 

Dasar Hukum 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman

Photobucket

Tuesday, May 21

Isltilah penting dalam hukum acara pidana (Pasal 1 KUHAP)

Isltilah penting dalam hukum acara pidana (Pasal 1 KUHAP):
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencar serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undangundang
ini.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
8. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka, b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
9. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diaturdalam
undang-undang ini.
10. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
11. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 1
12. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
13. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak
pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
14. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
15. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik,
atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
Sumber: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Photobucket

Monday, May 20

Malu Karena Utang Diumumkan ke Orang Banyak

Pasal 310
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Photobucket

Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online

Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online
Dengan pendekatan UU PK, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
 
Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
 
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
a.    beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.    memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.    menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
 
Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:
 
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
 
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
a.    terdapat kesepakatan para pihak;
b.    dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.    terdapat hal tertentu; dan
d.    objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
 
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a.    data identitas para pihak;
b.    objek dan spesifikasi;
c.    persyaratan Transaksi Elektronik;
d.    harga dan biaya;
e.    prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f.     ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g.    pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
 
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.
 
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
 
Lalu, bagaimana jika barang yang Anda terima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
 
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
 
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).
 
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
 
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
 
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).

Photobucket

Monday, February 25

PLANG / STIKER oleh BANK atas HAK TANGGUNGAN sebelum ada keputusan MAJELIS HAKIM. ( BANK dapat di TUNTUT secara PIDANA maupun DIGUGAT secara PERDATA )

Sebelum majelis hakim memutus bahwa konsumen atau tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 72/PDT. G/2009/PN. DPK .

upaya pencegahan agar rumah dan tanah yang dijadikan jaminan (dengan hak tanggungan) atas utang yang telah jatuh tempo tidak diperjualbelikan atau dialihkan kepemilikannya oleh debitur kepada pihak ketiga. Hal ini tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan sepanjang bukan semata untuk mencemarkan nama baik seseorang, tapi memang didasarkan adanya utang piutang.

Pada dasarnya, memang utang/kredit nasabah bank tidaklah termasuk dalam prinsip kerahasiaan bank. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 , Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

Dari ketentuan tersebut jelas bahwa yang termasuk dalam prinsip kerahasiaan bank adalah keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, bukan nasabah peminjam dan pinjamannya.

Selain itu,UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”) juga menganut asas publisitas (Pasal 13 ayat [1] UUHT). Asas ini mengharuskan didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan. Dengan dasar pemikiran bahwa timbulnya hak tanggungan adalah karena adanya perjanjian utang piutang, maka memang utang piutang tersebut dapat diketahui oleh orang lain selain bank dan debitur.

Namun, jika ternyata tulisan itu (dalam bentuk plang ataupun stiker) tidak terbukti didasarkan pada adanya utang piutang dan adanya debitur yang cidera janji dalam hal pelunasan utang (terjadi kredit macet), maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai pencemaran nama baik yang dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Secara perdata, pemilik tanah dan bangunan yang dirugikan (nama baiknya) karena adanya plang tersebut dan jika tidak ada dasar utang piutang yang sah, maka pihak bank dapat digugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.

Contohnya ; contoh dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 72/PDT. G/2009/PN. DPK dimana dinding rumah penggugat dicat dengan warna merah bertuliskan “Rumah ini Agunan Kredit Menunggak di Bank BTN”. Yang pada akhirnya, majelis hakim memutus bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Jadi, dari uraian di atas, pihak bank dapat memasang plang yang menyatakan "Tanah dan bangunan ini dalam pengawasan Bank" jika memang debitur pemberi hak tanggungan cidera janji dalam melunasi utangnya.


Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No. 72/PDT. G/2009/PN. DPK


“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 226) menjelaskan bahwa supaya seseorang dapat dihukum menurut Pasal 310 ayat (1) ini (menista), maka penghinaan itu harus diakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).


Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).

Photobucket

Sunday, February 24

Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian



UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).

Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.

Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
(a)   Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b)   Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c)   Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d)   Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e)   Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f)    Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
(g)   Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan
(h)   Merendahkan harkat dan martabat manusia                  


Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
2.      Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4.      Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
5.      Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia


Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a)   penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
(b)   penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(c)   pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(d)   penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
(e)   korupsi dan menerima suap;
(f)    menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g)   penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
(h)   perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
(i)     melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
(j)     menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan

Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
(a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
(b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang;
(c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laboran hasil penyelidikan;
(e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
(f)    melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara.

Berdasarkan keseluruhan peraturan ini tentunya diharapkan bahwa setiap anggota kepolisian dapat bertindak sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia.


Photobucket