Arti cinta dan kekuasaan yang
sesungguhnya menurut pandangan saya
Cinta dapat di artikan dengan memeberi tanpa mengharapkan imbal balik tanpa mengharapkan sesuatu yang sulit untuk diberikan. Karena cinta hanyalah rasa yang sulit tuk mencarikan makna sebenarnya. Kata cinta tak kenal kata maaf kata cinta tak kenal kata sakit kata cintapun tak kenal rasa lelah. Banyak cinta yang tak dapat terungkapkan namun hanya dapat tersimpan dalam hati
( example : adamconditions.blogspot.com )
Ketika menangis karena bahagia, karena takut kebahagiaan cinta itu akan sirna begitu saja melainkan TUHAN tidak memberikan semuanya kepada kita
Namun yang menjadi
pertanyaan adalah apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma
dalam kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang
selama ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan
penguasaan. Dan itu nampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu saja
(taken for granted). Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang gerak
kekasihnya dengan berbagai alasan, dimana ini boleh membunuh kreativiti serta
produktiviti si kekasih. Dari hal tersebut, di sini dapat dilihat bahwa apa
yang mereka lakukan, sebenarnya mereka ketakutan jika kuasa dan autoritinya
yang tertanam dalam diri orang-orang yang mereka cintai itu pudar.
Dalam sebuah
sistem kekuasaan, naluri pengaturan dan penguasaan itu kelihatan semakin jelas.
Bahkan jika kita melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa unsur kuasa
lebih dominan dari unsur cinta. Kita boleh bercermin dengan negara kita
sendiri. Negara, yang dalam perkembangannya di identikkan dengan pemerintah,
penguasa, state, memang boleh diakui telah memperhatikan nasib rakyatnya. Namun
sayang, projeksi dari rasa cinta negara itu seringkali tidak sebanding dan
seimbang dengan rasa kuasa yang timbul. Rakyat diberi makan melalui
peluang-peluang pekerjaan, tetapi tidak boleh menuntut lebih banyak. Tidak
boleh bercakap terlalu banyak tentang ini dan itu, tidak boleh berbuat ini dan
itu, karena boleh mengganggu stabiliti. Dengan alasan demi kepentingan dan
kebaikan rakyat, negara mengatur, mengawal, menguasai, bahkan menindas, yang
semua itu tidak lain adalah projeksi rasa cinta negara terhadap dirinya
sendiri, terhadap kekuasaannya, terhadap status-quo.
Dari realiti di
atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa cinta yang ada selama ini selalu
berbalut erat dengan kuasa. Rasa cinta selalu diiringi dengan penguasaan,
pengaturan, yang justru boleh mengaburkan tentang adanya cinta. Cinta bukan
lagi pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi, seringkali
terjadi kekerasan yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar cinta yang
ramai, penuh kasih dan penuh kedamaian.
Cinta yang
terbalut erat dengan kuasa dan dominasi itu oleh Erich Fromm didefinisikan
sebagai akibat dari pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini, cinta dianggap
sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, dimana dari itu muncul naluri untuk
mengatur dan menguasai. Cinta dalam masyarakat sekarang adalah cinta yang
didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada modus
menjadi (to be).
Menurut Erich
Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan
apalagi penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan, Erich Fromm
menyebutkan bahwa cinta tersebut harus memiliki elemen-elemen dasar seperti
halnya “perlindungan dan tanggungjawab”, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa
cinta adalah sebuah aktiviti dan bukan sebuah nafsu dimana olehnya orang
terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (affect) yang mana orang terpengaruh
olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung jawab yang ada hanya kerelaan untuk
berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati,
apalagi ditakuti.
Perlindungan dan
tanggung jawab adalah unsur asas dari cinta. Dari situlah cinta dapat dinilai,
apakah yang ada memang cinta atau hanya keinginan untuk memiliki dan menguasai.
Namun cinta akan membusuk dan layu jika hanya didasari pada semangat
perlindungan dan pertanggungjawapan saja, tanpa diiringi dengan dua unsur
lainnya, yaitu penghormatan dan pengetahuan, dimana dengan penghormatan,
diharapkan cinta akan terbebas dari penguasaan, karena penghormatan menunjukkan
pengakuan atas autonomi yang dicintai. Penghormatan diorientasikan untuk
mengikis rasa kepemilikan dan penguasaan yang dapat muncul dari aktiviti
perlindungan dan tanggungjawab.
Dari apa yang
terungkap di atas, kita melihat bahwa elemen-elemen dasar dari cinta boleh
menjadi dasar bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang ramah, adil dan
bertanggungjawab. Jika kita disuruh memilih antara kekuasaan yang berdasarkan
cinta dan kekuasaan yang berdasarkan logik kuasa, maka tentu kita akan memilih
yang pertama. Hanya orang-orang ‘gila’ saja yang akan memilih yang kedua.
Kekuasaan yang berasaskan nilai-nilai cinta
akan mampu mengambil hati rakyat, memenuhi keperluan dan kepentingan rakyat.
Sedang kekuasaan yang berasaskan atas semangat naluri kuasa hanya akan
menimbulkan kesenjangan, ketidak-adilan, sentralisasi kekuasaan untuk
kepentingan golongan, partai, keluarga, bahkan seseorang individu.( TUHAN TAK PERNAH MELIHAT GELAR , MEDALI , BAHKAN HARTA YANG KITA MILIKI , MELAINKAN IA MELIHAT BEKAS LUKA, by' Dam's