Pages

Monday, October 8

KEKUASAAN DAN CINTA


Arti cinta dan kekuasaan yang sesungguhnya menurut pandangan saya 

Cinta dapat di artikan dengan memeberi tanpa mengharapkan imbal balik tanpa mengharapkan sesuatu yang sulit untuk diberikan. Karena cinta hanyalah rasa yang sulit tuk mencarikan makna sebenarnya. Kata cinta tak kenal kata maaf kata cinta tak kenal kata sakit kata cintapun tak kenal rasa lelah. Banyak cinta yang tak dapat terungkapkan namun hanya dapat tersimpan dalam hati 
( example : adamconditions.blogspot.com  )
Ketika menangis karena bahagia, karena takut kebahagiaan cinta itu akan sirna begitu saja melainkan TUHAN tidak memberikan semuanya kepada kita


Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma dalam kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang selama ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan penguasaan. Dan itu nampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu saja (taken for granted). Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang gerak kekasihnya dengan berbagai alasan, dimana ini boleh membunuh kreativiti serta produktiviti si kekasih. Dari hal tersebut, di sini dapat dilihat bahwa apa yang mereka lakukan, sebenarnya mereka ketakutan jika kuasa dan autoritinya yang tertanam dalam diri orang-orang yang mereka cintai itu pudar.
Dalam sebuah sistem kekuasaan, naluri pengaturan dan penguasaan itu kelihatan semakin jelas. Bahkan jika kita melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa unsur kuasa lebih dominan dari unsur cinta. Kita boleh bercermin dengan negara kita sendiri. Negara, yang dalam perkembangannya di identikkan dengan pemerintah, penguasa, state, memang boleh diakui telah memperhatikan nasib rakyatnya. Namun sayang, projeksi dari rasa cinta negara itu seringkali tidak sebanding dan seimbang dengan rasa kuasa yang timbul. Rakyat diberi makan melalui peluang-peluang pekerjaan, tetapi tidak boleh menuntut lebih banyak. Tidak boleh bercakap terlalu banyak tentang ini dan itu, tidak boleh berbuat ini dan itu, karena boleh mengganggu stabiliti. Dengan alasan demi kepentingan dan kebaikan rakyat, negara mengatur, mengawal, menguasai, bahkan menindas, yang semua itu tidak lain adalah projeksi rasa cinta negara terhadap dirinya sendiri, terhadap kekuasaannya, terhadap status-quo.
Dari realiti di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa. Rasa cinta selalu diiringi dengan penguasaan, pengaturan, yang justru boleh mengaburkan tentang adanya cinta. Cinta bukan lagi pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi, seringkali terjadi kekerasan yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar cinta yang ramai, penuh kasih dan penuh kedamaian.
Cinta yang terbalut erat dengan kuasa dan dominasi itu oleh Erich Fromm didefinisikan sebagai akibat dari pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini, cinta dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, dimana dari itu muncul naluri untuk mengatur dan menguasai. Cinta dalam masyarakat sekarang adalah cinta yang didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada modus menjadi (to be).
Menurut Erich Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan, Erich Fromm menyebutkan bahwa cinta tersebut harus memiliki elemen-elemen dasar seperti halnya “perlindungan dan tanggungjawab”, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktiviti dan bukan sebuah nafsu dimana olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (affect) yang mana orang terpengaruh olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung jawab yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti.
Perlindungan dan tanggung jawab adalah unsur asas dari cinta. Dari situlah cinta dapat dinilai, apakah yang ada memang cinta atau hanya keinginan untuk memiliki dan menguasai. Namun cinta akan membusuk dan layu jika hanya didasari pada semangat perlindungan dan pertanggungjawapan saja, tanpa diiringi dengan dua unsur lainnya, yaitu penghormatan dan pengetahuan, dimana dengan penghormatan, diharapkan cinta akan terbebas dari penguasaan, karena penghormatan menunjukkan pengakuan atas autonomi yang dicintai. Penghormatan diorientasikan untuk mengikis rasa kepemilikan dan penguasaan yang dapat muncul dari aktiviti perlindungan dan tanggungjawab.
Dari apa yang terungkap di atas, kita melihat bahwa elemen-elemen dasar dari cinta boleh menjadi dasar bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang ramah, adil dan bertanggungjawab. Jika kita disuruh memilih antara kekuasaan yang berdasarkan cinta dan kekuasaan yang berdasarkan logik kuasa, maka tentu kita akan memilih yang pertama. Hanya orang-orang ‘gila’ saja yang akan memilih yang kedua.
Kekuasaan yang berasaskan nilai-nilai cinta akan mampu mengambil hati rakyat, memenuhi keperluan dan kepentingan rakyat. Sedang kekuasaan yang berasaskan atas semangat naluri kuasa hanya akan menimbulkan kesenjangan, ketidak-adilan, sentralisasi kekuasaan untuk kepentingan golongan, partai, keluarga, bahkan seseorang individu.
( TUHAN TAK PERNAH MELIHAT GELAR , MEDALI , BAHKAN HARTA YANG KITA MILIKI , MELAINKAN IA MELIHAT BEKAS LUKA,  by' Dam's

Photobucket