Pages

Tuesday, February 12

DOKTER MELAKUKAN PENGHINAAN TERHADAP PASIEN

penghinaan yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan menyebut “Pasien Tolol” merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu:

tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran.



Berdasarkan Pasal 66 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), seseorang yang merasa dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran bisa mengadu kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Pasal 66 UU Praktik Kedokteran berbunyi:


(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. identitas pengadu;

b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan

c. alasan pengaduan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.



Keputusan MKDKI dapat menyatakan tidak bersalah atau memberi sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik, dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran)


Apabila Saudara ingin melaporkan penghinaan dokter tersebut. Saudara harus mengirimkan pengaduan tertulis kepada Ketua MKDKI dengan alamat, Jl. Hang Jebat III Blok. F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120, dengan ditandatangani oleh pelapor dan dibubuhi meterai. Format pengaduan tersebut dapat diunduh disini. Untuk informasi selengkapnya dapat dilihat pada situs resmi Konsil Kedokteran Indonesia www.inamc.or.id.


Jadi, penghinaan oleh dokter termasuk pelanggaran disiplin dalam praktik kedokteran. Pelanggaran disiplin dokter dapat diadukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

2. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi

Photobucket

PIDANA PENIPUAN

Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Hal yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik. Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).


Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:


"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."



Sedangkan, dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:


“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”



Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU ITE.


Kata “berita bohong” dan “menyesatkan” dan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE menurut pendapat kami dapat disetarakan dengan kata “tipu muslihat atau rangkaian kebohongan” sebagaimana unsur dalam Pasal 378 KUHP. Sehingga dapat kami simpulkan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan perluasan dari delik tentang penipuan secara konvensional.


Mengenai masalah pelaporan, Pasal 378 KUHP pada dasarnya merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Berbeda dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang merupakan “delik aduan” karena konsumen yang membuat perikatan dengan penjual produk, sehingga untuk proses penyidikan Pasal 28 ayat (1) UU ITE harus ada pengaduan dari korban. Sedangkan, untuk Pasal 378 KUHP meski bukan delik aduan, tapi pada praktiknya berdasarkan pengamatan kami, tetap harus ada laporan agar dilakukan penyidikan lebih lanjut.


Bagaimana posisi hukumnya jika barang yang dibeli adalah Illegal?

Sebelumnya, perlu kami jelaskan bahwa dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer).


Sehingga, jika barang yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP.


Sepengetahuan kami, tidak semua barang produk kebutuhan seksual sebagaimana pertanyaan adalah barang illegal untuk dijual. Sepanjang barang-barang tersebut memenuhi ketentuan peraturan sektor terkait, maka barang tersebut tetap dapat dijual secara terbatas. Menjadi illegal tentu saja apabila dijual tanpa izin dari instansi terkait (misalkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea Cukai, atau instansi terkait lainnya).


Menjual barang produk kebutuhan seksual tidak berizin dapat dikategorikan memperdagangkan barang dengan cara yang melanggar undang-undang. Sehingga secara perdata menurut kami jual beli tersebut tidak memenuhi unsur sebab yang halal.


Dalam konteks pertanyaan Anda, titik berat hukum lebih kepada unsur terjadinya delik penipuan, dan bukan pada aspek sebab yang halal. Dalam delik penipuan, tidak ditentukan muslihat (modus) apa yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak penipuan. Sehingga, menurut pendapat kami, dalam kasus Anda pelaku dapat tetap dijerat menggunakan pasal tentang penipuan baik berdasarkan KUHP maupun UU ITE.


Pun apabila terbukti barang tersebut barang illegal karena dijual tanpa izin, pembeli menurut pendapat kami tidak serta merta dapat dijerat pidana sepanjang barang tersebut bukan merupakan hasil dari perbuatan pidana (misalkan barang hasil penadahan).


Saran kami, Anda sebaiknya melaporkan kasus tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (“APH”) baik itu penyidik POLRI maupun penyidik Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.


Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Photobucket

Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan

pengertian mengenai delik aduan. Terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.


Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.


R. Soesilo dalam bukunya dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:


a. Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.

Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.

b. Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.


Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).


Lebih lanjut, Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.


Di sisi lain, tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.


Dari rumusan Pasal 285 KUHP di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.


Jadi, tidak semua pasal dalam KUHP tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.


2. Ketentuan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak).

Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:


“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”


Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:


“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”


Dari rumusan Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Photobucket