Pages

Saturday, November 24

EMAIL DALAM SIDANG PERDATA


Dengan adanya internet, seolah ada semacam pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam bentuk e-mail melalui transaksi. Jika dilihat dari esensi dari transaksi yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Apa yang diperjanjikan atau apa yang secara nyata tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Untuk pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik dalam bentuk e-mail sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal yang baru.
Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Karena memang saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu bukti elektronik dalam bentuk e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan yang dapat dipersamakan dengan surat otentik. Sebagai contoh tudingan monopoli ditujukan kepada Microsoft. Sebagian alat bukti yang disampaikan oleh pemerintah Amerika terhadap Microsoft adalah e-mail yang dikirimkan oleh pegawai di perusahaan Microsoft yang dikirimkan ke masing-masing pihak.
Secara teknis, bila terdapat satu standart keamanan untuk memberikan jaminan keotentikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut.
Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan atau penuntutan. Kemudian, penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (Request for Comment).
Selain itu, untuk lebih memudahkan, perlu diperhatikan juga keberadaan tanda tangan elektronik (Electronic Signature) dalam e-mail tersebut. tanpa adanya tanda tangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa.
Dalam memutus suatu perkara, tentu saja hakim harus mendasarkan ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian. Apalagi hampir di semua negara, termasuk Indonesia mengakui alat bukti surat sebagai salah satu bukti untuk yang bisa diajukan ke pengadilan.
Masalah otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan data elektronik dalam bentuk e-mail. Jika data atau dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan megikutinya.
Persoalannya, kita membicarakan tentang validitas dokumen elektronik sementara kita juga membicarakan metode otentikasi. Proses otentikasi adalah persoalan treknologi, sedang pengakuan dokumen elektronik dalam bentuk e-mail menyangkut pengakuan secara formal di dalam peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada tidak ada kemauan untuk mengakui dokumen elektronik dalam bentuk e-mail. Jika logika berpikir hanya melandaskan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan pun tidak akan pernah ada pengakuan terhadap dokumen elektronik dalam bentuk e-mail tersebut. Sekali lagi, dalam penguasaan teknologi, Indonesia tidaklah kalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Praktek bisnis di Indonesia sudah sejak lama menggunakan komputer. Dan hingga kini, tidak ada keberatan dari para pihak yang melangsungkan transaksi (pertukaran informasi).

Photobucket

SOSIALISASI PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT PERBANKAN


1. Bahwa semua konsumen termasuk debitur Bank tetap mendapat perlindungan dari Undang-undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen terutama pasal 4 huruf d UUPK yaitu hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya dan pasal 4 huruf e yaitu hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.
2. Adapun ancaman lelang di KPKNL oleh Perbankan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang petunjuk pelaksanaan lelang tanggal 23 April 2010 terutama pasal 27 dapat di batalkan apabila ada Gugatan di Pengadilan Negeri.3. Agar ancaman pelaksanaan lelang dapat dibatalkan sekaligus konsumen dapat memaksa Perbankan berdasarkan Undang-undang maka Lembaga Perlindungan konsumen akan membantu para konsumen untuk melakukan Gugatan sebagaimana di maksud pada poin 2 tersebut diatas.
4. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 Dalam praktiknya, pemegang Hak Tanggungan (Perbankan) yang akan melaksanakan pelelangan selalu meminta fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap Grosse Akta Hipotik harus atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.Yurisprudensi MA tersebut masih berlaku karena menurut ketentuan pasal 26 UUHT dinyatakan bahwa peraturan mengenai eksekusi Hipotek tetap berlaku dan menurut penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa grosse Akta Hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hipotek, dalam Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga kalau ada Perbankan yang melelang sendiri melalui KPKNL dapat di gugat berdasrkan yurisprudensi tersebut di atas.
5. Contoh Kasus: Dalam perkara No. 286/PDT/988/PT-MDN di Pengadilan Tinggi ( Nama.. ) menggugat Bank X dengan alasan bahwa Bank X telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu secara sepihak memutuskan perjanjian kredit sebelum jangka waktunya dan melelang barang agunan walaupun kredit belum jatuh tempo. Dalam perkara No. 286/PDT/988/PT-MDN di Pengadilan Tinggi, hakim berpendapat bahwa klausula perjanjian kredit yang memberikan kewenangan kepada Bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit sebelum waktunya telah menempatkan bank di posisi yang lebih kuat daripada nasabah debitur, bertentangan dengan itikad baik di dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan menyinggung rasa keadilan.
6. Semestinya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan melainkan penafsiran harga dilakukan oleh suatu appraisal company (perusahaan jasa penilai) yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Disamping itu juga undang-undang telah menentukan cara untuk menjual barang-barang agunan berdasarkan bentuk pengikatan jaminannya. Terhadap hal tersebut, nasabah debitur dapat saja menggugat pihak kreditur.

Photobucket