Pages

Tuesday, October 16

Committee on the Elimination of Racial Discrimination

Photobucket

United Nations covention against corruptions

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-langkah pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan;
b. bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
perekonomian sehingga penting adanya kerja sama intemasional untuk pencegahan
dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak
pidana korupsi;
c. bahwa kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan
yang baik;
d. bahwa bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat intemasional untuk
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003);
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003);
Mengingat
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Intemasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4012);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
ANTI KORUPSI, 2003).

Photobucket

Diskresi k e p o l i s i a n

kewenangan yang dimiliki Polri disebut dengan diskresi kepolisian. Penegakan hukum yang bersifat preventif atau disebut alternate dispute resolution lebih baik dilakukan dalam suatu penyelesaian perkara pidana tanpa menaikkan kasus ke dalam ranah hukum selama itu tidak merusak situasi dan kondisi masyarakat. maka kualitas personel dalam penanganan penerimaan laporan polisi harus dilakukan oleh seorang perwira. Bukan bintara, dikarenakan bahwa kredibilitas laporan polisi adalah penentuan apakah kasus yang terjadi masuknya ke ranah pidana atau perdata, dan apakah termasuk pidana atau bukan. Dengan adanya konduite yang lebih tinggi jenjang kepangkatan dan ilmu hukum yang dikuasai. Kesalahan prosedural lebih akan berkurang jumlahnya untuk mencapai tujuan profesi kepolisian yang bersih, jujur, adil, transparan, humanis, adil, disiplin, terpuji, dan patuh hukum.

 Tidak semua tindak pidana serta merta dapat dilakukan penyidikan oleh Polri, apabila tindak pidana tertentu merupakan tindak pidana aduan, tanpa pihak yang menjadi korban dan atau yang merasa dirugikan mengadu ke Polri, penyidik tidak dapat melakukan proses penyidikan, mengapa? 
Karena menyangkut hak pribadi orang. suatu peribahasa reserse kriminal yang mengatakan "walau besok langit runtuh dan hukum harus ditegakkan karena dekatnya kiamat", janganlah tegakkan hukum apabila upaya penegakan hukum itu membuat situasi menjadi lebih tidak tertib. Dari peribahasa tersebut bilamana kita kaitkan dengan penggunaan asas legalitas memang tidak dipersoalkan karena pidana berlaku selama ada aturan yang mengatur. Tetapi konteks yang terdapat dalam substansi kasus hukum tersebut adalah tugas polisi sebagai bukan hanya penegakan hukum, melainkan pelihara kamtibmas yang bilamana dibandingkan dalam persentase, persentase lihkamtibmas lebih besar dari gakkum karena sebenarnya kasus tersebut dapat diselesasikan oleh polisi menggunakan solusi resolutive justice yang memiliki ekuivalensi dengan penyelesaian perkara diluar sidang pengadilan. Memang jika kita ketahui apabila kita memadukan antara kepastian hukum dengan keadilan adalah dua hal yang sangat bertolak belakang dan tidak akan mungkin untuk dipersatukan. Oleh karena adanya diskresi yang dimiliki kepolisian, polisi dituntut untuk mampu menentukan kapan suatu perkara dapat dilimpahkan ke dalam suatu jalur penyelesaian yang disebut jalur atau ranah hukum atau tidak karena hal ini juga merupakan suatu langkah crime prevention yang menjadi tugas pokok polisi untuk menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang aman, tentram, dan bebas dari rasa gangguan terhadap kriminalitas yang dewasa ini semakin tinggi.

Polri sebagai penegak hukum pengemban fungsi kepolisian tidak dapat hanya melihat melalui satu kacamata sudut pandang penegakan hukum saja. Melainkan Polri haruslah bijaksana melihat tidak hanya pada saat kasus 362 KUHP pencurian , melainkan haruslah pula melihat kondisi antopologis yang menyebabkan pencurian itu terjadi.


Seperti kata Thrasymmachus, “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”. Ironi yang terjadi dalam realita bangsa Indonesia dewasa ini sungguhlah kritis. Maling ayam yang tidak memiliki latar belakang kekuasaan maupun kekuatan politik dapat saja dengan mudah dijebloskan ke dalam buih hingga waktu yang cukup lama, sementara para koruptor perlu proses yang berbelit belit untuk menindak pidanakan mereka. Jangan jangan yang menjamin kepastian hukum adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan sehingga mereka dengan mudahnya memperoleh barrier perlindungan dan menjadikan hukum sebagai suatu kedok atau payung perlindungan. Hal ini yang menyebabkan negara ini semakin terpuruk dengan lemahnya penegakan hukum. Sebenarnya siapakah yang salah? Aturan yang tidak objektif ataukah dalam pelaksanaan penegakan hukum yang terlalu mendisfungsikan hukum progresif yang menjadi tameng untuk melakukan tindakan 86 (pemerasan bahasa Polisi). Benar kata Hobbes bahwa harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum :
(”perjanjian tanpa pedang hanyalah kata kata kosong).

Photobucket