Hak ASASI Tersangka Untuk mendapat Bantuan HUKUM Dalam Sistem Peradilan Pidana
HAK ASASI TERSANGKA Untuk Mendapat Bantuan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidan
Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31).
HAK ASASI TERSANGKA Untuk Mendapat Bantuan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidan
Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31).
Salah satu hak yang diberikan kepada
tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak
untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti
mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk
segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang
seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain.
Bila dilihat sejarah hukum acara pidana
di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi
tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan
hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut
dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak
tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut
pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk
menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan
Negeri.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi
tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya
diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut
dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua
tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
Undang-undang”. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi
sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang
menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam
pelaksanaan dari Undang-undang tersebut (Loebby Loqman, 1990: 10).Begitu
pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara
Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan
hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan
acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR
dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak
mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh
seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara
dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh
tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka
dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang
tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum
mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka
adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari
alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka
penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi
karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka
tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Mengantisipasi akses tersebut serta
karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi
kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan
sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada
tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak
pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi
seorang penasehat hukum.
No comments:
Post a Comment
LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.
Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;