Pages

Wednesday, October 24

Badan Pengawas Pasar Modal

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyatakan penyaluran pembiayaan kendaraan bermotor tanpa pembebanan fidusia berbahaya bagi multifinance.




Meski demikian, ada peluang bagi multifinance untuk menyalurkan pembiayaan kendaraan bermotor tanpa melakukan pembebanan fidusia.

Mulabasa Hutabarat, Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), mengatakan pembiayaan yang dilakukan tanpa melakukan pembebanan fidusia dikecualikan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 130/PMK.010/2012.

“Di PMK sudah disebutkan yang wajib daftar hanya pembiayaan yang dibebani fidusia,” ujarnya Selasa (9/10/2012).

Namun, lanjutnya, multifinance sulit menyalurkan pembiayaan tanpa melakukan pembebanan fidusia. Risiko multifinance tersebut, kata dia, akan membesar karena nasabah bisa membawa kabur kendaraan bermotor tersebut.


“Kalau nasabah diberikan motor beserta BPKB [Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor] tanpa ada pengalihan hak maka itu bahaya. Namun akan kami lihat apakah pembiayaan bisa dilakukan tanpa fidusia,” ujarnya.

Pada dasarnya, fidusia adalah pelengkap dari perjanjian utama antara nasabah dan multifinance, yakni kredit dan utang-piutang. Dengan melakukan pembebanan fidusia maka jaminan tersebut diserahkan kepemilikannya kepada pemberi kredit, meskipun masih dikuasai oleh pemilik benda.

Dalam beberapa bulan ini, beberapa pelaku usaha multifinance menyatakan keberatan terhadap PMK nomor 130/PMK.010/2012 yang mewajibkan pendaftaran fidusia. Mereka mencemaskan peningkatan biaya dan lamanya proses pendaftaran.(msb).

Photobucket

Hukum Mengenai Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual-Beli Melalui Internet

Hukum Mengenai Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual-Beli Melalui Internet (E-Commerce) Dihubungkan Dengan Buku III KUHPerdata.


Perkembangan teknologi informasi  semakin mendorong munculnya berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat melalui kecanggihan teknologi informasi tersebut dalam hal ini internet.  Salah satu kegaiatan di dunia maya termaksud antara lain transaksi jual beli secara elektronik (electronic commerce).  Pada transaksi jual beli melalui internet ini tidak menutup kemungkinan timbulnya berbagai perbuatan yang melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.  Oleh karena itu perlu dipikirkan solusinya berupa tindakan hukum yang dapat dilakukan atas suatu perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli melalui internet ini.  Dengan demikian kasus-kasus seperti itu tetap dapat diselesaikan secara hukum, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
The development of the technology information  has encougaded the existance of many activities performed by society through the sophisticated information technology, in this chase is internet.  One of activities in the cyberg discussed in this term is electronic commerce.  In the electronic commerce it self, it may create the existance of many breaking law actions.  Therefore, it is essential to think the solutionof these problems in the form of law in actions, given to some tort in the electronic commerce in internet.  As the consequency, such cases can be solved in law order and there will not be any vacuum of law that finally may cause  a greater lost.
A. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak yang negatif.  Dampak positif tentu saja merupakan hal yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan manusia di dunia termasuk di negara Indonesia sebagai negara berkembang, yang mana hasil  dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini diramu dalam berbagai bentuk dan konsekuensinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.  Dampak negatif yang timbul dari kemajuan ilmu pengetahuan  dan teknologi harus juga dipikirkan solusinya karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada kehidupan manusia, baik kehidupan manusia secara fisik maupun kehidupan mentalnya.
Salah satu hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain adalah teknologi dunia maya yang dikenal dengan istilah internet.  Melalui internet seseorang dapat melakukan berbagai macam kegiatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional tetapi juga secara global bahkan internasional, sehingga kegiatan yang dilakukan melalui internet ini merupakan kegiatan yang tanpa batas, artinya seseorang dapat berhubungan dengan siapapun yang berada dimanapun dan kapanpun.
Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah Electronic Commerce yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan kapanpun.  Dengan demikian semua transaksi jual beli melalui internet ini dilakukan tanpa ada tatap muka antara para pihaknya, mereka mendasarkan transaksi jual beli tersebut atas rasa kepercayaan satu sama lain, sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula baik melalui e-mail atau cara lainnya, oleh karena itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional.  Kondisi seperti itu tentu saja dapat menimbulkan berbagai akibat hukum dengan segala konsekuensinya, antara lain apabila muncul suatu perbuatan yang melawan hukum dari salah satu pihak dalam sebuah transaksi jual beli secara elektronik ini, akan menyulitkan pihak yang dirugikan untuk menuntut segala kerugian yang timbul dan disebabkan perbuatan melawan hukum itu, karena memang dari awal hubungan hukum antara kedua pihak termaksud tidak secara langsung berhadapan, mungkin saja pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tadi berada di sebuah negara yang sangat jauh sehingga untuk melakukan tuntutan terhadapanya pun sangat sulit dilakukan tidak seperti tuntutan yang dapat dilakukan dalam hubungan hukum konvensional/biasa.  Kenyataan seperti ini merupakan hal-hal yang harus mendapat perhatian dan  pemikiran  untuk dicarikan solusinya, karena transaksi jual beli yang dilakukan melalui internet tidak mungkin terhenti, bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam dunia internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna internet tersebut tidak mencukupi, dengan demikian  harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi termaksud.  Pada penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai macam pertanyaan berkenaan dengan masalah perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli melalui internet ini, antara lain perbuatan melawan hukum yang mungkin timbul dalam     transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet, kendala-kendala dalam mengatasi  perbuatan melawan hukum pada suatu transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet,  serta tindakan hukum  yang dapat dilakukan terhadap pelaku perbuatan melawan hukum pada suatu transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet.
B.  Aspek-Aspek Hukum  Transaksi Jual beli
Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”
merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli secara elektronik.  Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini.  Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia  masih  tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum diubah atau dibuat yang baru.
Berbicara menganai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.  Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur  saja.  Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
  1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
  2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog)
Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang.  Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.
Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak.
Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik.  Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan.  Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.
Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif.  Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.  Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat objektif.  Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya.
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja.  Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract).  Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu :
transaksi jual beli yaitu :
  1. unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
  2. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
  3. unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”
Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang dapat diterapkan antara lain :
  1. Azas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat
  2. Azas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian
  3. Azas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
  4. Azas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
  5. Azas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari  masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan
  6. Azas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian
  7. Azas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya
  8. Azas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
  9. Azas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.  Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.
Semua ketentuan perjanjian tersebut diatas dapat diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan melalui media internet, seperti perjanjian jual beli secara elektronik, sebagai akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.    Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.  Jual  beli  tidak hanya dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan pembeli, tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli, sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan melalui media internet/secara elektronik.
Dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang berkedudukan sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.  Berdasarkan ketentuan Pasal  7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam hal ini penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan  dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
  1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;
  2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  4. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana  dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
  9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, pelaku usaha atau penjual juga tidak diperkenankan menjual barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang termaksud; atau memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.  Dengan demikian apabila terjadi hal seperti itu, maka pelaku usaha atau penjual wajib menarik barang yang diperdagangkannya itu dari peredaran.   Pada kenyataannya pelaku usaha atau penjual sering melakukan tindakan yang merugikan dalam menjual produk-produknya hingga menimbulkan kerugian bagi para pembeli atau konsumennya.  Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dengan tegas memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam hal ini penjual dalam menawarkan dan menjual produknya tersebut antara lain termuat dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa penjual dilarang menawarkan mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah :
  1. Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
  2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;
  3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
  4. Barang dan/atau jasa termaksud dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
  5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
  6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersebunyi;
  7. Barang tersebut merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;
  8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
  9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak menimbulkan efek samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau bahkan tanpa keterangan yang lengkap.
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan demikian seorang penjual tida diperbolehkan menawarkan dan atau menjual barang dan atau jasa melalui penawaran yang mengadung pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif barang dan atau jasa; kegunaan barang dan atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik serta bahaya penggunaan barang dan atau jasa, sebagaimana diatur dalam Pasal  10 Undang-Undang perlindungan Konsumen.  Pelaku usaha atau penjual dilarang pula untuk menawarkan dan memperdagangkan barang dan atau jasanya dengan cara pemaksaan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan atau psikis terhadap konsumen atau pembelinya.  Apabila transaksi jual beli dilakukan dengan sistem pesanan, maka pelaku usaha atau penjual harus menepati kesepakatan yang telah dibuat dengan konsumen atau pembeli sehingga tidak melampaui batas waktu yang telah diperjanjikan.  Bagi para pelaku usaha atau penjual yang menawarkan produknya melalui suatu iklan, tidak diperkenankan mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau jasa, jaminan/garansi atas barang dan atau jasa; juga dilarang untuk memberi informasi yang salah mengenai barang dan atau jasa yang ditawarkan termasuk risiko pemakaiannya serta melanggar etika periklanan lainnya.
Pelaku usaha atau penjual  yang mengadakan hubungan hukum dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat klausula baku maka harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam proses jual beli antara lain :
  1. Menentukan dan menerima harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus disepakati oleh pembeli.
  2. Penjual juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beritikad tidak baik, kemudian haknya untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam suatu penyelesaian sengketa yang dikarenakan barang yang dijualnya, dalam hal ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual., dan sebagainya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6, pelaku usaha dalam hal ini termasuk penjual memiliki hak-hak sebagai berikut :
  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa;
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  5. Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan kewajiban pembeli sebagai pihak dalam perjanjian jual beli.   Kewajiban pembeli juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.  Pembeli sebagai konsumen mempunyai kewajiban dalam proses jual beli sebagai berikut :
  1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan barang dan atau jasa yang dibelinya.
  2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa tersebut.
  3. Membayar harga pembelian  pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian sesuai nilai tukar yang telah disepakati.  Harga termaksud berupa sejumlah uang meskipun hal ini tidak ditegaskan dalam undang-undang, tetapi dianggap telah terkandung dalam pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1465  KUH Perdata, apabila pembayaran tersebut berupa barang, maka hal tersebut menggambarkan bahwa yang terjadi bukanlah suatu proses jual beli tapi tukar menukar, atau pembayaran yang dimaksud berupa jasa berarti mencerminkan perjanjian kerja.  Pada dasarnya harga dalam suatu perjanjian jual beli ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun pada  kenyataannya ada juga harga dalam jual beli  yang ditentukan oleh pihak ketiga, dengan demikian, hal tersebut dianggap sebagai perjanjian jual beli dengan syarat tangguh, yang mana perjanjian dianggap ada pada saat pihak ketiga menentukan harga termaksud.  Berdasarkan Pasal 1465 KUH Perdata, segala biaya untuk membuat akta jual beli dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pembeli, kecuali diperjanjikan sebaliknya.  Selain harga pembayaran dalam suatu proses jual beli diatur pula mengenai waktu dan tempat dilakukannya  pembayaran, biasanya pembayaran dilakukan di tempat dan pada saat diserahkannya barang yang diperjual belikan atau pada saat levering, sebagaimana diatur dalam Pasal 1514 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa apabila pada saat perjanjian jual beli dibuat tidak ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang.
  4. Biaya akta-akta jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh pembeli.
  5. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari proses jual beli termaksud.
Selain kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang dianggap sebagai konsumen juga memiliki hak dalam proses jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi  barang dan atau jasa.
  2. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
  3. Hak untuk mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang dan atau jasa yang diperjualbelikan
  4. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif
  5. Hak untuk didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang dibelinya.
  6. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut timbul sengketa.
  7. Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dengan demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli sebagai para pihak dalam perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar dan lancar, apabila para pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.  Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun tetap ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap ditaati.
C. Transaksi  Jual  Beli  Melalui Internet (Electronik Commerce)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.  Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas.  Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh para pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui internet.  Dalam transaksi jual beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain
  1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;
  2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha/merchant.
  3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen  kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena pada transaksi jual beli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini bank;
  4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut diatas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban.  Penjual/pelaku usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi  secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen.  Disamping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak ataupun mengandung cacat tersebunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan.  Dengan demikian transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi pembelinya.  Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya, juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli secara elektronik ini.
Seorang pembeli/ konsumen memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut.  Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan.  Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari seoarng penjual, sehingga pembeli tidak dirugikan atas produk yang telah dibelinya itu.  Pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi yang letaknya saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus menggunakan fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerjasama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui internet ini.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.  Hubungan hukum yang terjadi  dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya tejadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak dibawah ini
  1. Business to Business,   merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik  pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan.  Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerjasama antara perusahaan itu.
  2. Customer to Customer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu dengan individu yang akan saling menjual barang
  3. Customer to Business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya
  4. Customer to Government, merupakan transaksi  jual beli yang dilakukan antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam pembayaran pajak.
Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam suatu transaksi jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu saja tetapi dapat individu dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahka antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termaksud secara perdata telaha memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata.  Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut 
  1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui websitepada internet.  Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan  yang akan diberikan.  Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat-lihat  barang yang ditawarkan oleh penjual.  Salah satu keuntungan transaksi jual beli melalui di toko on line ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.  Penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan.  Penawaran melalui internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu, apabila seseorang tidak menggunakan media internet dan tmemasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran.  Dengan demikian penawaran melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut.
  2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi.  Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju.  Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk  ke dalam website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha.  Setiap orang yang berminat untuk membeli baranga yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut.  Pada transaksi jual beli secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.
  3. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpun pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal.  Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
    1. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan institusi  finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing;
    2. Pembayaran dua puhak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya;
    3. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain : sistem pembayaran memalui kartu kredit on line serta sistem pembayaran check in line.
Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening penjual.  Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melaui kartu kredit dengan cara memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya.  Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli, walaupun dimungkinkan untuk dilakukan.
  1. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud.  Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan diatas menggambarkan bahwa  ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
D. Perbuatan  Melawan  Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce)
Pada kenyataannya,  dalam suatu peristiwa hukum termasuk transaksi jual beli secara elektronik tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu  atau kedua pihak, dan pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu :
  1. ada perbuatan melawan hukumnya
  2. ada kesalahannya
  3. ada kerugiannya, dan
  4. ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.
Suatu perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan harus dapat dibuktikan unsur-unsurnya tersebut diatas.  Apabila unsur-unsur diatas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan kesalahan  dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang  seadil-adilnya. 
Seseorang tidak dapat dituntut telah melakukan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/noodweer, overmacht, realisasi hak pribadi, karena perintah kepegawaian atau salah sangka yang dapat dimaafkan.  Apabila unsur kesalahan dalam suatu perbuatan dapat dibuktikan maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya tersebut, namun seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan kesalahannnya sendiri, tetapi juga karena perbuatan yang mengandung kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya, barang-barang yang berada di bawah pengawasannya serta binatang-binatang peliharaannya, sebagaimana ditentupan dalam Pasal 1366 sampai dengan Pasal 1369 KUH Perdata.
Kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugiaan materiil dan atau  kerugian immateriil.  Kerugian materiil dapat terdiri  kerugian nyata yang diderita dan keuntungan yang diharapkan.  Berdasarkan yurisprudensi,  ketentuan ganti kerugian  karena wanprestasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1243 sampai Pasal 1248 KUH Perdata diterapkan secara analogis terhadap ganti kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum.  Kerugian immateriil adalah kerugian berupa pengurangan kenyamanan hidup seseorang, misalnya karena penghinaan, cacat badan dan sebagainya, namun seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak selalu harus memberikan ganti kerugian atas kerugian immateril tersebut.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, selain harus adanya kesalahan, Pasal 1365 KUH Perdata juga mensyaratkan adanya hubungan sebab akibat/hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum, kesalahan dan kerugian yang ada, dengan demikian kerugian yang dapat dituntut penggantiannya hanyalah kerugian yang memang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut.
Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata ini dapat pula digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam proses transaksi jual beli secara elektronik, baik dilakukan melaui penyelesaian sengketa secara litigasi atau melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan, maupun penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan misalnya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase.
Pada transaksi jual beli secara elektronik terdapat beberapa kendala yang sering muncul anatar lain :
  1. Pilihan hukum (choise of law) dalam rangka penyelesaian sengketa yang timbul, walaupun pada perjanjian biasanya telah dicantumkan mengenai pilihan hukum ini, tapi pada kenyataannya masalah baru justru muncul dalam hal penentuan mengenai hukum mana yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.  Meskipun komunikasi antara para pihak yang terkait dalam proses jual beli secara elektronik ini dapat dilakukan melalui media internet, namun tidak seefektif dan seefisien komunikasi yang dilakukan secara langsung bertatap muka.  dalam transaksi jual beli secara elektronik.
  2. Proses pembuktian adanya suatu perbuatan melawan hukum agak sulit untuk dilakukan, karena masing-masing pihak yang terkait dalam transaksi jual beli melalui internet ini tidak berhadapan secara langsung, baik masih dalam ruang lingkup satu negara bahkan tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak berada pada negara yang berbeda, sementara untuk dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.  Pada kenyataannya penyelesaian sengketa dalam transaksi jual beli secara elektronik dapat  dilakukan melalui media internet, tetapi tetap harus mengikuti ketentuan dalam penyelesaian sengketa yang berlaku, dan hal ini menjadi kendala pula sehingga pada akhirnya proses pembuktian adanya perbuatan melawan hukum tersebut sulit untuk dibuktikan.
  3. Minimnya pengetahuan dan keahlian pihak-pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam dunia maya, khususnya transaksi jual beli secara elektronik.
  4. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dunia maya, termasuk transaksi jual beli secara elektronik.  Pada saat ini, di Indonesia telah dibuat Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun sampai saat ini belum diundangkan dan belum diberlakukan, sehingga terhadap permasalahan hukum yang timbul dari berbagai macam kegiatan dalam internet termasuk masalah perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik termaksud hanya dapat diterapkan ketentuan hukum yang ada seperti ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, dengan cara melakukan perbandingan atau penafsiran hukum serta konstruksi hukum.
  5. Sulitnya pelaksaan putusan dari suatu proses penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, karena walaupun sengketa yang ada dapat diselesaikan baik secara litigasi maupun secara non litigasi, namun pelaksanaan putusannya terkadang membutuhkan daya paksa dari pihak berwenang, dalam hal ini lembaga peradilan yang mengadili kasus tersebut, sementara para pihak yang bersengketa mungkin berada dalam wilayah yang berbeda, dengan demikian secara teknis akan menimbulkan kesulitan, karena daya paksa yang dimaksud harus diberikan secara langsung tanpa melalui internet.
Dengan demikian dalam menghadapi kasus perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat diterapkan ketentuan yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak ada batas ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia bermasalah dengan warga negara asing.  Pilihan hukum yang dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh isi perjanjian awal pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik.
Ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik adalah ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH Perdata.  Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum ekstensif yaitu memperluas arti kata perbuatan melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal ini pada transaksi jual beli secara elektronik.  Selain itu, dapat pula diterapkan Pasal 1365 KUH Perdata dengan melakukan konstruksi hukum analogi yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga pada akhirnya unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi.  Walaupun pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum.
Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya.  Dengan demikian diharapkan kasus-kasus yang mengandung adanya perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik, tetap dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku sekarang ini.
E.  Tindakan Hukum Atas perbuatan melawan Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (Electronic Commerce)
Menurut ketentuan RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khusunya Pasal 34 dikatakan bahwa masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat.  Seseorang dapat melakukan gugatan secara perwakilan atas nama masyarakat lainnya yang dirugikan tanpa harus terlebih dahulu memperoleh surat kuasa sebagaimana lazimnya kuasa hukum.  Gugatan secara perwakilan dimungkinkan apabila telah  memenuhi hal-hal sebagai  berikut :
  1. Masyarakat yang dirugikan sangat besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan tersebut diajukan secara perorangan menjadi tidak efektif;
  2. Sekelompok masyarakat yang mewakili harus mempunyai kepentingan yang sama dan tuntutan yang sama dengan masyarakat yang diwakilinya, serta sama-sama merupakan korban atas suatu perbuatan melawan hukum dari orang atau lembaga yang sama.
Ganti kerugian yang dimohonkan dalam gugatan perwakilan dapat diajukan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita, biaya-biaya pemulihan atas ketertiban umum dan norma-norma kesusilaan yang telah terganggu serta biaya perbaikan atas kerusakan yang diderita sebagai akibat langsung dari perbuatan Tergugat yang melawan hukum tersebut.  Gugatan yang diajukan bukan merupakan gugatan ganti rugi saja akibat perbuatan melawan hukum, tetapi juga memohon kepada pengadilan untuk memerintahkan orang yang sudah melakukan perbuatan melawan hukum itu dalam pemanfaatan teknologi informasi, dalam hal ini transaksi jual beli secara elektronik termaksud tidak mengabaikan aspek peleyanan terhadap publik.
Sementara Pasal 35 RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini menegaskan bahwa gugatan perdata dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan penyelesaian sengketa tersebut diatas khususnya sengketa yang timbul dalam transaksi jual beli melalui media internet ini dapat diselesaiakan secara alternatif di luar pengadilan.
Ada beberapa tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atas terjadinya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerugian, yaitu menyelesaikan sengketa tersebut baik secara litigasi atau pengajuan surat gugatan melalui lembaga peradilan yang berwenang sesuai ketentuan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia atau berdasarkan hukum acara yang dipilih oleh para pihak, maupun secara non litigasi atau di luar pengadilan, antara lain melalui cara adaptasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi serta arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku.  Penentuan cara dalam menyelesaikan sengketa seperti tersebut di atas, tergantung kesepakatan para pihak yang bersengketa, dan biasanya telah dicantumkan pada perjanjian sebagai klausula baku tertentu.  Apabila dalam perjanjian jual beli semula beluam ada kesepakatan mengenai cara penyelesaian sengketanya, maka para pihak tetap harus sepakat memilih salah satu cara penyelesaian sengketa yang terjadi, apakah secara litigasi atau non litigasi.
Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah secara litigasi, maka harus diperhatikan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.  Di Indonesia, sesuai ketentuan hukum acara perdatanya, maka suatu perbuatan melawan hukum harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan di lembaga peradilan mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sampai tingkat akhir (Pengadilan Tinggi atau mungkin Mahkamah Agung) dengan syarat adanya putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde).
Gugatan yang diajukan didasari dengan ketentuan hukum perdata yaitu Pasal 1365 KUH Perdata.  Selanjutnya pada proses pembuktian, harus dapat dibuktikan unsur-unsur yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum ini melalui alat-alat bukti yang diakui dalam Pasal 164 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), baik bukti secara tertulis (misalnya print out dokumen-dokumen yang berhubungan dengan transaksi jual beli secara elektronik tersebut), saksi-saksi termasuk saksi ahli (sepeti ahli teknologi informasi dan sebagainya) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR, persangkaan, pengakuan dan sumpah.  Berdasarkan ketentuan Uncitral Model Law, print out dari suatu transaksi jual beli secara elektronik dapat digunakan sebagai bukti tertulis, oleh karena itu Indonesia dapat merujuk ketentuan termaksud, sebab Indonesia telah menjadi warga dunia yang ditandai dengan masuknya Indonesia menjadi anggota World Trade Organization. Dengan demikian hakim akan mendapatkan keyakinan mengenai perbuatan melawan hukum yang telah terjadi.
Penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektroik dapat pula dilakukan secara non litigasi,  antara lain 
  1. Proses adaptasi atas kesepakatan antara para pihak sebagaimana dituangkan dalam perjanjian jual beli yang dilakukan melalui media internet tersebut.  Maksud adaptasi ini adalah para pihak dapat secara sepakat dan bersama-sama merubah isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga perbuatan salah satu pihak yang semula dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pada akhirnya tidak lagi menjadi perbuatan melawan hukum;
  2. Negosiasi, yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, baik para pihak secara langsung maupun melalui perwakilan masing-masing pihak;
  3. Mediasi, merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan perantara pihak ketiga/mediator yang berfungsi sebagai fasilitator, tanpa turut campur terhadap putusan yang diambil oleh kedua pihak;
  4. Konsiliasi, juga merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun mirip pengadilan sebenarnya, dimana ada pihak-pihak yang di nggap sebagai hakim semu;
  5. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa secara non litigasi, dengan bantuan arbiter yang ditunjuk oleh para pihak sesuai bidangnya.  Di Indonesia telah ada lembaga khusus arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional  Indonesia (BANI).  Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim di pengadilan, dan atas putusan arbitrase ini tidak dapat dilakukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.
Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum yang timbul dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet dapat diselesaikan baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai kesepakatan para pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang dapat berakibat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi
F. Penutup
Dengan demikian perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam suatu hubungan hukum di dunia maya dalam hal ini pada transaksi jual beli melalui internet, tetap dapat diselesaikan secara hukum, dengan menerapkan Pasal 1365 KUH Perdata.  Walaupun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus kegiatan-kegiatan dalam internet termasuk transaksi jual beli melalui internet ini, namun ketentuan Pasal 1365  KUH Perdata tersebut dapat diaplikasikan pada kasus-kasus perbuatan melawan hukum dalam transaksi jual beli secara elektronik, melalui proses penafsiran hukum ektensif dan atau konstruksi hukum analogis, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum di Indonesia.

Photobucket

( LITIGATION ) TAHAPAN DALAM BERPERKARA PERDATA


BAB I
UPAYA DAMAI

1.1              Pada Pengadilan ( Litigation )
  • Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg :
“ Jika pada hari yang ditentukannya itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan memperdamaikan mereka “.
  • Tahap – tahap perdamaian ( Mediasi ) di pengadilan :
  1. Ketua memutuskan sidang diundur untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian.
  2. Hari sidang berikutnya, apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian , maka hasil perdamaiannya disampaikan kepada hakim  yang berupa surat perjanjian di bawah tangan yang ditulis diatas kertas bermaterai ( jika tidak berdamai, maka hakim melanjutkan penyelesaian perkara ).
  3. Setelah itu, hakim menjatuhkan putusannya berupa menghukum keduabelah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya.
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diatur di dalam SEMA No 2 Tahun 2003. Menurut Pasal 130 ayat (2) HIR, perdamaian di pengadilan harus dibuat Akta Perdamaian ( acte van vergelijk ) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak berperkara, dimana akta tersebut berkekuatan dan sebagai putusan hakim biasa.
1.2              Diluar Pengadilan ( Non-Litigation )
Proses penyelesaian perkara memalui pengadilan itu memerlukan waktu yang lama karena prosedurnya yang formalistis kaku. Mulai dari memasukkan perkara di muka pengadilan sampai putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht ). Terutama bagi pengusaha atau pedagang, penyelesaian berlarut – larut sangatlah merugikan.
Karena alasan tersebut, maka diperlukan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan suatu perjanjian antara para pihak yang berperkara untuk menyerahkan penyelesaian sengkata kepada seorang wasit atau lebih. Berikut ini macam – macam alternatif penyelesaian sengketa.
  1. A.                 Mediasi
Menurut UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan kepada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pihak yang membantu mendamaikan mereka disebut mediator. Modiator adalah sukarelawan pihak ketiga yang netral, yang terlatih untuk menengahi.
  • Keputusan Mediasi berupa Win-Win Solution berbentuk rekomendasi.
B.       Arbitrasi
Arbitrasi diatur dalam UU No 30 Tahun 1999. Arbitrasi yaitu suatu proses penyelesaian sengketa  tanpa melalui proses peradilan, tetapi menyerahkan sengketa kepada seorang ( arbiter ) yang dipilih secara bersama – sama oleh pihak – pihak yang bersengketa untuk mengambil keputusan secara tertulis yang bersifat tetap dan mengikat.
Badan penyelesaian Arbitrasi Publik :
(1)   Pengadilan Permanen Arbitrasi ( Permanent Court of Arbitration )
(2)   Komersial Arbitrasi ( Commercial Arbitration )
  • Keputusan Arbitrase
Keputusan Arbitrase bersifat tetap dan mengikat ( Final and binding ). Keputusan berupa “ word “
C.       Konsiliasi
Suatu metode dari alternatif penyelesaian sengketa yakni para pihak membawa sengketa mereka ke pihak ketiga yang netral untuk membantu menenangkan keadaan, mengembangkan komunikasi dan mencari solusi yang memungkinkan.




BAB II
PEMBERIAN KUASA

2.1              Pengertian Surat Kuasa
Menurut Pasal 1792 BW, kuasa adalah suatu perjanjian dimana seorang memberikan kuasa kepada orang lain dengan atas namanya untuk  menyelenggarakan suatu urusan. Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu bentuk surat kuasa berupa akta umum, tulisan bawah tangan, dan sepucuk surat. Selain itu juga dapat diberikan dan diterima secara lisan.
2.2              Syarat – Syarat sebagai kuasa
  • wakil dari penggugat
  1. Mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan pasal 123 ayat 1 HIR.
  2. Ditunjuk sebagai kuasa dalam surat gugat (pasal 123 ayat 1 HIR).
  3. Ditunjuk sebagai kuasa dalam catatan gugatan apabila gugatn dijukan secara lisan (pasal 123 ayat 1 HIR).
    1. Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan (pasal 123 ayat 1 HIR).
    2. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 jo. Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol.
    3. f.      Telah terdaftar sebagai advocaat.
  • wakil dari tergugat
  1. Memiliki surat kuasa khusus, sesuai pasal 123 (1) HIR dan Pasal 147 (1) RBg.
  2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan (pasal 123 (1) HIR, pasal 147(1) Rbg).
  3. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 jo. Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol.
  4. d.   Telah terdaftar sebagai advocaat.
  • wakil dari Negara
  1. Pengacara negara yang diangkat oleh Pemerintah.
  2. Jaksa.
  3. Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk.
2.3              Jenis – Jenis Surat Kuasa
  1. 1.                  Surat Kuasa Umum
Yaitu surat kuasa yang isinya meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa ( Pasal 1795 BW ). Jadi, pemerima kuasa bertugas menjalankan seluruh kepentingan si pemberi kuasa.
  1. 2.               Surat kuasa khusus
Surat kuasa khusus yaitu surat kuasa yang isinya hanya satu kepentingan tertentu atau lebih yang dapat dilakukan oleh si penerima kuasa. Surat kuasa ini harus dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri  { Pasal 123 (1) HIR }. Surat Kuasa khusus dibuat di bawah tangan atau dengan akta otentik dihadapan notaris.
  • Macam – Macam Surat Kuasa Khusus:
  1. Surat Kuasa Khusus untuk naik banding
  2. Surat Kuasa Khusus untuk kasasi
  3. 3.               Surat Kuasa Substitusi
Yaitu surat kuasa khusus yang dilimpahkan kepada orang lain, apabila pemberian kuasanya disertai hak untuk dilimpahkan. Pada bagian akhir suratnya memuat kalimat “ surat ini diberikan dengan hak substitusi “. Arti substitusi yaitu menggantikan orang yang semula diberi kuasa.
Sifat Substitusi dan akibat hukumnya :
  • Substitusi Seluruhnya
Apabila surat kuasa yang bersangkutan telah dilimpahkan seluruhnya kepada orang lain yang telah  bersangkutan oleh pemberi kuasa, maka untuk selanjutnya penerima kuasa semula tidak berhak lagi mewakili pihak yang bersangkutan di persidangan.
  • Substitusi Sebagian
Apabila yang disubstitusikan hanya sebagian, maka penerima kuasa hanya dapat menjalankan kuasa tertentu saja seperti yang tercantum di dalam surat kuasa. Contoh : kuasa untuk menerima surat replik.
  1. 4.                  Surat kuasa istimewa
Pemberi kuasa harus melakukan sendiri dalam sumpah kesaksian. Tetapi dapat diwakilkan melalui surat kuasa.
2.4       Kewajiban si Penerima Kuasa ( Pasal 1800 – 1806 KUHPerdata )
1.   Melaksanakan kuasanya, menanggung segala biaya kerugian dan bunga yang ditimbulkan.
2.   Menyelesaikan segala urusan yang dikuasakan terhadapnya.
3.   Bertanggungjawab atas kelalaian yang dilakukannya.
4.   Memberikan laporan dan perhitungan atas apa yang dilakukan  kepada si pemberi kuasa.
5.   Bertanggungjawab atas orang yang ditunjuk sebagai pengganti dalam melaksanakan kuasa.
6.   Membayar bunga atas utang – utang pokok yang dipakai untuk kepentingannya sendiri.
2.5       Kewajiban si Pemberi Kuasa ( Pasal 1807 – 1812 KUHPerdata )
1.   Memenuhi perikatan – perikatan yang dibuat oleh si penerima kuasa.
2.   Mengembalikan persekot dan biaya yang dikelurkan oleh si penerima kuasa dalam melaksanakan tugasnya ( walaupun si penerima kuasa lalai ).
3.   Memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita si penerima kuasa.
4.   Membayar bunga atas persekot yang telah dikelurkan oleh si kuasa.
2.6       Hapusnya Kuasa ( Pasal 1813 – 1819 KUHPerdata )
1.   Ditarik kembali kuasa oleh si pemberi kuasa.
2.   Mengalihkan kuasa kepada orang lain.
3.   Meninggalnya si pemberi kuasa.




BAB III
PIHAK – PIHAK DALAM PERKARA
3.1       Penggolongan Pihak – Pihak
Secara umum, pihak – pihak yang boleh berperkara dimuka pengadilan yaitu orang dan badan hukum. Berikut ini penggolongan pihak – pihak berdasarkan kedudukannya :
3.1.1    Pihak Materiil
Pihak materiil adalah pihak yang memiliki kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan. Subjek hukum pihak materiil yaitu orang dan badan hukum.
Pihak – pihak materiil yaitu :
-      Pihak penggugat dan tergugat yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara.
-      Badan Hukum { di wakili oleh pihak formil ( Pasal 8 No 2 RV, Pasal 1955 BW ) }.
3.1.2    Pihak Formil
Yaitu pihak yang beracara di muka pengadilan serta bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri tanpa mempunyai kepentingan secara langsung di dalam perkara. Nama mereka harus dimuat di dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan, di samping nama – nama yang mereka wakili.
Contoh pihak formil ini yaitu wali atau pengampu, karena mereka bertindak dimuka pengadilan atas namanya sendiri tetapi mewakili kepentingan orang lain.
* Pengacara atau pokrol walaupun bertindak atas nama dan kepentingan clientnya, namun ia bukanlah pihak formil maupun meteriil.
3.2              Pihak yang tidak mampu bertindak di pengadilan :
Pihak yang tidak mampu bertindak ( personae miserabiles ) dianggap tidak mampu pula untuk bertindak di muka pengadilan. Pihak ini tidak mempunyai kemampuan prosesuil.
Mereka adalah orang – orang yang belum dewasa dan  yang dibawah pengampuan ( Pasal 452 BW ), yaitu :
1)      Belum dewasa.
        Pasal 330 BW : “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin “.
Di Indonesia banyak peraturan mengenai batas umur kedewasaan, yaitu berkisar  antara 15 – 21 tahun. BW mengatur batas umur dewasa adalah 21 tahun dan belum pernah kawin. UU No 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai batas umur kedewasaan, namun hanya batas minimal usia perkawinan. Menurut UU Kerja adalah 18 Tahun ( UU No 1 Tahun 1951 ). Untuk saksi di muka pengadilan minimal usia 15 tahun ( Pasal 145 ayat (4) HIR ). Batas umum minimal untuk dituntut perbuatan pidana yaitu 16 tahun.
Mereka yang belum dewasa dan tidak dibawah kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian.
* Pengecualian atas ketentuan bahwa orang yang belum dewasa harus diwakili di dalam perkara, namun didalam Hukum Perburuhan. Pada perselisihan Perburuhan, maka seorang buruh yang belum dewasa dapat menghadap pengadilan dengan tidak diwakili.
2)  Sakit ingatan
Pasal 433 BW : “ Setiap orang dewasa, yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan … “.
3)  Pemboros dan pemabuk  ( ketidakmampuan ini hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan saja ).
Pasal 433 BW : “ … Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya “.
BAB IV
CARA MENGAJUKAN GUGATAN
Mengajukan gugatan bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “ eigenrichting “.
4.1       Syarat orang yang dapat mengajukan gugatan :
  1. Orang tersebut memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum.
  2. Mempunyai kepentingan hukum dan dapat dibuktikan kepentingannya itu.
  3. Orang tersebut menderita kerugian.
  4. Mempunyai kepentingan yang cukup dan layak serta memiliki dasar hukum.
  5. Diajukan oleh seseorang yang memiliki hubungan hukum.
* Apabila tidak memenuhi persyaratan diatas, maka gugatannya tidak akan diterima oleh pengadilan.

4.2              Syarat – Syarat Surat Gugatan
  1. Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya;
  2. Terdapat tanggal;
  3. Nama jelas penggugat dan tergugat;
  4. Tercantum tempat tinggal penggugat dan tergugat;
  5. Dapat diketik atau pun di tulis tangan di kertas biasa; serta
  6. Memakai meterai (tidak diharuskan).
4.3       Jenis – Jenis Gugatan :
a. Gugatan tertulis
Menurut Pasal 118 HIR, surat gugatan harus ditandatangani oleh orang yang menggugat atau wakilnya. Setelah itu mengirimkan surat gugatan kepada Pengadilan Negeri daerah tergugat.
b. Gugatan Lisan
Hal ini terjadi apabila orang yang menggugat tidak pandai menulis dan/ buta huruf, maka tuntutannya diadukan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri, lalu ketua mencatatnya.
4.4              Tahap – Tahap mengajukan gugatan :
  • Gugatan Tertulis
  1. Mengirim surat gugatan kepada Pengadilan Negeri Wilayah Tergugat (mempunyai alamat dan domisili )
Hal ini berkaitan dengan asas : actor sequitur forum rei ( Pasal 118 ayat (1) HIR ). Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Negeri penggugat, karena belum tentu gugatan penggugat dikabulkan pengadilan. Maka dari itu, tergugat harus dihormati dan diakui hak – haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan penggugat ( asas praduga tak bersalah ).
Tuntutan sipil ini dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya dan diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri wilayah tergugat.
  1. Didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan.
Cara pengiriman surat gugatan ( Pasal 118 HIR ) :
-          Apabila tergugat tidak memiliki tempat tinggal yang dikenal dan tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat.
-          Apabila tergugat lebih dari satu orang dan mereka tinggal pada wilayah pengadilan negeri yang berbeda, maka surat gugatan dikirim kepada ketua pengadilan negeri salah satu dari tergugat.
* Pengecualian : apabila tergugat adalah seorang pembantu, maka surat gugatan dapat dikirimkan pada rumah majikannya.
( Cara diatas berbeda dengan ketentuan dibawah ini )
Cara menggugat menurut Pasal 1 Reglemen Hukum Acara Perdata bagi Raad van Justitie dan Hooggerechtshof :
-          Tuntutan perkara sipil diawali dengan pemanggilan dakwa oleh Juru Sita.
-          Lalu, juru sita membuat surat exploit tentang pemanggilan dakwa, setelah itu salinannya diserahkan kepada yang digugat atau dikirim ke tempat kediamannya.
-          Exploit yang asli diserahkan kepada penggugat.
-          Penggugat membawa surat itu kepada Panitera.
-             Lalu, panitera membuat catatan ( rol ) perkara itu akan diperiksa di pengadilan.
-             Penggugat menyuruh juru sita untuk memanggil tergugat untul menghadap ke pengadilan pada hari dan waktu yang ditentukan untuk mendengar tuntutan penggugat.
  • Gugatan Lisan
  1. Gugatan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang;
  2. Didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan; dan
  3. Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 120 HIR akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud penggugat.
BAB V
KOMPETENSI PENGADILAN
           
Tugas pokok dari Pengadilan yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah menerina, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan terhadapnya.
Agar gugatan tidak sampai diajukan secara keliru, maka dalam cara mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh penggugat bahwa gugatan harus diajukan secara tepat kepada badan pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili. Ada dua macam kewenangan pengadilan yaitu :
  1.  Wewenang mutlak atau absolute competentie, adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili.
Contohnya : persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 (1)a UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan, persoalan warisan, sewa menyewa, utang piutang, jual beli, gadai, hipotik adalah wewenang pengadilan negeri.
  1. Wewenang relatif atau relative competentie, adalah mengatur pembagian kekuasaan antara pengadilan yang serupa, tergantung tempat tinggal tergugat.
5.1              Wewenang Mutlak ( Kompetensi Absolut )
Kompetensi absolut adalah wewenang Badan Peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh Badan lain. Kompetensi ini biasanya tergantung pada isi gugatan, yaitu nilai dari gugatan. Wewenang ini disebut sebagai atribusi kekuasaan kehakiman.
  1. a.            Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri merupakan pengadilan sehari – hari biasa untuk semua penduduk, yang mempunyai wewenang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan – pengadilan yang dihapuskan ( Pasal 5 ayat (3a) UU Dar. 1 / 1951 ).
Pasal 4 UU No 49 Tahun 2009 :
“ Pengadilan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten / kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah meliputi wilayah Kabupaten/Kota “.
Pasal 50 UU No 49 Tahun 2009 :
“  Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana di tingkat pertama “.
Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa hak milik atau hak – hak yang timbul karenanya atau hak – hak keperdataan lainnya, kecuali apabila lain ditetapkan UU.
Contoh pengecualian :
-          Perceraian, Talak, Rujuk bagi beragama islam oleh Pengadilan Agama.
-          Perselisihan perburuhan.
Pengadilan Negeri tidak hanya berwenang menyelesaikan “ perkara “ saja, namun juga penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan jurisdiksi volunter, yaitu tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa. Contohnya : penetapan ahli waris  ( fatwa waris ).
Jadi, kesimpulannya wewenang mutlak dari Pengadilan Negeri adalah :
  • Pemeriksaan ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding ( Pasal 3 ayat (1&2) UU Drt. 1951 ).
  • Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam wilayahnya ( Pasal 3 ayat (1,2 ) UU Drt.1950 ).
  • Prograsi perkara perdata, yaitu mengadukan perkara dengan melampaui setingkat, jadi langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi. ( Pasal 3 ayat (1,1) UU Drt.1950 ).
  1. b.            Pengadilan Tinggi
Wewenang mutlak dari Pengadilan Tinggi yaitu ( UU No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum :
  1. Bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding ( Pasal 51 ayat (1) )
  2. Jurisdictiegeschillen, yaitu mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya ( Pasal 51 ayat (2) )
  3. Prorogatie perkara perdata, yaitu mengadukan perkara langsung ke pengadilan tinggi tanpa melalui pengadilan negeri.
  4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat kepada instansi pemerintahan di daerahnya ( apabila diminta ).
  5. Pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri.
  6. c.       Mahkamah Agung
Wewenang mutlak dari Mahkamah Agung ( UU No 3 Tahun 2009 ) :
1.Memeriksa dan memutus permohonan kasasi ( Pasal 28 ayat (1) ).
2.Sengketa tentang kewenangan mengadili (Pasal 28 ayat (1) ).
3.Permohonan Peninjauan Kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (1) ).
4.Menguji peraturan perundang – undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ( Pasal 31 ayat (1) ).
5.2              Wewenang Nisbi  ( Kompetensi Relatif )
Kompetensi relatif ini menempatkan dimanakah gugatan atau tuntutan hak itu harus diajukan. Hal ini berkaitan dengan asas actor sequitor forum rei, yaitu gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat, dan asas praduga tak bersalah sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV sebelumnya.
Apabila tergugat mempunyai tempat tinggal yang tidak dikenal atau tergugat tidak   dikenal, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat. Contoh tergugat yang tidak dikenal yaitu apabila seseorang yang berhutang meninggal kemudian kreditur menggugat ahli warisnya yang tidak dikenalnya.
Apabila tergugat mempunya tempat tinggal yang dipilih, maka gugatan dapat dikirimkan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal yang dipilihnya.
Contoh : menggugat pembantu rumah tangga dapat mengajukan surat gugatan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal majikannya.
Apabila tergugat lebih dari seorang dan tinggal pada wilayah Pengadilan Negeri yang berbedam maka gugatan dapat dikirim pada salah satu Pengadilan Negeri.
Penyimpangan asas actor sequitor forum rei terjadi apabila tergugat tidak memiliki tempat tinggal yang dikenal, tempat tinggal yang nyata dan tergugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat. Contohnya : tergugat tinggal di luar Indonesia.
Contoh – contoh gugatan :
  • Ø Asas forum rei sitae yaitu apabila gugatan mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat benda tetap itu terletak ( Pasal 118 ayat (3) HIR ). Contoh : sengketa tanah.
  • Ø Perceraian bagi orang diluar Islam, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kediaman tergugat, atau Pengadilan Negeri di tempat kediaman penggugat apabila kediaman tergugat tidak jelas.
  • Ø Permohonan untuk dinyatakan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga ( Pasal 1 angka 7 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ).

Photobucket