Pages

Friday, October 19

S E N G K E T A

Kata sengketa, secara umum dapat didefinisikan sebagai “perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain.”
Sedangkan istilah “komersial” yang berasal dari kata “commercial”,di dalam UNCITRAL4 Model Law on International Commercial Arbitration yang diadopsi oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan Internasional pada 21 Juni 1985, kata “commercial”, didefinisikan sebagai berikut:
“The term ‘commercial’ should be given a wide interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions: any trade transactions for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passenger by air, sea, rail or road.”
Memperhatikan rumusan komersial di atas, ternyata cakupannya amat luas. Makna komersial, meliputi berbagai aspek hubungan transaksi yang dapat dilakukan oleh setiap subjek hokum manusia maupun badan hukum. Satu hal yang menarik dan hendak diungkap melalui kajian ini antara lain adanya perkembangan baru dari doktrin penyelesaian sengketa, khususnya sengketa komersial. Perkembangan tersebut di Indonesia boleh jadi berawal tatkala Pemerintah Indonesia pada dasawarsa 1970-an mengundang masuknya modal asing melalui pengundangan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA). Sejak saat itu interaksi para pelaku niaga di Indonesia tidak hanya sebatas dilakukan dengan sesama warga negara, melainkan sudah berlangsung dengan berbagai macam bangsa yang merupakan, baik mereka yang menjadi investor di Indonesia maupun yang sekedar menjadi pelaku niaga.  Sebagai konsekuensi logis dari keadaan tersebut, maka produk perundang-undangan bidang hukum acara perdata yang diundangkan sejak tahun 1970 juga telah mengintroduksikan bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdata dimungkinkan dilakukan di luar pengadilan negeri.


Sebagaimana diketahui bahwa salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia. Ini secara tegas disebutkan dalam Perpu. Artinya, pengadilan niaga hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi secara substansial kehadiran peradilan niaga jelas telah menggeserkan kompetensi absolut maupun relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban membayar utang.
Selain telah menyebabkan tergesernya kompetensi pengadilan negeri, pembentukan pengadilan niaga sebagai pengadilan khusus dalam konteks doktrin penyelesaian sengketa bidang hukum privat paling tidak telah membawa perubahan dalam mekanisme penyelesaian sengketa. Setidaknya terdapat dua faktor pengubah mekanisme penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri oleh pengadilan niaga.
Pertama, penyelesaian perkara di pengadilan niaga ditetapkan dengan cepat (yakni ditentukan jangka waktunya), sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sama sekali tidak ditentukan jangka waktunya.
Kedua, sifat penyelesaian sengketa pada pengadilan niaga ditetapkan harus efektif. Maksudnya, putusan perkara permohonan kepailitan bersifat serta merta. Artinya, putusan pengadilan niaga dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Seperti diketahui bahwa secara teoretis sistem peradilan di Indonesia mengenal dua macam kewenangan, yaitu kewenangan mutlak atau absolut dan kewenangan relatif.
Kewenangan mutlak atau absolut diartikan sebagai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan yang berkaitan dengan pemberian kekuasaaan untuk mengadili (attribute van rechtsmacht). Dengan kata lain, kewenangan mutlak atau absolut ini berbicara mengenai kewenangan badan-badan peradilan dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara. Konsekuensinya, suatu pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak pengadilan lain. Sementara itu, kewenangan relatif mengatur mengenai pembagian kekuasaan untuk mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat seperti yang terdapat di dalam Pasal 118 ayat (1) Het Herziende Indische Reglement (HIR).
Selain kewenangan absolut dan relatif, Pengadilan Niaga juga memiliki kewenangan secara komprehensif. Pasal 280 UU Kepailitan 1998, menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif itu adalah kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar kepailitan dan PKPU serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan.
Kewenangan secara komprehensif yang dimiliki Pengadilan Niaga bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan terkait dengan titik taut dengan kewenangan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam hal pemeriksaan perkara, karena permasalahan seputar kepailitan tidak hanya berkaitan dengan utang sebagai pokok utama, melainkan hal-hal lain seperti pembatalan perjanjian perdamaian, actio pauliana, keabsahan surat-surat, dan lain-lain. Kondisi inilah yang memicu beberapa masalah karena sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah bersifat sumir atau sederhana, suatu hal yang sulit untuk dilakukan bila menyangkut pemeriksaan lain di luar Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998.
Berdasarkan sifat sumir atau sederhana dari suatu perkara di Pengadilan Niaga, maka yang harus dibuktikan cukup pada suatu keadaan berhenti membayar. Kondisi tersebut membawa konsekuensi berbeda-beda. Sebagian pihak mengatakan cukup dipenuhinya syarat kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) maka salah satu pihak (termohon pailit) dapat langsung dinyatakan pailit. Sementara, di lain pihak mengatakan diperlukan suatu analisis lebih lanjut di bidang hukum ekonomi dan bisnis untuk menyatakan bahwa termohon pailit dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

No comments:

Post a Comment

LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.

Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;