Pasal 30 Ayat (2) pada
Bab XII Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
Perumusan dan Penyusunan Pasal 30 Ayat (2) pada Bab XII Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
Dikirim/ditulis pada 4 May 2007 oleh Yed Imran
* ARTIKEL HUKUM TATA NEGARA
PERUMUSAN DAN PENYUSUNAN PASAL 30
AYAT (2) PADA BAB XII UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN
NEGARA
Oleh: Said Imran[1]
“Usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
(Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)
A. Umum
Sebelum jauh melangkah ada baiknya
terlebih dahulu memahami mengenai pemahaman makna antara Undang-Undang Dasar
dengan Konstitusi. Pada umumnya, konsep pengertian antara Undang-Undang Dasar
(selanjutnya disingkat dengan istilah UUD) dan Konstitusi hampir diberikan
pemahaman yang sama diantara para kalangan masyarakat umum. Namun tidaklah
demikian menurut ilmu teori hukum ketatanegaraan. Berdasarkan kajian akademis,
konstitusi adalah hukum dasar (droit constitusionel) yang dijadikan pegangan
dalam penyelenggaraan suatu negara.[2] Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang
tidak tertulis dan dapat pula yang tertulis. Konstitusi yang tertulis inilah
yang dinamakan sebagai UUD. Karena itu, UUD sebagai konstitusi dalam pengertian
sempit ini merupakan konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar
tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek
penyelenggaraan negara sehari-hari.Memasuki tahap perumusan suatu UUD maka
dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai beserta norma-norma
dasar yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat, begitupun dalam praktek
penyelenggaraan suatu negara / konvensi turut pula mempengaruhi perumusan suatu
norma ke dalam naskah UUD. Dengan demikian, nuansa atau suasana kebatinan yang
menjadi latar belakang filosofis, politis, historis serta sosiologis perumusan
yuridis suatu UUD perlu diketahui dan dipahami secara seksama guna mendapati
pengertian yang sebaik-baiknya mengenai ketentuan yang terdapat dalam
pasal-pasal UUD. Menurut pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa suatu
UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis,
sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi
perumusannya.[3]Seiring perjalanan waktu dalam sejarah telah memberikan pula
situasi dan kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka
pemikiran serta medan pengalaman suatu UUD dengan muatan yang berbeda-beda
sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang
dan melangkah maju dalam praktek di masa depan. Untuk itulah, penafsiran
terhadap UUD pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, menurut
Jimly Asshidiqie, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan
dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang
ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.[4] Oleh karena itu, dalam
menyertai perumusan dan penyusunan suatu naskah UUD diperlukan pula adanya
pokok-pokok pemikiran konseptual yang melandasi ataupun mendasari setiap
perumusan baik pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam UUD serta keterkaitannya
secara langsung maupun tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945. Hal demikian akan membawa kita pula
dalam pemahaman atas konsepsi tentang negara (staatsidee) sebagai pelengkap
norma dasar seperti yang dikemukan dalam pidatonya dimuka Dokuritsu Junbi
Cosakai di Jakarta pada tahun 1945.[5]Sehubungan hal tersebut, dalam upaya
memahami perumusan dan penyusunan suatu pasal UUD 1945, penulis hanya membatasi
pada Pasal 30 ayat (2) seperti yang tercantum pada awal pembukaan penulisan
ini. Penulis akan mencoba mengulas pasal tersebut secara eksploratif dari
konteks perspektif yang telah dijelaskan diatas. Kemudian, pembahasan ini
diharapkan dapat membawa manfaat bagi kepentingan khalayak umum dan khususnya
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami pasal tersebut.
B. Sejarah Perumusan UUD 1945
Bagi negara Republik Indonesia kini,
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar, yakni sebagai
sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada
batang tubuh UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD
1945 dan Pancasila. Norma dasar ini dalam penjelasan UUD 1945 menyebutkannya
sebagai “cita-cita hukum (rechtsidee)” yang terwujud dari pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.[6] Dengan demikian, pasal-pasal yang
terkandung merupakan pencerminan perwujudan dari Pembukaan UUD dimaksud, begitu
pula khususnya pada Pasal 30.
Dalam sejarah perumusan UUD 1945
oleh Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
pada akhir Mei 1945 di Jakarta, terdapat beberapa tokoh yang dikenal seperti
Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo, dan Ir. Soekarno yang terlibat
dalam proses perumusan dan penyusunan Naskah Persiapan Undang-undang Dasar
1945.[7] Dalam prosesnya tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam membentuk suatu UUD, diantaranya adalah:[8]
1. Bahwa UUD merupakan sebagian dari
dari hukum dasar.
2. Bahwa terdapat pokok-pokok pikiran dalam “pembukaan.”
3. Bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasalnya.
4. Bahwa UUD bersifat singkat dan supel.
2. Bahwa terdapat pokok-pokok pikiran dalam “pembukaan.”
3. Bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasalnya.
4. Bahwa UUD bersifat singkat dan supel.
Ir. Soekarno, selaku ketua Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat itu, menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan
UUD yang bersifat sementara (UUD kilat/revolutie grondwet), sehingga dimungkin
dapat segera dilakukan perubahan yang lebih lengkap dan sempurna setelah
Indonesia dalam kondisi bernegara dan merdeka didalam suasana yang lebih
tenteram.[9] Hal ini menunjukkan adanya keinginan dari Bapak Bangsa untuk
melakukan kemerdekaan Indonesia secepatnya dengan landasan hukum yang kuat,
yakni suatu konstitusi tertulis dalam bentuk UUD.Perumusan dan penyusunan
pasal-pasal dalam UUD 1945, jika ditinjau dari suasana kebatinan dan kondisi
pada masa sebelum kemerdekaan RI, akan terlihat bahwa proses pembuatannya
dilaksanakan dalam keadaan yang segera dan tergesa-gesa, ditetapkan dalam waktu
1 hari, berstatus sementara, muatannya tidak lengkap dan sempurna, serta
ditetapkan bukan oleh badan yang mewakili rakyat.[10] Hal ini dapat dilihat
dalam bentuk dan isi dari batang tubuh UUD itu sendiri yang singkat dan jelas,
dimana sebagai salah satu syarat utama terbentuknya suatu negara yang merdeka.
Hal ini pun memungkinkan pula bahwa UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok
maupun garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan
penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan
kesejahteraan sosial. Hal tersebut diasumsikan bahwa khusus bagi negara baru
dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat
aturan-aturan pokok saja, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat,
mengubah dan mencabutnya. Dampak dari hal diatas terpengaruh juga dalam proses
perumusan dan penyusunan pasal-pasal keseluruhan dalam batang tubuh UUD 1945,
terutama dalam Pasal 30 Bab XII tentang Pertahanan Negara. Pasal 30 ini pada
awalnya tertulis sebagai berikut:[11](1) Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.(2) Syarat-syarat tentang
pembelaan diatur dengan undang-undang. Karena demikian singkatnya, maka dalam
Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia pun dijelaskan dengan kalimat “Telah
Jelas.”
C. Sejarah Perumusan UUD 1945 Hasil
Amandemen.
Dalam perspektif teori hukum tata
negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui dua pola, yakni
Pola Belanda dan Pola Amerika Serikat.[12] Pola pertama adalah dengan mengubah
langsung pasal yang bersangkutan, sedangkan pola kedua adalah dalam bentuk
amandemen yang dilampirkan pada Konstistusi AS. Perubahan-perubahan tersebut
mengandung maksud agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution).
Dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia ada lima periode UUD yang penah berlaku di Indonesia, antara lain:
1. Masa UUD 1945, berlaku antara 17
Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949;
2. Masa Konstitusi RIS, berlaku antara 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
3. Masa UUD Sementara 1950, berlaku anatara 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
4. Masa UUD 1945, berlaku kembali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999.
5. Masa UUD1945 Perubahan I – IV, berlaku sejak 19 Oktober 1999 s/d sekarang.
2. Masa Konstitusi RIS, berlaku antara 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
3. Masa UUD Sementara 1950, berlaku anatara 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
4. Masa UUD 1945, berlaku kembali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999.
5. Masa UUD1945 Perubahan I – IV, berlaku sejak 19 Oktober 1999 s/d sekarang.
Adapun perincian perubahan UUD 1945
hasil amandemen sebagai berikut:
- UUD 1945 Perubahan I, 19 Oktober
1999 s/d 18 Agustus 2000.
- UUD 1945 Perubahan II, 18 Agustus
2000 s/d 9 November 2001.
- UUD 1945 Perubahan III, 9 November
2001 s/d 10 Agustus 2002.
- UUD 1945 Perubahan IV, 10 Agustus
2002 s/d sekarang.
Dalam empat periode terakhir
berlakunya macam-macam UUD diatas, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu.
Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita
Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya
kembali UUD 1945, sampai diubahnya UUD 1945 melalui proses amandemen.[13]
Pada proses amandemen UUD 1945 di
akhir abad XX dalam era reformasi, MPR melalui Sidang Umumnya menetapkan
Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 dengan mengubah beberapa pasal dalam UUD
1945.[14] Perancangan perubahan ini dilakukan dengan berlandasankan pada
ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang perubahan UUD. Perubahan
Pertama tersebut kemudian dilanjutkan dengan Perubahan Kedua dan Perubahan
Ketiga. Hal tersebut tampak jelas dalam penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999
tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI Untuk Melanjutkan Perubahan UUD Negara
RI 1945. Tap MPR ini memerintahkan agar BP-MPR mempersiapkan rancangan
termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus
2000.[15]
Seperti yang diamanatkan Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1999 sebagaimana disebutkan diatas, maka pada Sidang Tahunan MPR
pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 s/d 18 Agustus 2000 dilakukan
Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua ini, para wakil rakyat tersebut
melakukan perubahan terhadap pasal-pasal.[16] Pasal tersebut diantaranya adalah
Pasal 30 mengenai Pertahanan Negara, yang selanjutnya akan dibahas pada bagian
berikutnya. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan mengubah rumusan
pasal-pasal yang bersangkutan dan/atau dengan menambah beberapa ayat dari pasal
yang bersangkutan.[17]
Sejak ditetapkannya Perubahan
Pertama yang kemudian diikuti oleh Perubahan Kedua UUD 1945, di kalangan
masyarakat sudah mulai timbul pandangan-pandangan kritis terhadap isi dari
perubahan tersebut. Kritik tentang pertentangan antara isi pasal dengan
penjelasan tersebut sebenarnya telah agak mereda setelah masyarakat menerima
penjelasan bahwa MPR memang akan menghapuskan Penjelasan UUD 1945, dan akan
mengambil butir-butir yang penting guna dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD
1945.[18]
D. Perumusan Pasal 30 UUD 1945 Hasil
Amandemen II
Pasal 30 yang membahas masalah
tentang Pertahanan Negara ini sebelum dilakukan perubahan hanya memiliki 2
(dua) ayat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal perumusan dan
penyusunan pasal ini, kita dapat melihat dan meneliti dari maksud asli
(original intend) ataupun pemahamannya pada saat rumusan pasal tersebut
diperdebatkan pada Sidang Tahunan MPR 2000.
Hal tersebut dapat dilakukan
penelitian secara historis pada Risalah Rapat Pleno ke-45 Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR. Rapat ini diselenggarakan pada hari Selasa, 20 Juni 2000,
pukul 10:00 s/d 11:46 WIB, dan bertempat di ruang GBHN dengan pokok acara:
“Pembahasan tentang Rumusan Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan Negara.” Rapat
Pleno ini dipimpin oleh Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dan Drs. Ali Masykur Musa
MSi selaku Sekretaris Rapat. Anggota yang hadir sebanyak 36 orang dan 9 orang
tidak hadir.[19]
Berdasarkan jalannya rapat dalam
risalah tersebut, acara dibuka oleh pimpinan rapat dengan 1 kali ketokan palu.
Pimpinan kemudian memasuki pembahasan Pasal 30 tersebut. Menurutnya masalah
“tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
Negara” ini sempat dibicarakan ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia
dan mengenai hak warga negara. Untuk selanjutnya pimpinan mempersilahkan
pembicara dari berbagai fraksi untuk mengemukakan usulnya. Adapun pembicara
dari berbagai fraksi beserta usulan atau pembahasannya mengenai Pasal 30 UUD
1945 adalah sebagai berikut:
1. Drs. Anthonius Rahail (F-KKI)
F.KKI mengusulkan mengusulkan pasal
30 ini tetap dengan penekanan pada ayat (2). Disini dimaksudkan agar nanti
didalam UU akan mengatur tentang fungsi dan peran militer dan kepolisian. Dua
aspek yang ditekankan adalah: pertama, aspek dalam negeri adalah kepolisian
yang dalam praktek menjaga keamanan dalam negeri. Kedua, keamanan negara ada
pada militer yaitu luar negeri. Fungsi pertahanan adalah militer (AD, AL dan
AU).
2. Sutjipto, SH (F-UG)
Fraksi ini mengusulkan Bab XII
menjadi 3 bab, yaitu Bab I tentang Pembelaan Negara, Bab 2 tentang TNI, dan Bab
II tentang Kepolisian Negara. Fraksi UG memandang perlu dipisahkan tugas
mengenai TNI dan Kepolisian.
3. Hendy Tjaswasdi, SH, SE, MBA, CN,
Mhum (F-TNI/POLRI)
Fraksi ini menganggap bahwa pasal
ini masih relevan sehingga diusulkan tetap. Dalam pengertian pertahanan dan
keamanan, ada yang membedakan secara tegas pertahanan adalah mengahdapi ancaman
dari luar dan keamanan adalah didalam negeri. Walaupun TNI identik dengan AD
yang melakukan pertahanan tetapi hal itu memungkinkan, karena AL dan AU juga
melakukan keamanan, menegakan hukum dan kedaulatan negara di udara dan laut.
Sehingga jika pertahanan untuk TNI (AD, AL, AU) maka tidak ada payung
UU/konstitusi yang melindungi AU dan AL bertugas sehari-hari.
4. Asnawi Latief (F-PDU)
Mengusulkan ada penyempurnaan dan
atau penambahan judul bab sehingga menjadi Pembelaan dan Pertahanan Negara,
untuk memayungi AU dan AL dalam membela. Disamping itu, bab tersebut dipecah
menjadi 3 bab dengan penambahan 2 bab tentang TNI dan Kepolisian Negara.
Kemudian fraksi ini pun mengusulkan adanya Bab tersendiri mengenai Kepolisian
yang didasarkan mempunyai multi tugas sebagai penyelidik, penyidik, pengamanan,
penertiban dan pengayoman terhadap masyarakat.
5. Sutjipno (F-PDIP)
Fraksi ini menyampaikan
visi/pandangan konseptual tentang konsepsi Pertahanan Negara dan Keamanan
Negara secara mendetail. Fraksi PDIP mengusulkan Bab Pertahanan Negara menjadi
2 Bab, yakni Bab XIII mengatur Pertahanan Negara dengan inti kekuatan adalah
TNI dan Bab XIV mengatur Keamanan Negara dengan inti kekuatan adalah Polisi
Nasional Indonesia.
6. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa
(F-PG)
Fraksi Golkar ini menyampaikan 4
pandangan, diantaranya substansi pertahanan negara erat kaitannya dengan
substansi keamanan negara sehingga perlu adanya ketegasan dan pemisahan yang
cukup tegas, penegasan TNI sebagai alat negara yang menjalankan kekuatan utama
pertahanan negara, POLRI sebagai aparatur pemerintah yang bertugas untuk memelihara
keamanan dan ketertiban dalam negeri sekaligus aparat penegak hukum yang
bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat berdasarkan hukum,
adanya pembedaan fungsi dan kekuatan TNI & POLRI. Fraksi ini mengusulkan
judul Bab dirubah menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Selain mengusulkan
menjadi 3 Pasal, yang keseluruhannya terdiri 6 ayat, juga menyampaikan pasal
yang mengatur hubungan interaksi ketika 2 institusi itu harus berhubungan dalam
rangka melaksanakan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan.
7. Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin
(F-PPP)
Fraksi ini mengajukan 4 ayat dalam
bab ini. Dengan begitu tetap 1 bab namun disempurnakan pada judul bab menjadi
Pertahanan dan Keamanan Negara. Fraksi ini mengusulkan masalah pertahanan dan
keamanan negara diatur dengan UU sehingga masalah struktur internal
masing-masing instansi diatur dengan UU lebih lanjut. Akan tetapi, pemisahan
bidang pertahanan bagi TNI dan keamanan bagi POLRI tetap dibedakan.
8. Drs. Abdul Khaliq Ahmad (F-KB)
Fraksi ini memberikan pandangan
sebagai berikut: dimensi force dan security harus direpresentasikan tertulis
dalam konstitusi, TNI sebagai alat negara harus ada penegasan eksplisit agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seprti pada masa lalu, institusi
kepolisian juga harus eksplisit disebut dalam konstitusi karena fungsinya
sebagai alat keamanan negara juga sebagai penegak hukum. Fraksi ini mengusulkan
nama Bab tidak berubah, tetapi terdapat penambahan pasal baru menyangkut
susunan kedudukan dan tugas TNI & POLRI, profesionalisme dilingkungan
tentara dan kepolisian dibidang masing-masing, dan penegak hukum yang
independent dan bebas dari institusi lain termasuk militer dalam rangka
penegakan supremasi hukum di Indonesia.
9. Ir. A.M. Lutfi (F-Reformasi)
Fraksi ini mengusulkan judul menjadi
Pembelaan Negara dan memasukkan pasal 30 ini menjadi 3 pasal tentang Pembelaan
Negara, TNI, dan POLRI, yang masing-masing terdiri dari 3 ayat. Dalam salah
satu ayat pasal tentang pembelaan Negara mencantumkan bahwa usaha pembelaan
Negara dilakukan oleh TNI dan POLRI sebagai inti kekuatan dan dibantu oleh
rakyat yang telah diorganisir, dilatih dan disiapkan secara khusus dalam
pembelaan Negara.
10. Harun Kamil, SH (F-PDKB)
Fraksi ini berpendapat tetap pada
pasal yang lama, namun ditambah ayat baru mengenai tanggung jawab TNI dalam hal
memperthankan kedualatan dan keutuhan negara. Kemudaian fraksi ini menambah
pasal baru yang memperjelas fungsi dan tugas POLRI yang diperbaharui.
Setelah seluruh fraksi yang hadir
menyampaikan pendapat dan usulannya maka pimpinan rapat memberikan garis besar
apa yang telah dikemukakan mengenai perumusan dan penyusunan pasal 30 tersebut.
Sidang kemudian diakhiri pada pukul 11:46 yang ditutup dengan ketokan palu
sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian dari risalah tersebut maka
original intend mengenai perumusan dan penyusunan pasal mengenai pertahanan
Negara ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:[20]
1. Pandangan terhadap nama bab dan
judul:
1. Ada yang meminta tetap;
2. Ada yang menggabungkan kata pembelaan dan pertahanan negara;
3. Ada yang menggabungkan kata pertahanan dan keamanan negara;
4. Ada yang meminta pembelaan negara;
5. Ada yang memisahkan bab ini menjadi tiga, yakni scara berturut-turut adalah Bab Pertahanan Negara, Bab TNI dan Bab Kepolisian Negara.
2. Pandangan tentang substansi Bab:
1. Sebagian besar fraksi-fraksi memandang penting untuk melakukan pemisahan secara jelas fungsi pertahanan dan keamanan, walaupun demikian ada fraksi yang meminta supaya terdapat pengaturan interaksi diantara fungsi-fungsi tersebut;
2. Mengenai keterlibatan rakyat, dalam hal ini adalah milisi ataupun rakyat terlatih.
1. Ada yang meminta tetap;
2. Ada yang menggabungkan kata pembelaan dan pertahanan negara;
3. Ada yang menggabungkan kata pertahanan dan keamanan negara;
4. Ada yang meminta pembelaan negara;
5. Ada yang memisahkan bab ini menjadi tiga, yakni scara berturut-turut adalah Bab Pertahanan Negara, Bab TNI dan Bab Kepolisian Negara.
2. Pandangan tentang substansi Bab:
1. Sebagian besar fraksi-fraksi memandang penting untuk melakukan pemisahan secara jelas fungsi pertahanan dan keamanan, walaupun demikian ada fraksi yang meminta supaya terdapat pengaturan interaksi diantara fungsi-fungsi tersebut;
2. Mengenai keterlibatan rakyat, dalam hal ini adalah milisi ataupun rakyat terlatih.
E. Analisa Terhadap Pasal 30 Ayat
(2) UUD 1945 Hasil Amandemen
Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa perubahan terhadap perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945
seperti tercantum pada awal tulisan ini adalah merupakan hasil dari Perubahan
Kedua UUD 1945. Pemahaman yang kita ketahui mengenai adanya perubahan tersebut
sebagaian besar adanya kehendak untuk memisahkan peran TNI dan POLRI dalam
usaha dibidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan utama dalam upaya
peranan pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui suatu rumusan
sistem yang disebut HANKAMRATA.[21] Implementasi dari Pasal 30 tersebut
diantaranya adalah adanya pemisahan TNI dan POLRI pada era reformasi yang
menunjukkan paradigma baru ABRI dalam sistem ketatanegaraan. Hal ini mengandung
maksud bahwa hampir diseluruh dunia, kepolisian bukanlah bagian dari fungsi
militer melainkan polisi berada dibawah otoritas sipil yang bertugas menjaga
keamanan dan ketertiban serta pengayoman terhadap masyarakat. Kerancuan
terminologi yang disebabkan oleh menyatunafaskan pertahanan dengan keamanan
pada masa rezim yang lalu telah membawa paradigma yang keliru sehingga para
pengambil keputusan politik merespon tuntutan masyarakat untuk memisahkan TNI
dan POLRI.[22] Sesungguhnya mengenai permasalahan ini telah dibahas jauh-jauh
hari sebelum berlangsungnya proses penyusunan dan perumusan Pasal 30 UUD 1945.
Pendalaman materi peran TNI dan POLRI telah dibahas oleh Panitia Ad Hoc II
Badan Pekerja MPR pada hari Selasa, 22 Pebruari 2000, di ruang Nusantara IV
dengan pimpinan rapat oleh Hj. Aisyah Aminny, SH.[23]
Dalam rapat pembahasan itu telah
dijelaskan secara rinci mengenai reposisi, redefinisi, dan reorganisasi baik
peran TNI maupun peran POLRI secara keseluruhan. Inti dari rapat tersebut salah
satunya menyimpulkan bahwa dengan kewenangan POLRI dibidang keamanan, tidak
berarti TNI dibebaskan dari urusan keamanan dalam negeri (Kamdagri) dalam
kondisi tertentu dimana kedaulatan negara terancam maka TNI sesuai dengan
ketentuan yang (akan) berlaku, baik UU Penanggulangan Keadaan Bahaya atau
apapun bentuknya, nanti akan tampil untuk menegakkan kembali kedaulatan.[24]
Penjabaran pemisahan TNI dan POLRI berikut perannya kemudian dituangkan dalam
dua bentuk Ketetapan MPR RI sebagai dasar sebelum adanya ketentuan perarturan
perundang-undangan yang mengaturnya, antara lain adalah TAP MPR RI No.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran
POLRI. Dengan demikian, kedua institusi tersebut menjadi terpisah secara
kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, yakni TNI sebagai alat
negara yang berperan dalam pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sedangkan POLRI adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat.[25]
Seiring perubahan terhadap Pasal 30
UUD 1945 yang semula terdiri dari dua ayat sehingga menjadi 4 ayat, telah
memberi penegasan sebagai hukum dasar mengenai pengaturan masalah pertahanan
dan keamanan. Pemisahan ini pula timbul dari suasana kebatinan dari para wakil
rakyat yang hendak mewujudkan pemisahan dwifungsi TNI dan
keprofesionalitasannya sebagai alat negara. Hal ini salah satunya mungkin
mendorong munculnya langkah baru yang lebih inovatif yang telah mempengaruhi
masuknya pasal itu.[26] Namun demikian, terhadap perubahan pasal tersebut tidak
banyak dikomentari dalam kalangan TNI maupun POLRI, melainkan kedua institusi
ini memberikan sikapnya dengan menyampaikan beberapa rekomendasi secara
menyeluruh mengenai amandemen UUD 1945 yang secara garis besar mendukung
sepenuhnya hasil Sidang Tahunan MPR tersebut.[27]
Pada bulan Agustus 2003, Tap MPR No.
I/MPR/2003 mengugurkan kedua TAP MPR diatas setelah disahkannya Undang-undang
yang mengatur tentang POLRI dan Pertahanan Negara. Begitu pula pada pertengahan
bulan Oktober 2004, DPR mensahkan kembali UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU tentang Pertahanan Negara,
UU tentang Polri dan UU tentang TNI. Namun, satu hal yang menjadi persoalan
hingga kini adalah belum adanya UU tentang “Keamanan Negara” guna merangkai
Keamanan Negara dalam satu sistem dengan Pertahanan Negara, sehingga baik UU
tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri maupun UU tentang TNI sama sekali
tidak menyebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai landasan
pokok pemikiran bahwa terdapat kaitan sinergis antara fungsi pertahanan negara
dengan keamanan negara.[28]Dengan demikian, jika kita meninjau Pasal 30 ayat
(2) dan konsisten dengan amanat pasal tersebut, yakni membangun sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta, maka perlu disiapkan UU yang mengatur tentang
Pertahanan dan Keamanan Negara yang isinya mengandung muatan semangat dan
performa “sishankamrata.” Disamping itu, apabila penyebutan pertahanan negara
dan keamanan negara dipilih sebagai istilah standar pada judul Bab XII UUD 1945
maka secara logika seharusnya dibuat UU yang mengatur Keamanan Negara untuk
mewadahi UU tentang POLRI sebagaimana halnya UU Pertahanan Negara untuk
mewadahi UU tentang TNI. Konsepsi pemikiran demikian seharusnya telah disadari
sebelumya oleh para pembentuk UU sebagai implementasi dari perumusan Pasal 30
ayat (2) UUD 1945 sehingga rasio pemikiran terhadap pasal tersebut tidak
menjadi rancu, dimana dibuat UU payung untuk melaksanakan UU kedua institusi
tersebut agar saling bersinergis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Sinergi
TNI-POLRI dalam rangka pengembangan wawasan sishankamneg dan penegakan hukum
dapat dilihat dari beberapa hal yang urgensi, antara lain:[29] pertama,
menetralisir adanya kesan bahwa secara kelembagaan POLRI sekarang “merdeka”
dari pengaruh TNI sehingga bebas menentukan kebijaksanaannya sendiri. Kedua,
mendorong perubahan perilaku polisi dari alat pertahanan dan keamanan dalam
perspektif negara otoriter menuju alat penegak hukum didalam negara yang
demokratis. Dan ketiga, mencegah adanya egoisme sektoral dan sebaliknya
meningkatkan kerjasama diantara dua kekuatan yang sama-sama memiliki senjata,
yakni TNI dan POLRI. Oleh karena itu ada baiknya UU payung yang akan mengatur
masalah pertahanan dan keamanan negara seperti tersebut diatas, sepatutnya
dibahas secara bersama dengan RUU yang relevan atau berkaitan dengan masalah
tersebut, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU
Intelijen Negara, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Peradilan Militer sebagai
bahan program legislasi nasional periode mendatang. Konsepsi pertahanan dan
keamanan negara yang berorientasi ke masa depan perlu mampu mengantisipasi
perkembangan di masa depan pula yang berpengaruh terhadap masalah pertahanan
dan keamanan. Sehubungan dengan hal itu, maka konsepsi pertahanan dan keamanan
harus mampu melihat lingkup pertahanan dan keamanan negara secara utuh dan
komprehensif yang mencakup:[30]
1. kondisi obyektif bangsa dan
negara saat ini;
2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; serta
3. kepentingan untuk mampu merespon tantangan masa depan.
2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; serta
3. kepentingan untuk mampu merespon tantangan masa depan.
Untuk memahami dengan seksama Pasal
30 ayat (2) tidak dapat terlepas dalam memahami Pasal 30 secara keseluruhan.
Oleh karenanya wajib mengelar pasal 30 serta ayat-ayat yang terkandung
didalamnya secara utuh dan lengkap. Dalam suatu negara demokrasi, kepedulian
tentang pertahanan & keamanan negara dalam arti luas adalah hak dan
kewajiban tiap warga negara sebagaimana tercantum di ayat (1) Pasal 30 UUD
1945.
F. Perbandingan dengan Negara lain
Dalam hal membandingkan Pasal 30 UUD
1945 tersebut dengan pasal-pasal yang berkaitan atau berhubungan dengan bidang
pertahanan dan keamanan pada beberapa konstitusi negara-negara asing yang
diperoleh, maka sedikitnya dapat memberikan gambaran mengenai pasal yang serupa
atau setidaknya terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan. Adapun
konstitusi-konstitusi mancanegara itu terbatas pada konstistusi sebagai berikut:
1. Konstitusi Amerika Serikat[31]
Dalam konstitusi AS, bidang
pertahanan dan keamanan Negara tidak tercantum ataupun diatur secara eksplisit
baik dalam artikel-artikel maupun pasal-pasalnya. Kendati demikian, masalah
pertahanan disediakan bersama sebagai Rakyat AS pada pembukaan konstitusi
sebagai salah satu tujuan memproklamirkan dan menetapkan konstitusinya..
2. Konstitusi Australia[32]
Dalam konstitusi Australia terdapat
satu pasal mengenai masalah pertahanan, yaitu Pasal 119 tentang Perlindungan
atas Negara Bagian dalam Bab V mengenai Negara Bagian, yang berbunyi:
“Persemakmuran akan melindungi tiap-tiap Negara Bagian terhadap invasi dan,
dengan aplikasi dari Pemerintah Eksekutif Negara Bagian, menghadapi kekerasan
domestik.”
3. Konstitusi Belanda[33]
Menurut konstitusi Belanda bahwa
masalah yang berkaitan erat dengan bidang pertahanan diatur dalam 6 pasal,
yakni pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102, dan masalah keamanan diatur hanya
dalam satu pasal, yaitu pasal 103. Semua pasal ini termasuk dalam Bab V
mengenai Perundang-undangan dan Administrasi yang masuk dalam Bagian 2 tentang
Ketentuan Lainnya.
4. Konstitusi Jepang[34]
Berdasarkan pembukaan konstitusi
Jepang bahwa Rakyat Jepang telah menentukan untuk memelihara keberadaan dan
keamanan mereka. Namun hal tersebut tidak dijelaskan dalam pasal-pasalnya
sehingga tidak ada pasal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.
Akan tetapi, terdapat 1 pasal dalam Bab II yang menjelaskan mengenai Penolakan
Perang, yakni pasal 9 yang terdiri dari 2 ayat. Pasal ini menegaskan Rakyat
Jepang mengharap perdamaian internasional yang berdasar keadilan &
ketertiban sehingga dalam rangka memenuhi tujuan itu, AD, AL dan AU, seperti
potensi peperangan lainnya, tidak akan dipelihara.
5. Konstitusi Swedia[35]
Mengenai masalah pertahanan dalam
konstitusi Swedia dinyatakan dalam dua Bab, yakni Bab 10 mengenai Hubungan
Dengan Negara Lain, terdapat dalam pasal 9 yang terdiri dari 3 ayat. Pasal ini
intinya adalah pengerahan angkatan bersenjata swedia. Sedangkan Bab lain yang
lebih khusus adalah Bab 13 mengenai Peperangan dan Bahaya Peperangan, yang
terdiri atas 13 pasal yang berkaitan atas berbagai hal apabila negera sedang
berperang atau dalam bahaya perang.
Demikian penyampaian penulisan kami
dalam memahami proses perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 hasil
Perubahan Kedua. Semoga dapat bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu
pengetahuan.( semoga bermanfaat ).
No comments:
Post a Comment
LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.
Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;