Pages

Sunday, February 24

Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian



UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).

Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.

Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
(a)   Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b)   Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c)   Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d)   Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e)   Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f)    Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
(g)   Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan
(h)   Merendahkan harkat dan martabat manusia                  


Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
2.      Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4.      Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
5.      Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia


Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a)   penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
(b)   penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(c)   pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(d)   penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
(e)   korupsi dan menerima suap;
(f)    menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g)   penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
(h)   perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
(i)     melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
(j)     menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan

Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
(a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
(b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang;
(c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laboran hasil penyelidikan;
(e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
(f)    melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara.

Berdasarkan keseluruhan peraturan ini tentunya diharapkan bahwa setiap anggota kepolisian dapat bertindak sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia.


Photobucket

Saturday, February 23

GADAI dan FIDUSIA

Pengertian gadai dirumuskan dalam Pasal 1150 BW yakni,
 
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang-barang itu digadaikan , biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Selain itu ketentuan Pasal 1152 BW mengatur bahwa,
 
hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan kreditor atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
 
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitor atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditor.
 
Hak gadai hapus, apabila barangya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai, apabila, namun barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembalim sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang...”

 Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”).
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
 

Photobucket

Friday, February 22

WANPRESTASI


Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst) (lihat Pasal 1313 KUHPerdata). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):

a.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.      Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:

a.      Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
b.      Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
c.      Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)

Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:

Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.

Photobucket

BANK GELAP atau RENTENIR

Pasal 15 ayat (1) huruf (c) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut :

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

c.   mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

Melihat penjelasan dari Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.
Maka jelaslah bahwa Praktik Lintah Darat merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dicegah dan ditanggulangi. Namun demikian, selain dasar tersebut diatas sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan menyatakan bahwa :

“Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).”


Oleh karena itu, menurut kami, bukanlah besaran bunga yang Saudara terapkan dalam kegiatan kredit yang dapat dikategorikan sebagai Rentenir atau tidak, namun dengan menjalankan usaha yang menyerupai dengan fungsi Bank tanpa izin dari Bank Indonesia, maka Saudara telah dapat dikatakan sebagai Rentenir.
 
Dasar Hukum:

1.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2.      Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

3.      Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Photobucket

Tuesday, February 12

DOKTER MELAKUKAN PENGHINAAN TERHADAP PASIEN

penghinaan yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan menyebut “Pasien Tolol” merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu:

tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran.



Berdasarkan Pasal 66 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), seseorang yang merasa dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran bisa mengadu kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Pasal 66 UU Praktik Kedokteran berbunyi:


(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. identitas pengadu;

b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan

c. alasan pengaduan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.



Keputusan MKDKI dapat menyatakan tidak bersalah atau memberi sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik, dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran)


Apabila Saudara ingin melaporkan penghinaan dokter tersebut. Saudara harus mengirimkan pengaduan tertulis kepada Ketua MKDKI dengan alamat, Jl. Hang Jebat III Blok. F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120, dengan ditandatangani oleh pelapor dan dibubuhi meterai. Format pengaduan tersebut dapat diunduh disini. Untuk informasi selengkapnya dapat dilihat pada situs resmi Konsil Kedokteran Indonesia www.inamc.or.id.


Jadi, penghinaan oleh dokter termasuk pelanggaran disiplin dalam praktik kedokteran. Pelanggaran disiplin dokter dapat diadukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

2. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi

Photobucket

PIDANA PENIPUAN

Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Hal yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik. Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).


Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:


"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."



Sedangkan, dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:


“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”



Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU ITE.


Kata “berita bohong” dan “menyesatkan” dan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE menurut pendapat kami dapat disetarakan dengan kata “tipu muslihat atau rangkaian kebohongan” sebagaimana unsur dalam Pasal 378 KUHP. Sehingga dapat kami simpulkan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan perluasan dari delik tentang penipuan secara konvensional.


Mengenai masalah pelaporan, Pasal 378 KUHP pada dasarnya merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Berbeda dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang merupakan “delik aduan” karena konsumen yang membuat perikatan dengan penjual produk, sehingga untuk proses penyidikan Pasal 28 ayat (1) UU ITE harus ada pengaduan dari korban. Sedangkan, untuk Pasal 378 KUHP meski bukan delik aduan, tapi pada praktiknya berdasarkan pengamatan kami, tetap harus ada laporan agar dilakukan penyidikan lebih lanjut.


Bagaimana posisi hukumnya jika barang yang dibeli adalah Illegal?

Sebelumnya, perlu kami jelaskan bahwa dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer).


Sehingga, jika barang yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP.


Sepengetahuan kami, tidak semua barang produk kebutuhan seksual sebagaimana pertanyaan adalah barang illegal untuk dijual. Sepanjang barang-barang tersebut memenuhi ketentuan peraturan sektor terkait, maka barang tersebut tetap dapat dijual secara terbatas. Menjadi illegal tentu saja apabila dijual tanpa izin dari instansi terkait (misalkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea Cukai, atau instansi terkait lainnya).


Menjual barang produk kebutuhan seksual tidak berizin dapat dikategorikan memperdagangkan barang dengan cara yang melanggar undang-undang. Sehingga secara perdata menurut kami jual beli tersebut tidak memenuhi unsur sebab yang halal.


Dalam konteks pertanyaan Anda, titik berat hukum lebih kepada unsur terjadinya delik penipuan, dan bukan pada aspek sebab yang halal. Dalam delik penipuan, tidak ditentukan muslihat (modus) apa yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak penipuan. Sehingga, menurut pendapat kami, dalam kasus Anda pelaku dapat tetap dijerat menggunakan pasal tentang penipuan baik berdasarkan KUHP maupun UU ITE.


Pun apabila terbukti barang tersebut barang illegal karena dijual tanpa izin, pembeli menurut pendapat kami tidak serta merta dapat dijerat pidana sepanjang barang tersebut bukan merupakan hasil dari perbuatan pidana (misalkan barang hasil penadahan).


Saran kami, Anda sebaiknya melaporkan kasus tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (“APH”) baik itu penyidik POLRI maupun penyidik Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.


Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Photobucket

Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan

pengertian mengenai delik aduan. Terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.


Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.


R. Soesilo dalam bukunya dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:


a. Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.

Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.

b. Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.


Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).


Lebih lanjut, Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.


Di sisi lain, tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.


Dari rumusan Pasal 285 KUHP di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.


Jadi, tidak semua pasal dalam KUHP tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.


2. Ketentuan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak).

Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:


“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”


Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:


“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”


Dari rumusan Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Photobucket

Friday, February 8

PerBedaan Kepailitan dan Wanprestasi

Kepailitan, menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), kepailitan adalah:
 
...sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga, yang persyaratannya menurut pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan adalah:
1.      ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan "Kreditor" di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen;
2.      ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase; dan
3.      kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.
 
Permohonan pernyataan pailit ini diajukan kepada Pengadilan Niaga. Setelah adanya putusan yang menyatakan jatuhnya pailit, maka debitur kehilangan haknya untuk melakukan penguasaan dan pengurusan terhadap harta kekayaannya (pasal 24 ayat [1] UU Kepailitan). Selanjutnya pengurusan harta kekayaan debitur pailit dan pemberesan segala utangnya akan dilakukan oleh seorang Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan (pasal 26 ayat [1] UU Kepailitan).
 
Jadi, dalam kepailitan, tidak hanya utang pemohon saja yang akan dibayarkan, melainkan seluruh utang-utang orang yang dinyatakan pailit tersebut, kepada semua pihak. Pembayaran utang tersebut dibedakan berdasarkan jenis piutangnya, yaitu apakah ia termasuk utang yang dijamin dengan jaminan kebendaan, ataukah utang yang diistimewakan, atau utang biasa.
 
Sedangkan wanprestasi, adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya untuk melakukan suatu prestasi sebagaimana diperjanjikan. Wanprestasi ini dapat berupa:
 
a)     tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b)     melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c)     melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d)     melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
 
Dalam wanprestasi, tidak diharuskan adanya minimal dua orang kreditor. Satu orang kreditor saja sudah cukup untuk mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi.
 
Menurut pasal 1267 KUHPerdata, kreditur dapat memilih beberapa kemungkinan tuntutan/gugatan di depan hakim sebagai berikut:
1)        Pemenuhan perikatan.
2)        Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian.
3)        Ganti kerugian
4)        Pembatalan perjanjian timbal balik.
5)        Pembatalan dengan ganti kerugian.
 
Prof. R. Subekti, S.H., dalam bukunya ”Pokok-Pokok Hukum Perdata” menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ganti rugi adalah terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Jadi, dalam gugatan wanprestasi, anda dimungkinkan untuk menuntut ganti rugi atas kelalaian debitur memenuhi kewajibannya, selain menuntut pemenuhan kewajiban tersebut.
 
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan antara lain bahwa kapan seseorang mengajukan permohonan pernyataan kepailitan dan kapan seseorang mengajukan gugatan wanprestasi tentu bergantung pada keadaannya dan keyakinannya. Apabila ia yakin bahwa harta debiturnya mencukupi untuk melunasi piutang kreditur-krediturnya, dan bahwa piutangnya dapat dibuktikan dengan mudah, maka bisa jadi ia akan mengajukan permohonan pernyataan pailit saja. Namun apabila ia tidak yakin bahwa piutangnya tersebut dapat dibuktikan dengan mudah, maka kemungkinan dia akan mengajukan gugatan wanprestasi.
 
Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (Staatsblad No.23/1847 tanggal 30 April 1847)
2.            Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Photobucket

Perbedaan Antara Kepailitan dengan PKPU


Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Sedangkan, PKPU sendiri tidak diberikan definisi oleh UU Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai PKPU dalam UU Kepailitan kita dapat melihat bahwa PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 UU Kepailitan jo. Pasal 228 ayat [5] UU Kepailitan). Sementara, Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek (hal. 177) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang (Suspension of Payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.
Dalam hal terdapat permohonan PKPU dan kepailitan, permohonan PKPU didahulukan daripada kepailitan (Pasal 229 ayat [3] dan ayat [4] UU Kepailitan):
Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepailitan:
1.    …….;
2.    …….;
3.    Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.
4.    Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.
Berdasarkan pengertian tentang kepailitan dan PKPU di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam kepailitan, harta debitur akan digunakan untuk membayar semua utang-utangnya yang sudah dicocokkan, sedangkan dalam PKPU, harta debitur akan dikelola sehingga menghasilkan dan dapat digunakan untuk membayar utang-utang debitur.
Beberapa perbedaan lain antara kepailitan dan PKPU dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Perbedaan
Kepailitan
PKPU
Upaya hukum
Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat [1] UU Kepailitan).
Selain itu terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 14 UU Kepailitan).
Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun (Pasal 235 ayat [1] UU Kepailitan).
Yang melakukan pengurusan harta debitur
Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat [1], dan Pasal 16 UU Kepailitan)
Pengurus (Pasal 225 ayat [2] dan ayat [3] UU Kepailitan)
Kewenangan debitur
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ayat [1] UU Kepailitan).
Dalam PKPU, debitur masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya selama mendapatkan persetujuan dari pengurus (Pasal 240 UU Kepailitan).
Jangka waktu penyelesaian
Dalam kepailitan, setelah diputuskannya pailit oleh Pengadilan Niaga, tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan.
Dalam PKPU, PKPU dan perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan (Pasal 228 ayat [6] UU Kepailitan).
Sebagai referensi, Anda dapat membaca juga Beda Kepailitan dan Wanprestasi.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Title
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Sub Title
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Jenis Peraturan
uu
Tahun
2004
Nomor
37
Date
2004-10-18 00:00:00
Tanggal berlaku
2004-10-18 00:00:00
Pengumuman
lembaran-negara
Nomor Pengumuman
131
Tahun Pengumuman
2004
Jenis Tambahan Pengumuman
tambahan-lembaran-negara
Nomor Tambahan Pengumuman
4433
Keywords
pailit, pkpu
Document Amount
1
Status
1

Photobucket

Hukum Menggadaikan Barang Jaminan Fidusia

Di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), pemberi fidusia dapat menggadaikan benda yang dijadikan jaminan fidusia, asalkan ada persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Akan tetapi, apabila Anda tidak mendapat persetujuan tertulis dari penerima fidusia (dalam hal ini perusahaan pembiayaan), maka berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia, Anda diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.
 
Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia
“Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.”
 
Pasal 36 UU Fidusia
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.”
 
Sedangkan untuk pihak ketiga sebagai penerima barang gadai, terlepas dari apakah pihak ketiga tersebut mengetahui atau tidak mengetahui bahwa barang tersebut telah dijadikan jaminan fidusia, pihak ketiga tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Ini karena pada prinsipnya ketentuan mengenai larangan menggadaikan benda jaminan fidusia telah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, semua orang dianggap mengetahuinya dan (kami berasumsi jaminan fidusia telah didaftarkan) karena jaminan fidusia tersebut telah didaftarkan maka dianggap semua orang dapat memeriksa pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
 
Pada sisi lain, J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan Fidusia membahas masalah Kantor Pendaftaran Fidusia yang hanya ada di kota-kota besar. J. Satrio (hal. 245) - sebagaimana kami sarikan – mengatakan bahwa pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat pada benda yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di sana, dan dalam hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia harus memikul risiko kerugian sendiri. Namun, sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia hanya terbatas di kota-kota besar, apakah bisa dan patut diharapkan, bahwa orang yang hendak mengoper suatu benda tidak-atas-nama akan mengecek terlebih dahulu ke Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum menutup transaksi mengenai benda tersebut? Ini membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap pihak ketiga, termasuk pemegang gadai, yang beritikad baik.
 
Selain itu, apabila pemberian gadai tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima fidusia, karena jaminan fidusia juga merupakan hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan diberlakukan yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, J. Satrio juga masih mempertanyakan hal tersebut karena selama ini prinsip tersebut hanya diberlakukan pada hak kebendaan dari jenis yang sama, seperti umpamanya gadai pertama, kedua, dan selanjutnya, hipotik pertama, kedua, dan selanjutnya, hak tanggungan pertama, kedua, dan selanjutnya.
 
Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga dari pemberian gadai atas benda yang telah dijadikan jaminan fidusia adalah tidak adanya perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk mengambil pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur wanprestasi.

Photobucket