Pages

Sunday, October 14

HUKUM PERJANJIAN

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW).

yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim. Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.

Kapan perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku menyatakan bahwa ia akan mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak ia menyatakan kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan bila pada saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis.
Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2. Dilakukan pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim

Mencari pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan pembuktian di depan pengadilan.
Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1. Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2. Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti kata-kata
3. Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan
4. Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian
5. Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6. Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya

C. Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang  dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

D. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d. Tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
Keadaan memaksa absolut
Suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c. Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;
e. Putusan hakim;
f.  Tujuan perjanjian telah tercapai;
g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).



No comments:

Post a Comment

LPK Nasional Indonesia Kota Pasuruan
Menjalankan Visi, Misi dan Mekanisme LPKNI dengan segala konsekuensi yang berasaskan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta berupaya untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia.

Tinggalkan Pesan dan /atau Komentar Anda ;