Pages

Saturday, November 3

OBYEK JAMINAN FIDUSIA



Subyek Jaminan Fidusia

Subyek jaminan fidusia adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan perjanjian/akta jaminan fidusia, yaitu pemberi fidusia dan
penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi
pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Pemberi fidusia bisa
debitur sendiri atau pihak lain bukan debitur. Korporasi adalah suatu badan
usaha yang berbadan hukum atau badan usaha bukan berbadan hukum.
Adapun untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia milik sah pemberi fidusia maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan
benda-benda jaminan tersebut.
Sedangkan Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau
korporasi sebagai pihak yang mempunyai piutang yang pembayarannya
dijamin dengan jaminan fidusia. Korporasi disini adalah badan usaha yang
berbadan hukum yang memiliki usaha di bidang pinjam meminjam uang
seperti perbankan.
Jadi penerima fidusia adalah kreditur (pemberi pinjaman), bisa bank
sebagai pemberi kredit atau orang-perorangan atau badan hukum yang
memberi pinjaman. Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan
pelunasan utang yang diambil dari nilai obyek fidusia dengan cara menjual
sendiri oleh kreditur atau melalui pelelangan umum.

Objek Jaminan Fidusia

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia telah ditentukan
batas ruang lingkup untuk fidusja yaitu berlaku untuk setiap perjanjian yang
bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia yang dipertegas
dengan rumusan dalam Pasal 3 yang menyatakan dengan tegas bahwa
Undang-Undang Fidusia tidak berlaku terhadap :
a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftar.
b. Hipotek atas kapal yan terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh) m3 atau lebih.
c. Hipotek atas pesawat terbang dan,
d. Gadai.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia maka yang menjadi
objek dari fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan
kepemilikannya baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud,
terdaftar atau tidak terdaftar, bergerak atau tidak bergerak, dengan syarat
benda tersebut tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Untuk memberikan kepastian hukum maka Pasal 11 Undang-Undang
Jaminan Fidusia mewajibkan benda yang dibebani fidusia didaftarkan di
Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia (Pasal 12 sub 3 Undangundang
Jaminan Fidusia).
Permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut dilakukan oleh
penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan
jaminan fidusia (Pasal 13 ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999
Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000), dengan
memuat :
a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima fidusia.
b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan
notaris yang membuat akta jaminan fidusia.
c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia.
d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek fidusia.
e. Nilai penjaminan dan Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indondesia yang merupakan akta jaminan fidusia
(Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia). Ketentuan ini
dimaksudkan agar kantor pendaftaran fidusia tidak melakukan penilaian
terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran
fidusia akan tetapi harus melakukan pengecekan data yang dimuat dalam
pendaftaran fidusia. Tanggal jaminan fidusia Buku Daftar Fidusia ini
dianggap sebagai saat lahirnya jaminan fidusia. (Pasal 14 ayat (3) Undang-
Undang Jaminan Fidusia).

Sertifikat Jaminan Fidusia

Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia
dicantumkan baHwa dalam sertfikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA-ESA". Irahirah
inilah yang memberikan kekuatan eksekutorial pada sertifikat jaminan
fidusia oleh karena itu dipersamakan dengan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya sertifikat jaminan fidusia dapat
langsung dieksekusi tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan
melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk
melaksanakan putusan tersebut.
Apabila debitur cidera janji maka penerima fidusia berhak untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaannya sendiri. Ini
merupakan salah satu ciri jaminan kebendaan yaitu adanya kemudahan
dalam pelaksanaan eksekusinya.

Eksekusi Jaminan Fidusia

Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan kemudahan
melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudahan
dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata monopoli jaminan fidusia
karena dalam gadai pun dikenal lembaga serupa.26
26 Ibid, hal. 150
Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa
apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia diatur secara khusus tentang
eksekusi jaminan fidusia yaitu melalui parate eksekusi.
Parate eksekusi adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau
tanpa campur tangan pengadilan. Parate eksekusi dalam hukum jaminan
semula hanya diberikan kepada kreditur penerima hipotik pertama dan
kepada penerima gadai (pand).
Dalam berbagai hukum jaminan terdapat beberapa macam parate
eksekusi. Di antaranya: parate eksekusi penerima hipotik pertama, parate
eksekusi penerima hak tanggungan pertama, parate eksekusi penerima
gadai, parate eksekusi penerima fidusia, parate eksekusi Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) untuk bank Pemerintah.
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
Prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian
dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi fidusia
ataupun penerima fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah
tangan asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi fidusia dan penerima
fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.
c. Penjualan di bawah tangan
Pelaksanaan penjualan bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian
dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat
kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Jadi pada prinsipnya
pelaksanaan penjualan di bawah tangan dilakukan oleh pemberi fidusia
sendiri, selanjutnya hasil penjualan tersebut diserahkan kepada penerima
fidusia (pihak kredit/bank) untuk melunasi hutang pemberi fidusia (debitur)
Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia mewajibkan pemberi
fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Dalam hal pemberi fidusia
tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu
eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang.
Khusus dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri
atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau dibursa,
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dencan
peraturah perundang-undangan yang berlaku (Pasal 31 Undang-Undang
Jaminan Fidusia). Bagi efek yang terdaftar di bursa di Indonesia, maka
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal akan otomatis
berlaku.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 dan 31 Undang-Undang
Jaminan Fidusia sifatnya mengikat dan tidak dapat dikesampingkan atas
kemauan para pihak. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap
benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan sebaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31,
adalah batal demi hukum (Pasal 32 Undang-undang Fidusia).
Selanjutnya mengingat bahwa jaminan fidusia adalah pranata jaminan
dan bahwa pengalihan hak kepemilikan dengan cara constitutum
prossessorium adalah dimaksudkan semata-mata untuk memberi agunan
dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka sesuai dengan
Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia setiap janji yang memberi
kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi
objek jaminan '"fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum.
Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi fidusia,
teristimewa jika nilai objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang
dijamin. Sesuai dengan Pasal 34 Undang-undang Jaminan Fidusia, dalam
hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia. Namun demikian
apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Photobucket

Friday, November 2

KUNCI PEMUSNAH MASALAH ANDA

5 Kunci Pemusnah Masalah.

Dalam kehidupan, seringkali kita memiliki masalah dengan orang lain (atau dalam persahabatan kita). Jika itu yang terjadi pada anda, marilah kita selesaikan bersama.
saya akan membagikan 5 buah kunci menghancurkan masalah, mengobrak-ngabriknya, dan akhirnya membuat anda bisa memperbaiki hubungan anda dengan orang lain.
1. Komunikasi
Pernahkah winners memerhatikan orang-orang yang memiliki relasi paling luas di dunia? Apakah kesamaan mereka? Saya berani menjamin bahwa mereka semua memiliki keahlian komunikasi yang sangat baik. Mereka bisa berbaur, beradaptasi dan akhirnya memenangkan persahabatan. Komunikasi adalah kunci dari semua kunci pemecahan masalah dengan orang lain. Anda harus mendatangi orang tersebut dan mengajaknya berdialog dan mencari solusi.
2. Libatkan Perasaan (empati)
Setelah anda berhasil mengajak orang tersebut berdialog, anda harus melibatkan perasaan anda. Belajarlah untuk memahami dirinya, sekalipun ia tidak mau memahami anda. Anda mungkin menemukan berbagai macam sudut pandang yang baru yang pada akhirnya bisa memberikan jalan untuk memecahkan masalah anda.
3. Cari titik terang
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah adalah fokus. Seorang pemenang dan seorang pecundang memiliki fokus yang berbeda, biasanya seorang pemenang fokus terhadap solusi dan pecundang fokus terhadap masalah. Anda harus fokus terhadap solusi, carilah solusi dari poin-poin yang anda dapatkan lewat percakapan yang telah dibuat. Jika anda percaya dan yakin, niscaya Tuhan akan membantu anda untuk menemukan solusi dari masalah anda.
4. Meminta Maaf
Hal penting lainnya yang harus anda ingat adalah meminta maaf. Anda tidak boleh sungkan meminta maaf jika anda bersalah, bahkan dalam kasus tertentu anda bisa meminta maaf walaupun anda benar. Anda tidak perlu malu, sebab mengalah bukan berarti kalah. Berani meminta maaf adalah simbol yang menyatakan bahwa anda adalah orang yang bijak dan mau memperbaiki diri serta kehidupan anda.
5. Dari Hati
Hal terakhir yang perlu anda lakukan dalam berdialog dengan orang lain adalah berbicara dari hati. Dengan siapapun anda berbicara, berbicaralah dari hati anda yang paling dalam dan dengan tulus. Berbicara dari hati bisa diibaratkan sebagai pembungkus kado yang cantik, sedangkan 4 poin pertama adalah hadiahnya. Bungkusan yang cantik akan memperlihatkan kekuatan tersendiri yang pada akhirnya memudahkan pembicaraan anda.

Photobucket

Thursday, November 1

CLASS ACTIONS

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.
Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri.
Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal standing).
Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing) antara lain: dalam gugatan perwakilan (class actions). 1) seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian, 2) tuntutannya dapat
berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif. Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing). 1) organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik. 2) tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan gambaran tentang gugatan class actions dan legal standing khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana prosedur pengajuan gugatan class actions dan legal standing di Peradilan Tata Usaha Negara.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Gugatan Organisasi (Legal Standing)
1. Pengertian gugatan perwakilan (class actions)
Rumusan gugatan perwakilan (class actions) yang diberikan oleh para ahli hukum Indonesia pada prinsipnya memberikan pengertian dan rumusan yang hampir bersesuaian satu sama lain.
Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan perwakilan) adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang atau orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.
Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila:
  1. penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa,
  1. seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan,
  2. terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan
  3. wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian, class actions adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) sebagai suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien dan seseorang yang akan turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan keterlibatan pengadilan dalam gugatan class actions sangat besar setiap perwakilan untuk maju ke pengadilan harus mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan: a. class actions merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan. b. mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama. c.penggugatnya sangat banyak, dan d. perwakilan layak/patut
2. Pengertian gugatan organisasi (legal standing)
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).
Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”.1
Pendapat yang memberikan hak gugat kepada suatu organisasi/lembaga swadaya masyarakat (legal standing) berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Christoper Stone, yang memberikan hak hukum kepada objek-objek alam (natural object) seperti hutan, laut, sungai, gunung sebagai objek alam yang layak memiliki hak hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya dikarenakan sifatnya yang inanimatif (tidak dapat berbicara) tidak diberi suatu hak hukum.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi lingkungan yang memiliki data dan alasan untuk menduga bahwa suatu proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan, kelompok tersebut dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka ditunjuk sebagai wali (guardian) dari objek alam tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan terhadap objek alam terhadap indikasi pelanggaran atas hak hukum.
B.Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Hak Gugatan Organisasi (Legal Standing) di Pengadilan Tata Usaha Negara
1. Gugatan perwakilan (class actions) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah:
  • Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
  • Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya.
Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 macam:
Pertama surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir ke 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat final, konkrit, individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Kedua, surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara lajimnya disebut “keputusan fiktif negatif”.
Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang dapat menjadi penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.
Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan yang merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak bersifat derefatif.
Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan perwakilan (class actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat individual atau telah lebih condong kepentingan publik atau masyarakat orang banyak, apalagi misi kepentingan dalam kepastian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) misi kepentingannya bukan kepentingan pribadi secara langsung, melainkan kepentingan objek alam atau kepentingan masyarakat yang menurut visi anggaran dasar atau rumah tangganya mengatur untuk itu.
Timbul suatu pertanyaan, bagaimana apabila ada pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara yang sifat kepentingannya tidak bersifat individual tetapi secara faktual menimbulkan kerugian bagi publik atau masyarakat atau seseorang/organisasi yang secara tidak langsung menderita kerugian akibat tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara, apakah dimungkinkan sengketa ini dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara seperti layaknya prosedur gugatan perwakilan (class actions) apalagi gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi kemasyarakatan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu akan dibahas mengenai tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara.
Administrasi negara mempunyai kewenangan, warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi negara memperoleh pula kewajiban.
Administrasi negara di dalam melaksanakan tugas sebagai publik servis, memiliki keleluasan untuk menentukan kebijakan-kebijakan, namun demikian sikap tindaknya tersebut harus dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Dalam posisi demikian peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat dominan dan penting, sebab inti hakikat HAN adalah: 1) memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya. 2) melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi administrasi itu sendiri.
Kepustakaan hukum mengenai konsep tanggung gugat negara, mengandung makna negara dapat digugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintah. Konsep tanggung gugat negara ini mengandung pengertian tersedianya sarana hukum bagi warga negara untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah juga merupakan sarana penegakan hukum lingkungan administratif.
Pemerintah/eksekuti dalam menjalankan fungsinya merupakan pihak yang melayani dan warga masyarakat merupakan pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state). Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cerminan dari perbuatan pemerintah yang tidak saja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (wetmatigheid dan rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan, sehingga dibutuhkan kecermatan dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam membuat keputusan (beschikking) oleh karena bukanlah ada semboyan lebih baik secara dini
menghindarkan sengketa dari pada nanti digugat di pengadilan untuk mempertahankan diri.
Gugatan hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan dalam proses penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan. Gugatan tata usaha negara di samping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata usaha negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat.
Prosedur adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh organ negara/tata usaha negara/instansi maupun oleh warga masyarakat sebelum keputusan/ketetapan dikeluarkan. Prosedur diperlukan untuk melahirkan suatu keputusan yang baik, tanpa mengikuti prosedur tertentu dalam melahirkan keputusan sulit dibayangkan akibat hukum yang menjadi tujuan dari suatu keputusan.
Penegakan hukum merupakan suatu kewajiban, pelanggar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis harus diberi sanksi termasuk sikap tindak administrasi negara dalam menjalankan tugasnya yang salah dalam memberikan administrasi perizinan.
Jadi pelanggar atas hukum administrasi negara baik itu administrasi negara itu sendiri maupun masyarakat pengguna administrasi itu sendiri harus diberikan sanksi adminsitratif.
Sanksi administratif misalnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 meliputi: paksaan pemerintah,embayaran sejumlah uang tertentu, dan pencabutan izin usaha dan atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUPLH dapat berupa:
a. Tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b. Tindakan untuk mengakhiri pelanggaran
c. Tindakan menanggulangi akibat yang timbul
d. Tindakan penyelamatan
e. Tindakan pemulihan.
Tindakan pemberian izin, pencabutan izin, pengawasan dan pemberian sanksi seperti di atas adalah merupakan tindakan administratif, sehingga apabila timbul sengketa maka sengketa tersebut adalah merupakan sengketa hukum administrasi negara yang menjadi yuridiksi Badan Peradilan Administrasi/PTUN.
Hal ini dapat dilihat dalam perkara yang diajukan oleh Puliono di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang bertindak untuk atas nama 167 orang penduduk Sawit Seberang, yang mengajukan gugatan terhadap Kanwil BPN Kota Medan dan PTPN IV (Perkara No.01/G/2000/PTUN.Mdn). Menurut penggugat tanah seluas 1050 ha yang terletak di Kabupaten Langkat setempat dikenal dengan Sawit Seberang adalah tanah milik penggugat yang diambil secara paksa pada jaman orde baru, oleh karena itu penggugat memohon kepada Kanwil BPN agar mengukur dan mengeluarkan tanah seluas 1050 ha dari HGU PTPN IV yang telah berakhir haknya.
Perkara ini sebenarnya merupakan perkara yang dapat diajukan secara gugatan perwakilan (class actions) akan tetapi sayang pemeriksaannya tidak dilakukan menurut prosedur pemeriksaan alasan gugatan perwakilan (class actions).
Perkara yang hampir sama, yang diajukan oleh Khairul Anwar, dkk., v., BPN Kabupaten Deli Serdang, dkk., di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tahun 2000 No.18/G/2000/PTUN.Mdn., juga diperiksa seperti proses pemeriksaan gugatan biasa di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, belum menerapkan suatu asas-asas hukum yang terdapat dalam gugatan perwakilan (class actions).
2. Hak gugatan organisasi (legal standing/ius standi) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Setelah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara perkembangannya sangat menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam kasus yang terkenal sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk., sebagai Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap pembatalan Surat Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).
Dikatakan sangat menggembirakan karena secara tidak disadari telah memperluas arti kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab dalam perkara tersebut pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari penggugat dinyatakan tidak berkualitas sebagai penggugat yang akhirnya dikeluarkan sebagai penggugat.
Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami oleh organisasi itu.
Adapun dasar pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini adalah:
1. Bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atas menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
2. Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan.
3. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.
Putusan pengadilan terdahulu diikuti lagi dalam perkembangan hukum berikutnya yang menerima organisasi sebagai pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, misalnya dalam perkara 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, antara Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for Environment Law (ICEL), dkk., v. Menteri Pertanian RI, dkk., yang mempermasalahkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Tergugat No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tgl. 7 Pebruari 2001 tentang Pelepasan secara terbatas 35B (BOLLGARD) sebagaimana diusulkan PT. Monagro Kimia. Menurut penggugat pemberian surat izin tersebut harus memakai AMDAL.
Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan (class actions), sebaiknya diatur dalam suatu peraturan hukum acara sebagai payung beracara menurut prosedur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugatan organisasi (legal standing).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Gugatan perwakilan (class actions) adalah gugatan dari sekelompok masyarakat dalam jumlah besar yang mempunyai kesamaan kepentingan (interest) yang dirugikan atas suatu persoalan hukum, yang diwakili oleh seorang atau sekelompok untuk bertindak atas diri mereka dan mewakili kepentingan dari kelompok masyarakat lainnya (class members).
  2. Prosedur pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dalam pengadilan tata usaha negara pada prinsipnya sama seperti pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) di pengadilan perdata asalkan objek yang dipermasalahkannya tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaedah hukum administrasi negara/tata usaha negara. Yang terpenting dalam pengajuan gugatan perwakilan ini ada suatu permohonan untuk pemeriksaan gugatan atas dasar asas-asas yang terdapat dalam class actions, misalnya adanya uji kelayakan menjadi perwakilan kelas (prelminary certification test) yang dilakukan dengan cara notification, dan pemberian kesempatan untuk masuk (opt in) atau keluar dari suatu gugatan (opt out).
  3. Apabila suatu gugatan memenuhi persyaratan untuk diperiksa secara class actions maka pengadilan akan mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan. Sebaliknya apabila gugatan yang dimohonkan tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa menurut prosedur class actions maka gugatan tersebut ditolak pemeriksaannya dengan proses pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dan selanjutnya gugatan tersebut akan diperiksa secara gugatan perkara biasa saja.

Photobucket

HUKUM AGRARIA


PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA
Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas  yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian
Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Devinisi hukum agraria
  • Mr. Boedi Harsono
Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
  • Drs. E. Utrecht SH
Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.
  • Bachsan Mustafa SH
Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan
Azas-azas hukum agraria
  • Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
  • Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)
  • Asas hukum adat yang disaneer
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
  • Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)
  • Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI  baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah
  • Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
  • Asas gotong royong
Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
  • Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
  • Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
Hak-hak atas tanah
Hak milik
−        Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA
−        Mempunyai sufat turun temurun
−        Terkuat dan terpenuh
−        Mempunyai fungsi social
−        Dapat beralih atau dialihkan
−  Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk
−  Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum
−  Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu
Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan.
−        Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun
−        Hak yang harus didaftarkan
−        Dapat beralih karena pewarisan
−        Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2, PP 40/96
Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96).
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)
Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96)
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus , berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta  dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
  • Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan.
  • Persil adalah nomor pokok wajib pajak.
  • Korsil adalah klasifikasi atas tanah.
  • Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya.
Dasar hukum pendaftaran tanah :
UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38.
PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan dig anti dengan PP No 24/1997
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi :
  • Kepastian hokum atas obyek atas atas tanahnya yitu letak, batas dan luas.
  • Kepastian hokum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum)
  • Kepastian hokum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB)
Tujuan pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997)
  • Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
  • Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar.
  • Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
  • Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
  • Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
  • Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun.
  • Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
  • Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
  • Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.
  • Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
  • Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
  • Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
  • Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Photobucket