Korupsi, human trafficking (perdagangan manusia), perdagangan
narkotika
dan obat-obatan terlarang, kejahatan terorganisir, adalah
tema-tema
yang juga disorot oleh hukum pidana. Namun apakah sorotan
tersebut
dilakukan dengan cara yang tepat? Maka pertanyaan pokoknya
ialah
apakah dengan dan melalui hukum pidana bentuk-bentuk kejahatan
di
atas dan yang lainnya dapat dikendalikan atau tepatnya diberantas:
apakah
hukum pidana merupakan sarana paling tepat? Sama pentingnya
ialah
pertanyaan apakah hukum pidana ketika berhadapan dengan
persoalan-persoalan
di atas mampu memberikan keadilan? Apakah
hukum
pidana sudah selaras dengan hak-hak asasi manusia dengan
tuntutan
Negara Hukum (rule
of law)? Apakah peraturan
perundangundangan
(hukum)
pidana terang dan jelas, terutama bagi warga biasa
yang
diharapkan mematuhi peraturan yang termuat di dalamnya.
Hal
mana sama pentingnya bagi polisi, kejaksaan dan hakim (pidana)
yang
harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Apakah
perundang-undangan
yang ada memenuhi prinsip kepastian hukum,
dengan
asas lex
certa? Selanjutnya apakah kewenangan
aparat Negara
untuk
mengimplementasikan dan menegakkan peraturan perundanganundangan
sudah
dirumuskan dengan jelas: cukup luas sehingga
mereka
masih dapat mengimplementasikan peraturan yang tercakup di
dalamnya,
namun sekaligus juga cukup sempit sehingga dapat mencegah
penyalahgunaan
dan menghasilkan pelanggaran terhadap sejumlah hak
asasi
manusia, seperti hak atas integritas badan, hak atas kepemilikan,
hak
atas privasi.
Perundang-undangan
dalam dirinya sendiri tidaklah cukup.
Bahkan
bila lingkup kewenangan aparat penegak hukum dirumuskan
secara
jelas dan terang, penting untuk mencermati bagaimana mereka
menggunakannya
dalam praktik: apakah mereka menerapkan peraturan
perundang-undangan
tanpa memandang perbedaan orang-perorang,
tidak
secara selektif, tanpa melakukan diskriminasi negatif maupun
positif.
Untuk yang terakhir terjadi tatkala pelanggar hukum dengan
status
sosial-ekonomi tinggi mendapatkan berbagai macam fasilitas yang
tidak
diberikan kepada pelaku tindak pidana dari kalangan masyarakat
kebanyakan.
Penegakan hukum tidak boleh dilakukan bersamaan dengan
penyalahgunaan
kekuasaan.
Hukum pidana adalah satu instrumen yang dampaknya jauh
ke
dalam
kehidupan setiap orang yang bersentuhan dengannya. Karena
itu
satu prinsip penting bagi pendayagunaannya ialah bahwa baru akan
diberdayakan
bilamana sarana-sarana lain yang tersedia sudah diupayakan
dan
tidak berhasil: hukum pidana sebagai upaya terakhir atau
sebagai
ultimum remedium. Hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang
pembuatan
aturan substantif dan prosesuil, namun juga dalam bidang
penjatuhan
pidana: apakah tersedia sanksi-sanksi alternatif lainnya di
luar
hukum pidana yang dapat didayagunakan?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti di atas muncul dalam kursuskursus
yang
diselenggarakan untuk pengajar-pengajar hukum pidana
di
Indonesia. Tujuannya adalah agar dengan dan melalui cara ini
penyelenggara
dapat menyumbangkan sesuatu bagi upaya peningkatan
sistem
pengajaran
hukum
maupun pengembangan pendekatan sociolegal
terhadap
hukum di Indonesia.
Pendekatan
yang melandasi rangkaian kursus tersebut adalah
hak
asasi manusia dan perspektif komparatif (perbandingan hukum).
Untuk
yang terakhir dipilih perbandingan hukum Indonesia dengan
perkembangan
hukum pidana di Belanda. Landasan berpikirnya ialah
ikatan
sejarah antara Indonesia dengan Belanda yang pada derajat tertentu
dapat
memberikan sumbangan bagi perkembangan berlanjut gagasan
dan perwujudan
Negara hukum Indonesia.