PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsekuensi suatu negara hukum adalah
menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah
oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan
penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah
berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan
peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup
penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa
kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan
kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam
upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada
badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran
dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.
Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang
hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di
kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan
badan peradilan sendiri.
Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal standing).
Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing) antara lain: dalam gugatan perwakilan (class actions). 1) seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian, 2) tuntutannya dapat
berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif. Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing). 1) organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik. 2) tuntutan organisasi (legal standing) tidak
dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang
telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang
dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan gambaran tentang gugatan class actions dan legal standing khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di
atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana
prosedur pengajuan gugatan class actions dan legal standing di Peradilan Tata Usaha Negara.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Gugatan Organisasi (Legal Standing)
1. Pengertian gugatan perwakilan (class actions)
Rumusan gugatan perwakilan (class actions) yang
diberikan oleh para ahli hukum Indonesia pada prinsipnya memberikan
pengertian dan rumusan yang hampir bersesuaian satu sama lain.
Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan
perwakilan) adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata
yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah
yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan
kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami
kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang atau orang (lebih dari satu)
yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.
Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila:
- penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa,
- seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan,
- terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan
- wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian, class actions adalah
suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya
menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut
serta dari setiap anggota kelompok.
Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) sebagai
suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan
yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih
efisien dan seseorang yang akan turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan keterlibatan pengadilan dalam gugatan class actions sangat besar setiap perwakilan untuk maju ke pengadilan harus mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan: a. class actions merupakan
tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan. b. mempunyai
kesamaan tipe tuntutan yang sama. c.penggugatnya sangat banyak, dan d.
perwakilan layak/patut
2. Pengertian gugatan organisasi (legal standing)
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat
diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk
tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan
sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada
prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).
Perkembangan hukum konsep hak gugat
konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan
hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di
mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak
sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara
langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk
memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak
publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil
dan Politik.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam
bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan dimana suatu
organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan
kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok
mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang
banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”.1
Pendapat yang memberikan hak gugat kepada suatu organisasi/lembaga swadaya masyarakat (legal standing) berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Christoper Stone, yang memberikan hak hukum kepada objek-objek alam (natural object)
seperti hutan, laut, sungai, gunung sebagai objek alam yang layak
memiliki hak hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya
dikarenakan sifatnya yang inanimatif (tidak dapat berbicara) tidak diberi suatu hak hukum.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi
lingkungan yang memiliki data dan alasan untuk menduga bahwa suatu
proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan, kelompok tersebut dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka ditunjuk sebagai
wali (guardian) dari objek alam tersebut untuk melakukan
pengawasan maupun pengurusan terhadap objek alam terhadap indikasi
pelanggaran atas hak hukum.
B.Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Hak Gugatan Organisasi (Legal Standing) di Pengadilan Tata Usaha Negara
1. Gugatan perwakilan (class actions) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat bertindak sebagai penggugat
dalam sengketa tata usaha negara ialah:
- Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
- Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya.
Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 macam:
Pertama surat keputusan
tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir ke 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat final, konkrit,
individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Kedua, surat keputusan
tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, yaitu apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara lajimnya disebut
“keputusan fiktif negatif”.
Dari uraian di atas secara limitatif
telah ditentukan pihak-pihak yang dapat menjadi penggugat di Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya merasa dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan tata
usaha negara.
Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang
bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau dirugikan atas
penerbitan surat keputusan yang merugikan tersebut, jadi kepentingan
kerugian di sini tidak bersifat derefatif.
Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan perwakilan (class actions) kepentingan
yang dirugikan di sini tidak bersifat individual atau telah lebih
condong kepentingan publik atau masyarakat orang banyak, apalagi misi
kepentingan dalam kepastian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) misi
kepentingannya bukan kepentingan pribadi secara langsung, melainkan
kepentingan objek alam atau kepentingan masyarakat yang menurut visi
anggaran dasar atau rumah tangganya mengatur untuk itu.
Timbul suatu pertanyaan, bagaimana
apabila ada pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum administrasi negara
atau tata usaha negara yang sifat kepentingannya tidak bersifat
individual tetapi secara faktual menimbulkan kerugian bagi publik atau
masyarakat atau seseorang/organisasi yang secara tidak langsung
menderita kerugian akibat tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha
negara, apakah dimungkinkan sengketa ini dapat diajukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara seperti layaknya prosedur gugatan perwakilan (class actions) apalagi gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi kemasyarakatan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas
terlebih dahulu akan dibahas mengenai tindakan hukum yang dilakukan
berdasarkan kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara.
Administrasi negara mempunyai kewenangan,
warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi
negara memperoleh pula kewajiban.
Administrasi negara di dalam melaksanakan
tugas sebagai publik servis, memiliki keleluasan untuk menentukan
kebijakan-kebijakan, namun demikian sikap tindaknya tersebut harus
dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Dalam posisi demikian peranan Hukum
Administrasi Negara (HAN) sangat dominan dan penting, sebab inti hakikat
HAN adalah: 1) memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan
fungsinya. 2) melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara
dan juga melindungi administrasi itu sendiri.
Kepustakaan hukum mengenai konsep
tanggung gugat negara, mengandung makna negara dapat digugat atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintah. Konsep
tanggung gugat negara ini mengandung pengertian tersedianya sarana hukum
bagi warga negara untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah
juga merupakan sarana penegakan hukum lingkungan administratif.
Pemerintah/eksekuti dalam menjalankan
fungsinya merupakan pihak yang melayani dan warga masyarakat merupakan
pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam pemerintahan adalah
sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state).
Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cerminan dari perbuatan
pemerintah yang tidak saja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang
berlaku (wetmatigheid dan rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta
kesusilaan, sehingga dibutuhkan kecermatan dalam melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat, khususnya dalam membuat keputusan (beschikking) oleh karena bukanlah ada semboyan lebih baik secara dini
menghindarkan sengketa dari pada nanti digugat di pengadilan untuk mempertahankan diri.
Gugatan hukum lingkungan administratif
dapat terjadi karena kesalahan dalam proses penerbitan suatu keputusan
tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan. Gugatan
tata usaha negara di samping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata
usaha negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan
hukum bagi rakyat.
Prosedur adalah tahapan-tahapan yang
harus dilalui baik oleh organ negara/tata usaha negara/instansi maupun
oleh warga masyarakat sebelum keputusan/ketetapan dikeluarkan. Prosedur
diperlukan untuk melahirkan suatu keputusan yang baik, tanpa mengikuti
prosedur tertentu dalam melahirkan keputusan sulit dibayangkan akibat
hukum yang menjadi tujuan dari suatu keputusan.
Penegakan hukum merupakan suatu
kewajiban, pelanggar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis harus
diberi sanksi termasuk sikap tindak administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya yang salah dalam memberikan administrasi perizinan.
Jadi pelanggar atas hukum administrasi
negara baik itu administrasi negara itu sendiri maupun masyarakat
pengguna administrasi itu sendiri harus diberikan sanksi adminsitratif.
Sanksi administratif misalnya seperti
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 meliputi: paksaan
pemerintah,embayaran sejumlah uang tertentu, dan pencabutan izin usaha dan atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUPLH dapat berupa:
a. Tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b. Tindakan untuk mengakhiri pelanggaran
c. Tindakan menanggulangi akibat yang timbul
d. Tindakan penyelamatan
e. Tindakan pemulihan.
Tindakan pemberian izin, pencabutan izin,
pengawasan dan pemberian sanksi seperti di atas adalah merupakan
tindakan administratif, sehingga apabila timbul sengketa maka sengketa
tersebut adalah merupakan sengketa hukum administrasi negara yang
menjadi yuridiksi Badan Peradilan Administrasi/PTUN.
Hal ini dapat dilihat dalam perkara yang
diajukan oleh Puliono di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang
bertindak untuk atas nama 167 orang penduduk Sawit Seberang, yang
mengajukan gugatan terhadap Kanwil BPN Kota Medan dan PTPN IV (Perkara
No.01/G/2000/PTUN.Mdn). Menurut penggugat tanah seluas 1050 ha yang
terletak di Kabupaten Langkat setempat dikenal dengan Sawit Seberang
adalah tanah milik penggugat yang diambil secara paksa pada jaman orde
baru, oleh karena itu penggugat memohon kepada Kanwil BPN agar mengukur
dan mengeluarkan tanah seluas 1050 ha dari HGU PTPN IV yang telah
berakhir haknya.
Perkara ini sebenarnya merupakan perkara yang dapat diajukan secara gugatan perwakilan (class actions) akan tetapi sayang pemeriksaannya tidak dilakukan menurut prosedur pemeriksaan alasan gugatan perwakilan (class actions).
Perkara yang hampir sama, yang diajukan
oleh Khairul Anwar, dkk., v., BPN Kabupaten Deli Serdang, dkk., di
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tahun 2000 No.18/G/2000/PTUN.Mdn.,
juga diperiksa seperti proses pemeriksaan gugatan biasa di Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan, belum menerapkan suatu asas-asas hukum yang
terdapat dalam gugatan perwakilan (class actions).
2. Hak gugatan organisasi (legal standing/ius standi) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Setelah berdirinya Peradilan Tata Usaha
Negara perkembangannya sangat menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam kasus yang terkenal
sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk., sebagai
Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap
pembatalan Surat Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan
Pinjaman Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat
Terbang Nusantara (PT. IPTN).
Dikatakan sangat menggembirakan karena
secara tidak disadari telah memperluas arti kepentingan menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab dalam perkara tersebut
pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan sebagai penggugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari penggugat
dinyatakan tidak berkualitas sebagai penggugat yang akhirnya dikeluarkan
sebagai penggugat.
Kepentingan yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan kepentingan
perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas
diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam
kapasitas gugatan organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang
dirugikan itu tidak langsung dialami oleh organisasi itu.
Adapun dasar pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini adalah:
1. Bahwa tujuan organisasi tersebut
adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atas menjaga kelestarian
alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
2. Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan.
3. Bahwa organisasi tersebut harus secara
berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan
lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.
Putusan pengadilan terdahulu diikuti lagi
dalam perkembangan hukum berikutnya yang menerima organisasi sebagai
pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, misalnya dalam perkara
71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, antara Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum
Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for Environment Law (ICEL),
dkk., v. Menteri Pertanian RI, dkk., yang mempermasalahkan surat
keputusan yang diterbitkan oleh Tergugat No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tgl. 7
Pebruari 2001 tentang Pelepasan secara terbatas 35B (BOLLGARD)
sebagaimana diusulkan PT. Monagro Kimia. Menurut penggugat pemberian
surat izin tersebut harus memakai AMDAL.
Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan (class actions), sebaiknya diatur dalam suatu peraturan hukum acara sebagai payung beracara menurut prosedur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugatan organisasi (legal standing).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Gugatan perwakilan (class actions) adalah gugatan dari sekelompok masyarakat dalam jumlah besar yang mempunyai kesamaan kepentingan (interest) yang dirugikan atas suatu persoalan hukum, yang diwakili oleh seorang atau sekelompok untuk bertindak atas diri mereka dan mewakili kepentingan dari kelompok masyarakat lainnya (class members).
- Prosedur pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dalam pengadilan tata usaha negara pada prinsipnya sama seperti pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) di pengadilan perdata asalkan objek yang dipermasalahkannya tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaedah hukum administrasi negara/tata usaha negara. Yang terpenting dalam pengajuan gugatan perwakilan ini ada suatu permohonan untuk pemeriksaan gugatan atas dasar asas-asas yang terdapat dalam class actions, misalnya adanya uji kelayakan menjadi perwakilan kelas (prelminary certification test) yang dilakukan dengan cara notification, dan pemberian kesempatan untuk masuk (opt in) atau keluar dari suatu gugatan (opt out).
- Apabila suatu gugatan memenuhi persyaratan untuk diperiksa secara class actions maka pengadilan akan mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan. Sebaliknya apabila gugatan yang dimohonkan tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa menurut prosedur class actions maka gugatan tersebut ditolak pemeriksaannya dengan proses pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dan selanjutnya gugatan tersebut akan diperiksa secara gugatan perkara biasa saja.