Subyek Jaminan
Fidusia
Subyek jaminan fidusia adalah
pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan perjanjian/akta jaminan
fidusia, yaitu pemberi fidusia dan
penerima fidusia. Pemberi fidusia
adalah orang perorangan atau korporasi
pemilik benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia. Pemberi fidusia bisa
debitur sendiri atau pihak lain bukan
debitur. Korporasi adalah suatu badan
usaha yang berbadan hukum atau badan
usaha bukan berbadan hukum.
Adapun untuk membuktikan bahwa benda
yang menjadi obyek jaminan
fidusia milik sah pemberi fidusia maka
harus dilihat bukti-bukti kepemilikan
benda-benda jaminan tersebut.
Sedangkan Penerima fidusia adalah
orang perseorangan atau
korporasi sebagai pihak yang mempunyai
piutang yang pembayarannya
dijamin dengan jaminan fidusia.
Korporasi disini adalah badan usaha yang
berbadan hukum yang memiliki usaha di
bidang pinjam meminjam uang
seperti perbankan.
Jadi penerima fidusia adalah kreditur
(pemberi pinjaman), bisa bank
sebagai pemberi kredit atau
orang-perorangan atau badan hukum yang
memberi pinjaman. Penerima fidusia
memiliki hak untuk mendapatkan
pelunasan utang yang diambil dari nilai
obyek fidusia dengan cara menjual
sendiri oleh kreditur atau melalui
pelelangan umum.
Objek Jaminan
Fidusia
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Jaminan
Fidusia telah ditentukan
batas ruang lingkup untuk fidusja
yaitu berlaku untuk setiap perjanjian yang
bertujuan untuk membebani benda dengan
jaminan fidusia yang dipertegas
dengan rumusan dalam Pasal 3 yang
menyatakan dengan tegas bahwa
Undang-Undang Fidusia tidak berlaku
terhadap :
a. Hak tanggungan yang berkaitan
dengan tanah dan bangunan sepanjang
peraturan perundang-undangan yang
berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftar.
b. Hipotek atas kapal yan terdaftar
dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh) m3 atau lebih.
c. Hipotek atas pesawat terbang dan,
d. Gadai.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan
Fidusia maka yang menjadi
objek dari fidusia adalah benda apapun
yang dapat dimiliki dan dialihkan
kepemilikannya baik berupa benda
berwujud maupun tidak berwujud,
terdaftar atau tidak terdaftar,
bergerak atau tidak bergerak, dengan syarat
benda tersebut tidak dapat dibebani
hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
Untuk memberikan kepastian hukum maka
Pasal 11 Undang-Undang
Jaminan Fidusia mewajibkan benda yang
dibebani fidusia didaftarkan di
Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi
manusia (Pasal 12 sub 3 Undangundang
Jaminan Fidusia).
Permohonan pendaftaran jaminan fidusia
tersebut dilakukan oleh
penerima fidusia, kuasa atau wakilnya
dengan melampirkan pernyataan
jaminan fidusia (Pasal 13 ayat (1)
Undang-undang No. 42 Tahun 1999
Jaminan Fidusia dan Peraturan
Pemerintah No. 86 Tahun 2000), dengan
memuat :
a. Identitas pihak Pemberi dan
Penerima fidusia.
b. Tanggal, nomor akta jaminan
fidusia, nama dan tempat kedudukan
notaris yang membuat akta jaminan
fidusia.
c. Data perjanjian pokok yang dijamin
fidusia.
d. Uraian mengenai benda yang menjadi
objek fidusia.
e. Nilai penjaminan dan Nilai benda
yang menjadi objek jaminan fidusia.
Pembebanan kebendaan dengan jaminan
fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indondesia yang
merupakan akta jaminan fidusia
(Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Jaminan Fidusia). Ketentuan ini
dimaksudkan agar kantor pendaftaran
fidusia tidak melakukan penilaian
terhadap kebenaran yang dicantumkan
dalam pernyataan pendaftaran
fidusia akan tetapi harus melakukan
pengecekan data yang dimuat dalam
pendaftaran fidusia. Tanggal jaminan
fidusia Buku Daftar Fidusia ini
dianggap sebagai saat lahirnya jaminan
fidusia. (Pasal 14 ayat (3) Undang-
Undang Jaminan Fidusia).
Sertifikat
Jaminan Fidusia
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jaminan Fidusia
dicantumkan baHwa dalam sertfikat
jaminan fidusia dicantumkan kata-kata
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA-ESA". Irahirah
inilah yang memberikan kekuatan eksekutorial
pada sertifikat jaminan
fidusia oleh karena itu dipersamakan
dengan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya
sertifikat jaminan fidusia dapat
langsung dieksekusi tanpa melalui
proses persidangan dan pemeriksaan
melalui pengadilan dan bersifat final
serta mengikat para pihak untuk
melaksanakan putusan tersebut.
Apabila debitur cidera janji maka
penerima fidusia berhak untuk
menjual benda yang menjadi objek
jaminan atas kekuasaannya sendiri. Ini
merupakan salah satu ciri jaminan
kebendaan yaitu adanya kemudahan
dalam pelaksanaan eksekusinya.
Eksekusi Jaminan
Fidusia
Undang-Undang Jaminan Fidusia
memberikan kemudahan
melaksanakan eksekusi melalui lembaga
parate eksekusi. Kemudahan
dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak
semata-mata monopoli jaminan fidusia
karena dalam gadai pun dikenal lembaga
serupa.26
26 Ibid, hal. 150
Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia
menyatakan bahwa
apabila debitur atau
pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek
jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh
penerima fidusia;
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia
diatur secara khusus tentang
eksekusi jaminan fidusia yaitu melalui
parate eksekusi.
Parate eksekusi adalah melakukan sendiri
eksekusi tanpa bantuan atau
tanpa campur tangan pengadilan. Parate
eksekusi dalam hukum jaminan
semula hanya diberikan kepada kreditur
penerima hipotik pertama dan
kepada penerima gadai (pand).
Dalam berbagai hukum jaminan terdapat
beberapa macam parate
eksekusi. Di antaranya: parate
eksekusi penerima hipotik pertama, parate
eksekusi penerima hak
tanggungan pertama, parate eksekusi penerima
gadai, parate eksekusi penerima
fidusia, parate eksekusi Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) untuk bank Pemerintah.
b. Penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan;
Prinsipnya adalah bahwa penjualan
benda yang menjadi objek jaminan
fidusia harus melalui pelelangan umum,
karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang
paling tinggi. Namun demikian
dalam hal penjualan melalui pelelangan
umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang
menguntungkan baik pemberi fidusia
ataupun penerima fidusia, maka
dimungkinkan penjualan di bawah
tangan asalkan hal tersebut disepakati
oleh pemberi fidusia dan penerima
fidusia dan syarat jangka waktu
pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.
c. Penjualan di bawah tangan
Pelaksanaan penjualan bawah tangan
yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima
fidusia jika dengan cara demikian
dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi fidusia dan
penerima fidusia kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya dalam 2 (dua) surat
kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan. Jadi pada prinsipnya
pelaksanaan penjualan di bawah tangan
dilakukan oleh pemberi fidusia
sendiri, selanjutnya hasil penjualan
tersebut diserahkan kepada penerima
fidusia (pihak kredit/bank) untuk
melunasi hutang pemberi fidusia (debitur)
Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia
mewajibkan pemberi
fidusia untuk menyerahkan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan
Fidusia. Dalam hal pemberi fidusia
tidak menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia pada waktu
eksekusi dilaksanakan, penerima
fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dan
apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang.
Khusus dalam hal benda yang menjadi
objek jaminan fidusia terdiri
atas benda perdagangan atau efek yang
dapat dijual di pasar atau dibursa,
penjualannya dapat dilakukan di
tempat-tempat tersebut sesuai dencan
peraturah perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 31 Undang-Undang
Jaminan Fidusia). Bagi efek yang
terdaftar di bursa di Indonesia, maka
peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal akan otomatis
berlaku.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 29
dan 31 Undang-Undang
Jaminan Fidusia sifatnya mengikat dan
tidak dapat dikesampingkan atas
kemauan para pihak. Setiap janji untuk
melaksanakan eksekusi terhadap
benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan sebaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Pasal 31,
adalah batal demi hukum (Pasal 32
Undang-undang Fidusia).
Selanjutnya mengingat bahwa jaminan
fidusia adalah pranata jaminan
dan bahwa pengalihan hak kepemilikan
dengan cara constitutum
prossessorium adalah dimaksudkan
semata-mata untuk memberi agunan
dengan hak yang didahulukan kepada
penerima fidusia, maka sesuai dengan
Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia
setiap janji yang memberi
kewenangan kepada penerima fidusia
untuk memiliki benda yang menjadi
objek jaminan '"fidusia apabila
debitur cidera janji, batal demi hukum.
Ketentuan tersebut dibuat untuk
melindungi pemberi fidusia,
teristimewa jika nilai objek jaminan
fidusia melebihi besarnya utang yang
dijamin. Sesuai dengan Pasal 34
Undang-undang Jaminan Fidusia, dalam
hal hasil eksekusi melebihi nilai
penjaminan, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut
kepada pemberi fidusia. Namun demikian
apabila hasil eksekusi tidak mencukupi
untuk pelunasan utang, debitur tetap
bertanggung jawab atas utang yang
belum terbayar.